Share

LOVE YOU MBAK SANTRI bab 4

Semua santri berbondong-bondong menuju rumah Pak Kyai. Di sana sudah banyak santri wati. Kudekati Gus Ulin. Sebagian dari santri masih kasak kusuk apa yang terjadi. Begitu kerasnya Bu nyai menangis, sehingga menimbulkan tanda tanya. Tidak ada yang berani masuk meski santri putri.

"Ada apa Gus?" Ada kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Tiba-tiba dia memelukku.

"Abah, Kang abah," ucapnya terbata-bata.

"Kenapa Abah?" Kini aku mulai gelisah.

"Abah wafat." Seketika tangisnya pecah di pelukanku.

"Innililahiwainnailahirojiun.” Kuelus punggungnya.

"Yang sabar, Gus." Kulepas pelukannya dan kuarahkan dia duduk di kursi.

"Minum dulu, Gus." Kusodorkan air putih.

Tidak lama keluarlah Gus Fuad dari dalam kamar, memerintah beberapa santri putra untuk menyiapkan segalanya. Juga pengurus tidak lupa mengumumkan perihal wafatnya pak kyai, aku sendiri tidak percaya abah meninggalkan kita semua, umur yang belum terlalu sepuh yaitu empat puluh lima tahun.

***

Empat puluh hari sudah pak kyai pergi. Setelah acara aku putuskan malam ini juga untuk pergi ke pesantrennya Udin. Tiga puluh menit aku sudah sampai di pesantren Udin.

"Assalamualaikum." Kebetulan Udin ada di bawah jadi aku tidak usah repot-repot mencari dia.

"Waalaikumsalam." Dia senyum-senyum memamerkan gigi glowingnya.

"Lama sekali tidak ke sini," ucapnya.

"Iya di pesantren sibuk." Kini aku berdiri sejajar dengan Udin.

"Ayok ke kantin dulu," ajaknya. Aku berjalan beriringan dengan Udin, tidak sengaja aku melihat Kang Abdul berduaan dengan santri wati. Santri yang membuat hati ini luluh.

'Apa dia pacarnya Kang Abdul? Mesra banget,' gumamku dalam hati.

Kulihat Udin dia santai saja, seperti tidak melihat mereka berdua. Jarak antara kami sedikit jauh meskipun begitu semua orang bisa melihat jelas. Timbul beberapa pertanyaan di kepala ini. Setelah membeli jajan dan kopi aku dan Udin berjalan ke kamar Udin. Aku sudah tidak melihat mereka.

"Mungkin dia malu kalau dilihat yang lain." Aku kaget melihat mereka duduk di teras rumah yang berdiri di belakang musala.

"Berduaan saja!" sapa Udin.

"Udah sana jangan ganggu," ucap Kang Abdul. Sedangkan si perempuan hanya senyum-senyum saja. Ada rasa nyeri ketika melihat mereka berdua apalagi di depan umum.

"Kayak tidak punya urat malu saja, berduaan di bawah lampu yang tidak terlalu terang, apalagi masih kawasan pesantren," pikirku.

***

"Bengong saja!" Udin menepuk bahuku.

"Hah ... enggak kok," jawabku kaget.

"Halah, dari tadi di ajak bicara gak nyaut-nyaut," ucap Udin.

"Apa iya?" jawabku.

"Ngelamunin apa sih, Kang?"

"Mikir pesantren," jawabku bohong.

"Terus sekarang bagaimana?" ia memoncongkan bibirnya dan menyeruput kopi susu yang dibeli tadi.

"Gak tahu ini." Kuubah posisi dudukku. Menyenderkan punggung ke dinding yang terbuat dari kayu.

"Sekarang yang memegang siapa?"

"Sementara belum ada, soalnya baru kemarin pak kyai meninggal, mau ngomong  itu jelas gak enak," jawabku tertunduk.

Aku juga bingung siapa yang akan memegang pesantren, sedangkan Gus Ulin sama Gus Fuad masih kecil. Tiba-tiba Kang Abdul datang.

"Sudah Kang?" tanya Udin ke Kang Abdul.

"Oh sudah, katanya ingin bantu yang lain masak untuk acara besok," jawab Kang Abdul.

"Oh gitu." Aku yang mendengar, entah kenapa ada perasaan yang tidak kumengerti. Kesal juga sedih, orang yang kuharapkan sudah memiliki tambatan hati.

'Wajah mereka hampir mirip, bukannya orang jodoh itu mirip 'Kan?' gumamku dalam hati.

Kupandangi Kang Abdul saksama. Ya, wajahnya hampir sama. Sekarang aku harus melupakan dia. Karena melihat mereka berduaan, aku sudah tidak nyaman lagi di sini. kulirik jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan. Padahal rencananya tadi ingin melepas penat juga kegelisahan, eh sampai sini malah melihat seseorang yang di cintai berduaan dengan orang lain. Tambah kesal saja.

"Ya udah aku pamit pulang dulu ya!" Aku langsung berdiri.

"Kok buru-buru, padahal kan belum mengobrol." Kang Abdul juga ikutan berdiri. Disusul Udin.

"Iya kenapa buru-buru?" tanya Udin.

"Gak enak kalau lama-lama kan kalian harus buat setoran buat besok." Tentu itu hanya alasanku.

"Kan sekarang hari Jumat jadi besok libur mengajinya." Udin mencoba menyegehku.

"Gak apa-apa, aku balik saja. Lain waktu aku akan kesini lagi," kekehku.

Saat kami turun, mbak santri yang tidak kuketahui namanya melintas di hadapan kami. Menoleh menyunggingkan kedua sudut bibirnya dan tercetaklah sebuah senyuman yang memperlihatkan kedua lesung pipinya. Aku baru tahu kalau dia punya dua lesung pipi. Manis sekali. Setelah melihat dia aku berganti menatap Udin dan Kang Abdul mereka berdua juga senyum. Melihat itu hatiku nyeri.

"Ya sudah aku pulang assalamualaikum," ucapku pada mereka. Tidak lupa kami berjabat tangan. Menembus dinginnya angin malam, membuat pikiranku sedikit lega. 

"Ingin meredakan hati juga pikiran eh malah melihat dia berduaan. Aa tidak tahu itukan masih kawasan pesantren." Hampir sepanjang jalan aku menggerutu. Karena merasa lapar kubelokkan motor ke penjual mia ayam.

"Mie ayam satu, makan sini." Kulihat warung tampak sepi. Kupilih duduk di pojokkan depan. Mengambil satu gorengan.

***

Jam dua belas aku baru sampek ke pesantren, aku langsung masuk kamar dan istirahat. Alih-alih bisa tidur justru pikiranku ke mana-mana, memikirkan nasib pesantren ini dan juga mbak santri yang ada di dalam hati ini.

***

Setelah salat zuhur aku membuka kitab kuningku, memahami apa yang belum aku pahami.

"Kang! Kang Jono!" Dari suaranya seperti suara Gus Ulin.

"Iya, Gus?" Kuhampiri dia di aula.

"Dicari Ibu," ucapnya.

"Sekarang, Gus?" tanyaku heran. Aku dan bu nyai sudah biasa, jika aku punya masalah dan tidak bisa kuatasi. Aku selali minta pendapat beliau.

"Iya," jawabnya singkat. Kami mengobrol sambil berdiri.

"Sendiri atau mengajak teman." 

"Mengajak teman juga tidak apa-apa kok, Kang."

"Buruan ke sana, sudah ditunggu." Gus Ulin berlalu dari hadapanku.

"Aku harus mengajak siapa ya!" Aku bingung.

"Aku ajak Kang Rois sajalah." Aku langsung berjalan menuju ke kamarnya. 

"Kang! Kang!" Karena tidak ada jawaban kubuka sedikit pintunya. Tidak ada, kosong.

"Apa aku ke sana nanti saja ya, kalau sendiri malu. Tapi sudah di tunggu." Aku malah bingung sendiri.

"Aku cari saja dulu." Aku berjalan ke satu tempat ke tempat lain. Menyusuri area pesantren tapi tidak ada juga.

"Ah, malah perut sakit lagi." Aku berjalan menuju sungai yang ada di belakang pesantren. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, kusibakkan daun pisang yang sudah kering untuk pintu tersebut.

"Aaa!"

"Aaa!" Karena kaget aku juga berteriak. Saat aku menoleh ternyata di dalam ada orang, aku pun buru-buru keluar.

"Maaf Kang aku tidak tahu kalau di dalam ada kamu!" teriakku.

"Ah kamu itu Kang, tadi kamu sempat lihat senjataku tidak?" tanya Kang Rois.

"Ah paling bentuknya juga sama sepertiku hahaha," ledekku.

"Ah sial kamu itu."

"Ternyata kamu nongkrong di sini to, tak cariin ke mana-mana kok gak ada." 

"Emang kenapa? Kangen? Sampai menyusul ke sini haha."

"Dari pada aku mengangeni kamu lebih baik aku mengangeni santri wati yang ada di pesantren Udin." 

"Apa?"

'Aduh aku malah keceplosan,' gumamku dalam hati.

"Apa to, Kang? Oh ya Kang cepetan, kita dicari bu nyai," imbuhku mengalihkan pembicaraan.

"Ada apa kok dicari?"

"Aku juga tidak tahu," jawabku jujur. Kang Rois keluar dari dalam, menggulung sarung sampai ke lutut agar tidak basah.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya saat kami sejajar.

"Ya mau setorlah, ikut?" tawarku.

"Idih ogah." Kang Rois berlalu begitu saja.

"Oh ya Kang nanti kalau ke sana tunggu aku ya, kalau Gus Ulin datang lagi bilang aku masih di sungai" teriaku dari dalam. Memberi pesan kepada Kang Rois.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status