Share

LOVE YOU MBAK SANTRI bab 3

Tiga hari aku tidak main ke pesantren Udin, ada rasa rindu di hati ini. Selalu dan ingin selalu memandang wajah mbak santri tersebut, rindu yang ada di hati tidak bisa lagi kureda.

"Kok aku rindu dia ya," gumamku, sambil tiduran di karpet tipis.

"Aku sudah tiga hari tidak ke sana, apa aku ke sana ya nanti."

Aku menimbang-nimbangkannya. Daripada aku gelisah lebih baik aku ke sana saja sekarang. Kulihat jam lima sore, aku mengambil jaket levis berjalan mencari Kang Rois.

"Kang, aku mau jenguk Udin dulu kok aku ke pikiran." Tentu itu hanya alasanku saja. Aku berdiri di ambang pintu kamar Kang Rois.

"Oh iya Kang, sekalian aku nitip Kang." Dia yang awalnya tengkurap kini berdiri berjalan menghampiriku.

"Apa?"

"Tolong belikan gorengan yang ada di perapatan yang ada di pojokkan sana." Ia mengulurkan uang satu lembar pecahan sepuluh ribu.

"Beli berapa?" Kuambil uangnya dari tangannya"

"Lima ribu aja."

"Nanti pulangnya jam berapa?"

"Mungkin setelah salat isya."

"Ya udah Kang, aku berangkat ya, takut magrib masih di jalan," ucapku sambil berlalu dari hadapannya.

***

"Itu lho yang berdiri, yang sedang salat ba'diah magrib."

"Bukan, yang itu yang duduk menghadap ke utara yang paling ujung timur."

"Ngawur kamu, bukan. Itu Mbak Anis, di sampingnya Mbak Anis itu." Aku yang mendengar mereka ribut sendiri, mengintip santri wati mengaji Tafsir Jalalen. 

"Hei kenapa kalian ribut-ribut?" Udin membuka setengah pintu kamar pondok induk. Ada jendela yang langsung mengarah ke mushola.

"Ah kamu Kang, mengageti kita aja," jawab salah satu dari mereka. Mereka semua langsung menoleh ke arah kami.

"Kalian mengintip apa sih?" tanya Udin.

"Itu primadona pesantren," jawab santri putra yang berbadan kecil juga kurus.

"Primadona?" Dahiku mengernyit. Karena aku penasaran aku ikut melihat keadaan di dalam kamar. Ada lima anak yang mengintip santri wati. Mereka mengerubungi cendela dan saling tumpang tindih.

"Yang itu lhoo, duh manisnya dia." Aku juga mendengar suara di sebelah kamar.

"Iya-iya, dia cantik, apa lagi lesung pipinya itu duh, ke duanya ada lesungnya." Aku yang mendengar sedikit terkejut.

"Lesung pipi? Ah mungkin itu santri wati yang lain." Aku menenangkan diriku. Semoga saja santri wati yang mereka maksud bukan santri wati yang aku sukai, bisa banyak saingan kalau begitu.

"Ayok Kang." Udin merangkulku dan berjalan ke kantin yang ada di pondok. Letaknya ada di sebelah kanan pondok putra dan bersanding dengan pondok putri. Tapi lumayan jauh.

***

Aku dan Udin membuat kopi di dapur belakang rumah Mbah Yai.

"Hahaha iya." Ada suara perempuan dari arah samping dapur. Langkahnya semakin mendekati dapur.

"Dek," sapa Udin yang berdiri di sebelahku.

"Hemmm, iya ada apa?" Karena ditegur Udin, dia berhenti dan menoleh ke arah kami.

"Apa hanya dia yang dipanggil Dek, oleh Udin?" Kini pikiranku tidak karuan. "Ah paling karena dia kecil." Aku mencoba menenangkan diri. Santri wati yang lain pergi, meninggal mereka berdua, justru temannya salah tingkah.

"Udah pulang, Dek?" tanya Udin.

"I ...."

"Iya Kang." Temannya memotong ucapan santri yang dipanggil Udin tadi. 

Dari gelagatnya dia suka sama Udin, karena Udin ikut hadrah dan menjadi vokal, suara yang merdu juga enak didengar. Juga tampang yang cukup lumayan, putih juga tinggi. Hampir semua wanita dibikin klepek-klepek sama dia. Tapi sayang umur yang hampir mendekati kepala tiga, dia belum kunjung nikah, selalu saja gagal.

"Kok cepat banget?"

"Iya karena gusnya ada acara," jawabnya lagi.

"Kamu ngapain di sini Kang?" tanya santri wati. Justru mbak santri yang dipanggil Udin diam saja.

"Ini mau bikin kopi," ucap Uddin cuek. 

Aku yang melihat menahan tawa, bagaimana tidak alih-alih ingin berbicara dengannya malah dijawab terus oleh temannya. Ah manisnya dia, kapan lagi kami bisa ketemu seperti ini, jarak kami hanya tiga meter. Jadi wajahnya kelihatan cantik dan manis di terangi lampu lima what. Saat aku memperhatikan wajahnya, dia malah pergi begitu saja tanpa pamit dan meninggalkan temannya di sini bersama kami.

'Apa dia tahu kalu aku sedang memperhatikannya?' gumamku dalam hati.

***

"Assalamualaikum." Aku berdiri di luar pintu Kang Rois.

"Waalaikumsalam," jawab Kang Rois dari dalam. Tidak berapa lama dia membukakan pintu.

"Ini Kang titipannya." Kusodorkah keresek putih besar dan sedikit ada uapnya di dalam karena gorengan yang masih panas di bungkus.

"Oh ya Kang, makasih." Dia mengambil keresek putih.

"Ayok Kang sini, makan bersama!" Ajaknya. Aku ikut masuk ke kamar Kang Rois. Membuka ikatan lalu membukanya lebar-lebar. Masih ada asapnya bertanda gorengan yang kubeli masih panas.

"Kok sudah dijenguk lagi?" Ia ambil satu gelas kopi hitam yang ada di samping kirinya.

"Iya, kan dia baru di sini. Apa lagi si Udin belum tahu karakter orang sini, takutnya dia tersinggung. Jadi aku menasihati dia agar betah di sini." imbuhku.

"Memang dulu dia mondok di mana?" 

"Iya hanya sekitar Jawa tengah saja." Kami mengobrol sambil memakan gorengan dan berbagi kopi hitam. Nikmatnya.

"Di sini sama di sana itu beda jauh, kalau di sini perkataan sedikit kasar tapi kalau di daerahku kalem," jelasku panjang lebar.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari arah luar. Dan ternyata itu Gus Ulin.

"Waalaikumsalam," jawab kami kompak dan menoleh Gus Ulin yang sudah duduk di antara kami.

"Kenapa Gus kok kelihatan susah gitu?" tanyaku heran.

"Iya Kang, abah sakit." Ada rasa gelisah yang ia tampakkan.

"Sejak kapan?" tanya Kang Rois.

"Udah dua hari ini, sejak memanen padi kemarin,” imbuhnya.

"Mungkin kecapek-an Gus!" hiburku. "Sini Gus makan gorengan dulu sambil minum kopi," tawarku

"Iya," jawabnya lesu. Kami mengobrol sampai tengah malam, aku melihat Kang Rois sudah menahan kantuk.

"Kang aku balik ke kamar dulu."

"Aku juga pamit Kang." Gus Ulin juga ikut pamit.

Kami berdua berdiri bersamaan, Gus Ulin berjalan lebih dahulu dan aku berjalan di belakangnya. Aku berbelok ke arah kamar sedangkan Gus Ulin berjalan lurus menuju ndalem. Ndalem yang artinya rumah. 

***

Di saat aku mengaji sendiri terdengar suara jeritan dan juga tangisan.

"Abah!"

Aku yang mendengar langsung lari keluar, saat aku keluar sudah banyak santri yang berkumpul. Saling pandang dan saling tanya. Berbondong-bondong menuju ndalem, saat kulihat sudah banyak santri wati yang berkerumun di sebelah samping ndalem.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status