Share

LOVE YOU MBAK SANTRI bab 5

"Assalamualaikum," ucap Kang Rois di depan pintu Bu Nyai.

"Waalaikumsalam," ucap seseorang dari arah dalam. 

Seorang perempuan hampir berkepala lima keluar dari kamar masih menggunakan mukena pajang. Sedikit gemuk tapi cantik.

"Ayo Kang silakan masuk," titah Bu nyai.

"Inggih."

Bu nyai duduk di atas sofa sedangkan kami duduk di atas karpet. Ya itulah salah satu cara santri menghormati gurunya. Seorang santri berjajar dengan Guru merasa tidak pantas dan suul adabnya kurang.

"Jangan duduk di bawah dingin," ucap beliau.

Kami menurut dengan ucapan Bu Nyai dari bawah kini kami duduk di sofa. Berhadapan dengan Bu Nyai. Hanya meja kecil yang menjadi pembatas kami.

"Kok baru datang jam segini Kang?"

Kami memang sengaja datang setelah Shalat isya, agar bisa mengobrol dengan nyaman dan sedikit lama.

"Iya Bu, tadi saya mencari Kang Rois tidak ketemu-temu," jawabku dengan kepala menunduk.

"Lho emang tadi ke mana?"

"Di sungai Bu," Kang Rois menjawab dengan sedikit malu-malu. Pipinya seperti udang rebus.

"Ngapain!" 

Kami saling menyikut.

"Eh itu Bu anu." jawabku Kang Rois gugup.

"Ada panggilan alam Bu yang tidak bisa di tunda lagi," jawabku cengengesan. 

"Oh itu." 

Entah tahu atau pura-pura tahu Bu Nyai. 

"Saya bingung," ucap Bu Nyai.

"Bingung kenapa Bu?" tanya Kang Rois.

"Setelah di tinggal Abah, hidup Ibu seperti hampa kayak orang linglung!"

"Saya juga bingung dengan nasib pesantren ini nanti jadi bagaimana, apalagi ada seseorang yang ingin menguasai pesantren ini" Bu Nyai mendongakkan kepala sedangkan matanya mengelilingi setiap sudut ruangan, menahan air yang mengandung garam.

Seakan-akan rumah ini saksi biksu pengorbanan Abah. 

Deeg..

"Ada yang ingin menguasai, siapa dia? beraninya dia!" gumamku dalam hati. Sedikit Geram.

aku sedikit terkejut karena, pesantren ini yang mendirikan Abah dari nol.

"Terus Ibu memberikannya begitu saja?" tanya Kang Rois yang tidak sabaran.

"Maka dari itu saya tanya sama kalian, karena kalian pengurus." 

"Kalau menurut saya, Ibu pertahankan pesantren ini jika Ibu pergi bagaimana nasib para santri," imbuhku

"Doakan saja supaya saya bisa mempertahankan pesantren." 

Dari raut wajah Bu Nyai ada rasa sedih yang sangat mendalam, dua puluh lima tahun sudah Bu Nyai hidup bersama dengan Abah di rumah ini. Dan sekarang ingin di ambil orang.

"Yang sabar ya Bu." ucapku.

Agar mendapat semangat menjalani hidup setelah di tinggal pergi Abah.

"Iya, oh ya sekarang kalian ambil uang listrik ke masyarakat, Nanti dari pihak PLN akan memberikan keringanan pada pesantren jadi lumayan. Uang pesantren bisa buat keperluan yang lain."

"Nanti kalian setor ke cabangnya," imbuh Bu Nyai.

"Inggih Bu."

Jam sepuluh kami kembali ke pesantren, setelah berbincang panjang lebar dengan Bu Nyai.

"Eh Kang kira-kira siapa ya," tanya Kang Rois.

"Entahlah Kang." 

Kami berjalan menuju kamar Kang Rois setelah membuat kopi.

"Apa dia ingin di panggil Pak Kyai gitu ya," imbuhku.

"Di dengar sana sudah tidak enak, apa lagi benar-benar terjadi apa dia tidak malu."

"Malu kenapa." tanyaku.

"Kan Abah punya anak, kan bisa di teruskan Gus Fuad." 

Kang Rois mengeluarkan sebungkus rokok berbungkus oren yang tinggal lima batang. Meletakkan di antara kami.

"Iya juga ya." 

Meskipun tidak di suruh, aku mengambil satu batang rokok. Kuhisap dalam-dalam.

"Padahal, pangkat Pak Kyai itu gelar yang di berikan Allah. Tidak semua orang bisa menyandang itu. Ya, meskipun dia pintar tapi kalau bukan jatahnya ya tidak bisa," ucap Kang Rois.

Aku memikirkan ucapan Kang Rois barusan.

"Benar Kang kata kamu." 

Kuseruput kopiku, menghangatkan badan dari dinginnya malam.

******

"Kang Rois."

Tidak ada jawaban.

Kubuka pintu kamarnya ternyata dia tidur.

"Duhh pulesnya." 

Kupandangi dia. Berbantal tangan berselimutkan kain sarung yang sudah si potong menjadi persegi panjang, beralaskan karpet yang sudah tipis. Dengan posisi kaki di tekuk ke atas mengenai perutnya.

"Kang bangun," kugoyangkan badannya.

"Hemmm...." 

"Bangun."

"Iyaaa"

Kutunggu beberapa menit tapi belum kujung bangun juga.

"Kang ayo mengopi." sengaja aku berbohong agar dia cepat bangun.

"Ayok."

Seketika dia langsung duduk bersila dan mengelap air liur yang di pipi.

"Giliran kopi saja semangat." 

"Ada apa sih Kang?" tanyanya sambil menggulingkan badannya ingin tidur lagi.

"Ya mengambil uang listrik." 

Sebelum itu terjadi, kutahan lengannya. 

"Besok saja kenapa?" 

"Sekarang sudah tanggal lima, sedangkan menyetor tanggal 23. Nanti kalau kita tidak cepat, orang-orang akan bayar listrik sendiri Nanti, kita malah di marahi Bu Nyai," cerocosku panjang lebar.

"Iya iya ayo," dengan rasa masih katung melanda. Ia paksakan untuk berdiri.

"Sana cuci muka dulu, baru deh berangkat." Saranku.

"Iya iya tunggu." 

Saat dia berjalan keluar, Kang Rois hampir saja menabrak cendela.

"Eh eh, sejak kapan ada cendela di sini," ia pukul cendela itu dengan pelan.

Kugelengkan kepala melihat tingkahnya.

****

"Kang kita bagi saja biar cepat ya." Usulku.

"Gitu juga bagus."

"Kamu ke mana." 

"Aku ke selatan kamu ke utara bagaimana?" imbuhnya.

"Ok kalau begitu".

Kami langsung bergegas melaksanakan tugas masing-masing dengan mengendarai motor butut.

Kumulai dari rumah dekat pesantren dulu. 

"Assalamualaikum."

Hening...

"Assalamualaikum." kini aku sedikit keras.

Tidak ada jawaban.

"Assalamualaikum." kucoba sekali lagi.

"Jika tidak ada jawaban, aku akan pergi." Pikirku.

Hampir dua menit tidak ada tanda-tanda orang akan datang, aku pun berjalan menuju motor dan menaiki. Saat ingin menggenjot tiba-tiba ada yang memanggil.

"Kang!"

Seketika aku menoleh. Pemilik rumah keluar aku yang di atas motor langsung turun.

"Assalamualaikum." Aku berjalan di belakang pemilik rumah.

"Waalaikumsalam," jawab bapak tersebut yang belum terlalu tua.

"Pertama kedatangan saya silaturahmi dan yang ke dua saya ingin memberi tahukan ke pada Bapak, kalau saat ini penarikan listrik di serahkan ke pada pihak pesantren. Jadi Bapak tenang saja, yang mengambil anak-anak santri lalu di setorkan ke pihak PLN. Bapak tidak usah repot-repot ke kantor lagi sekarang." Jelasku pada Bapak berkepala plontos.

"Ya syukur kalau begitu, jadi saya tidak usah capek-capek ke sana, sekarang sudah di ambil sendiri ke rumah. Bagus itu nak, sangat bagus." Ucap Bapak menanggap positif.

Setelah semua selesai kini aku lanjutkan lagi ke rumah samping. Kulakukan sama persis ke pada masyarakat sekitar.

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam," ucap seorang Ibu-ibu dari arah dalam. Tidak begitu lama keluarlah seorang Ibu yang gempal juga putih. Memakai perhiasan yang tidak karuan bukan terlihat bagus malah seperti toko perhiasan berjalan.

Setiap kali menggerakkan tangannya benda yang berwarna emas selalu mengikuti arah geraknya sehingga menimbulkan suara.

Kerincing... Kerincing...

"Ada apa? mau minta sumbangan?" Tanyanya ketus.

"Bukan Bu saya ke..."

"Terus kalu bukan minta sumbangan apa."

Belum selesai kujelaskan sudah di potong ucapku.

"Maka dari itu Ibu, dengarkan penjelasan saya dulu. Jangan buru-buru di potong dulu"

Dari raut wajahnya dia tidak suka.

Kujelaskan maksud dan tujuanku datang kesini.

"Oh gitu." Hanya itu tanggapan yang ia berikan.

Setelah selesai aku berjalan lagi ke rumah-rumah yang lain, ada yang menanggapi secara positif dan ada juga yang menanggapi dengan negatif, tapi tidak kupedulikan lagi.

Setelah selesai aku pulang ke pesantren.

"Capek juga."

Setelah kuamati Kang Rois belum pulang, jadi aku menunggu Kang Rois untuk menyetorkan uang tersebut.

Sambil menunggu Kang Rois datang aku memilih mengopi sambil menikmati rokok kretek di bawah pohon mangga. Menikmati indahnya udara dan juga pemandangan di sore hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status