Share

LOVE YOU MBAK SANTRI bab 6

Jam lima sore Kang Rois datang sambil mendorong motornya. Berhenti di depanku.

"Apes wes apes." Stelah menstandarkan motornya, ia berjalan ke arahku dan merobohkan badannya di sampungku.

"Kenapa Kang?” tanyaku heran.

"Itu motornya Kang Usman malah mogok."

Kang Usman juga salah pengurus tapi.

"Kok bisa,” kupandangi motor, di lihat motornya tidak kenapa-napa.

"Gak tau!” jawab Kang Rois ngos-ngosan setelah mendorong motor.

"Mana lagi dorongnya dari perempatan sana, hadeh capek," cerocosnya.

"Kenapa tidak di titipin ke bengkel aja tadi.” 

"Mana ada duit aku Kang-kang?"

"Kan pinjam sama aku bisa.” 

"Emang kamu punya?" tanyanya.

"Belum tahu hahaha.” 

"Edan samean."

"Tadi udah di cek tangki bensinnya?" kudekati motor, dan kugenjot.

"Asthofirrulloh egak.e Kang." seketika Kang Rois bangun dari tidurnya dan menepuk jidatnya sendiri.

"Mana mau nyala kayak gitu, meskipun di bawa bengkel ya gak tetep nyala," kugelengkan kepala.

"Ya gitu, mentang-mentang bukan punyanya lupa mengisi bensin," celetuk seseorang dari arah samping. Ternyata Kang Usman.

"Maaf Kang, tadi bener-bener lupa takut ke sorean di jalan," jawab Kang Rois.

"Mana kunci motor?" Kang Usman berdiri di samping Kang Rois sedangkan tangannya menadah minta kunci tersebut.

"Mau ke mana Kang?” tanya Kang Rois bingung.

"Mau beli bensin sekalian mau beli gorengan," ucap Kang Usman sambil melangkahkan kakinya ke arahku.

Aku yang duduk di atas jok motornya segera turun.

"Aku bantu dorong Kang.” Kang Rois mendekati Kang Usman, sesekali membenarkan kopiahnya.

"Ini,” Kang Rois mengulurkan uang pecahan sepuluh ribu ke Kang Usman.

"Buat apa?” tanyanya bingung.

"Buat beli bensinlah."

"Gak usah, aku masih punya duit. Nanti aja kalau aku tidak punya, Kang Rois yang ngisi,” tolak Kang Rois halus.

"Jangan gitulah, kan kamu tidak pernah tidak punya uang Kang." Mungkin Kang Rois tidak enak hati.

"Udah Gak apa-apa.” 

"Gini aja aku beliin gorengan aja gimana sama kopi," tawarnya.

Aku masih jadi pendengar setia mereka.

"Gitu juga tidak apa-apa,” terima Kang Usman.

"Dari pada kalian dorong motor lebih baik kalian pakek aja motorku,” tawarku.

"Kenapa tidak bilang dari tadi," ucap Kang Rois.

"Gimana mau bilang kalain aja ribut sendiri." 

"Ya, udah mana kuncinya," pinta Kang Rois.

"Ini," kuserahka kunci berbandul ketupat.

"Ya sudah kalian aja yang berangkat." Kang Rois kembali merobohkan badannya.

"Laa  kok malqah aku,” timpalku.

"Aku mau istirahat dulu capek," jawabnya santai. Seperti di pantai.

"Ya udah." Akhirnya aku yang mengalah.

Kasian juga lihat Kang Rois tadi mendorong motor.

*****

Jam sembilan malam aku dan Kang Rois menuju ndalem.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam," jawab seseorang dari arah samping. Dan yang keluar Gus Fuad.

Tinggi juga putih dan tampan, pesersis almarhum Abah.

"Ayok Kang, masuk." 

Aku dan Kang Rois masuk, duduk di depan Gus Fuad.

"Bu Nyai ada, Gus?" akupun langsung ke intinya.

"Ibu tidak ada Kang." 

"Kemana? jam segini kok gak ada di rumah?" tanya Kang Rois heran.

"Ibu ke rumah Nenek sama Ulin." Suara yang lemah lembut mirip dengan Bu Nyai.

"Ya udah kalau gitu, kami pamit dulu. Karena Ibu gak ada," pamit Kang Rois.

"Disini bentar Kang, temani saya dulu!" pinta Gus Fuad.

"Biar lebih enak, ayok duduk di bawah sana," tunjuk Gus Fuad.

Kami mengikuti ajakan Gus Fuad. Duduk di karpet di samping kiri kursi.

"Ehm Kang Rois buat kopi sana," titah Gus Fuad.

"Monggo Kang rokoknya," tawar Gus fuad.

Kami para santri sudah biasa di suruh ini itu, bukan berati ustaznya tidak menghargai santri. Agar para santri takdim terhadap Pendiri pesantren dan agar ilmunya barokkah.

Tidak berapa lama Kang Rois datang dengan membawa dua kopi susu. Santri juga terbiasa satu tempat di bagi beberapa santri (joinan).

"Monggo Gus kopinya," Kang Rois meletakkan nampan berbentuk segi panjang yang berisi kopi.

"Iya Kang Makasih ya," ucap Gus Fuad.

"Iya Gus, sama." 

"Ini Kang, rokoknya," tawar Gus Fuad pada Kang Rois.

Dari raut wajah Gus fuad ada rasa sedih juga gelisah.

"Ada apa to Gus?" kuberanikan diri untuk bertanya.

"Hemmm... anu Kang, kami bertiga di suruh pergi dari rumah ini," jawabnya lesu.

"Apaaa....?" Aku dan Kang Rois kaget.

"Iya... Kang." 

"Siapa Gus yang menyuruh," tanyaku penasaran.

"Suatu hari nanti kalian akan tahu kok," timpal Gus Fuad santai.

"Alasannya kenapa Gus?" tanyaku.

"Karena tanah ini milik Abah, jadi saudar-saudaranya ingin menguasainnya."

"Kan masih ada kamu sama Gus Ulin, Gus?" 

"Maka dari itu Kang, kok tega sekali mereka."

"Terus sekarang gimana ke putusannya?" tanya Kang Rois.

"Belum tau aku Kang," jawab Gus Ulin pasrah.

Tidak terasa sudah malam. Karena sudah kantuk kami pamit balik ke pesantren.

*****

Kurebahkan punggung ke kasur lantai yang sudah pudar warnanya. Kucoba pejamkan mata tiba-tiba bayangan Mbak santri muncul di otak. 

"Kenapa malah dia yang muncul?" gumamku lirih.

Tiba-tiba aku terbayang ke jadian kemarin, di saat dia berduaan dengan Kang Abdul. Saat mengingat itu ada rasa sakit di hati.

"Ah penyakit hati juga pikiran, dari pada aku sakit hati lebih baik aku mengaji aja," batinku.

Setelah mengambil air wudu, kubuka tulisan yang bertulis arab dan kubaca. Ada ketenangan di hati juga pikiran saat membaca al-qur'an.

Hampir tiga puluh menit aku mengaji, rasa katuk yang melanda tidak bisa di tunda lagi. Kututup al-qur'an dan memilih untuk tidur.

*****

"Ayok Kang," ajakku ke Kang Rois.

"Ke mana?" ia mengernyitkan dahinya, mungkin dia bingung.

"Nemuin Ibu? kan semalem belum jumpa." 

"Oh ya." 

Aku yang duduk di ambang pintu sambil menikmati lintingan rokok.

"Sekarang apa nanti?" tanyaku lagi.

"Besok aja kalau sudah kumpul semua aja," usulnya.

"Gitu juga tidak apa-apa." 

"Ngopi dulu aja Kang, dari tadi aku belum ngopi," ucapnya.

"Ya udah ayok ngopi," ajakku.

Kami langsung berjalan ke menuju dapur pesantren.

Cetek... Cetek...

"Punya kopi apa Kang?" tanyaku setelah menyalakan kompor.

"Kopi hitam, he he." 

Aku lihat Kang Rois sibuk dengan benda pipihnya, senyum-senyum sensiri.

"Kang...." 

Tidak ada jawaban...

"Kang...." Panggilku sedikit teriak.

Juga tidak dengar dia.

"Kang...." kutepuk belakang bahunya.

"Ehh... iya Kang ada apa?" jawab Kang Rois gelagapan.

"Hemm... Chat sama siapa sih, di panggil kok gak dengar," ejekku.

"Ah tidak," Kang Rois memasukkan ponselnya ke dalam jaket.

"Alah jangan bohong," kusipitkan mataku menyelidik.

"Tidak kok, kemarin ada orang minta nomorku, katanya agar mudah aja kalau ingin bayar listrik gitu." 

Entah di jujur atau bohong aku tidak tahu.

Kini dia membuka bungkus kopi dan menuangkan ke dalam gelas.

"Cewek apa cowok?" tanyaku penasaran.

"Ada deh."

"Pasti cewek?" tebakku.

"Itu Kang airnya sudah mendidih." 

"Iya.”

Entah mengalihkan pembicaraan atau apa. Ah antahlah.

Setelah selesai kami bawa kopi tersebut ke dalam kamar. Menikmati kopi juga beberapa rokok yang tinggal tiga batang. Ah nikmatnya.

"Assalamualaikum" 

Ucap seseorang dari depan pintu.

"Waalaikumsalam," jawab kami kompak.

Gus Ulin masuk.

"Kapan Gus datangnya?" tanyaku.

"Datang dari mana?" tanyanya bingung.

"Dari rumah si Mbah"? timpal Kang Rois.

"Oh itu, tadi malam langsung pulang kok, tidak menginap" jelasnya.

"Terus pulang jam berapa, tadi malam kami mengobrol sama Gus Fuad sampek jam setengah sepuluh kalau gak salah," tuturku.

"Kalian kembali ke kamar, aku datang. Aku lihat kok kalian masuk kamar." 

"Monggo Gus kopi," tawarku.

"Iya."

"Kok aku tidak mendengar suara motornya?" tanya Kang Rois.

"Oh itu karena bensinnya habis haha." 

"Oh gitu."

Kami mengobrol sampai azan magrib berkumandang, Gus Ulin pamit pulang sedangkan aku mengambil air wudu bersama Kang Rois.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status