"Wah bisa kebetulan begitu, ya?"
"Ya, ampun. Saya gak nyangka lo. Kayak kejadian di sinetron aja."
Dengan tertawa canggung, Bu Tina berkata, "sama saya juga tidak menyangka bakal kejadian seperti ini."
"Bu Tina gak takut, Dafa kembali kepincut sama Aara?"
Bu Tina mendelik tidak suka pada si penanya, "enggak lah. Dafa kan sudah punya Kirana yang jauh lebih cantik. Malah saya sempat khawatir kalau Aara yang akan kembali menggoda Dafa," ujar wanita itu dengan angkuh.
"Wah, pemikiran apa itu? Jelas Aara gak mungkin seperti itu! Fawaz itu gak kalah sama Dafa. Bahkan dulu banyak banget yang mau jodohin putrinya sama Fawaz. Lagipula Dafa sama Kirana sampai sekarang belum nikah. Jangan-jangan Dafa belum move on," balas Bu Laras.
"Bun," bisik Aara yang sudah pindah di samping mertuanya.
"Udah kamu diem. Orang seperti itu memang harus dibalas. Biar gak semakin seenaknya." Bu Laras berbicara pelan pada menantunya. Dia tidak akan membiarkan siapa
Aara berdecak kesal, melihat suaminya masih tertidur lelap padahal sebentar lagi memasuki waktu subuh. "Mas bangun!" Aara mengguncang tubuh suaminya."Hem." Fawaz merubah posisi menjadi membelakangi Aara."Mas!" panggil Aara lebih keras, kini disertai tepukan di pipi sang suami.Wanita itu terpekik kecil, saat tangannya tiba-tiba ditarik. Menyebabkan dirinya jatuh ke tempat tidur."Mas Fawaz apa-apaan sih? Ayo bangun.""Lima menit lagi." Tangan Fawaz tidak melepaskan genggamannya dari tangan sang istri."Kelamaan, bentar lagi subuh.""Aku capek, masih ngantuk."Aara memutar bola matanya mendengar nada merajuk sang suami, "yaudah terserah Mas. Aku duluan kalau gitu."Mata yang semula terpejam erat, langsung terbuka. Tubuh Fawaz pun sontak duduk, "eh, jangan! Tunggu Mas!" perintahnya yang mendapat anggukan dari sang istri.Melipat mukena yang baru saja dipakainya, Aara beralih ke nakas untuk menghidupkan ponsel sang
"Lo kenapa?" tanya Fawaz. Pandangannya menatap lurus ke arah depan. Pada taman luas, dengan rumput hijau yang dipotong rata. Terdapat beberapa kursi panjang yang terletak di bawah pohon, hingga menimbulkan kesan tenang dan nyaman.Dalam taman ini ada beberapa pasien yang sepertinya sedang menikmati sinar matahari pagi. Ada juga beberapa orang yang berkumpul, mungkin mereka anggota keluarga pasien. Hati Fawaz menghangat melihat beberapa pasien yang berada di kursi roda tampak tersenyum, mereka seperti mempunyai semangat untuk sembuh."Gue minta maaf. Gue cuma ... entahlah." Kelvin menyisir rambutnya dengan kasar. "Gue cuma panik aja kemarin, selain itu juga merasa gagal sebagai kakak. Karena selama ini gak tau kalau adek gue sakit. Bahkan gue merasa banyak hal yang dia pikirkan, tapi tiap gue tanya dia selaku bilang gak ada apa-apa."Melirik sekilas pada laki-laki di sampingnya, dia paham kenapa Kelvin bisa bersikap seperti itu. Ya, pasti Kelvin menyesal te
"Maaf," ucap Dafa lirih saat dia hanya berdua dengan Kirana."Gak pa-pa Kak. Jangan merasa bersalah seperti itu." Kirana tersenyum menenangkan. Matanya menatap lurus dinding di depannya. Entah mengapa dia tidak mau melihat Dafa.Dafa, laki-laki itu tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Perlakuan laki-laki itu membuat dia salah paham, hingga melakukan segala hal agar Dafa menjadi miliknya. Mirisnya, dia sampai melepaskan Fawaz. Hingga penyesalan yang kini dirasakannya.Sebenarnya hubungannya dengan Dafa juga tidak memiliki kejelasan. Namun, orang-orang yang sering melihat mereka bersama mengartikan dia dan Dafa adalah pasangan kekasih. Padahal, sampai detik ini Dafa tidak pernah menyatakan perasaan cintanya.Tidak ada pembicaraan berarti di antara kedua orang itu. Lebih banyak mereka saling diam, sibuk dengan pikiran masin-masing. Sampai beberapa menit kemudian, orang-orang yang tadi keluar dari ruangan ini kembali secara bersamaan."Na, kakak mau mee
"Kenapa kamu di sini?" tanya Bu Tina yang sudah berdiri di antara Kirana dan Aara.Belum juga Aara menjawab, pekikan heboh Dania membuat dia terkejut sekali lagi."Mbak Kirana kenapa menangis? Mbak diapain sama Aara?" Dania menatap tajam pada Aara.Sementara Aara yang langsung dicurigai, hanya bisa menampilkan wajah tenang. Sudah terbiasa menghadapai Dania dan Bu Tina yang seperti itu. Lagipula, dia tidak salah. Kenapa juga harus takut?"Kami memang baru saja terlibat pembicaraan, hingga akhirnya aku terbawa suasana."Seketika pandangan Aara beralih pada Kirana. Kenapa dia harus menjelaskan seperti itu? Tidak bisakah dia bilang, kalau tidak terjadi apa-apa. Kalau seperti ini bisa dipastikan Dania dan Bu Laras akan mencecarnya."Pasti Aara ngomong hal yang menyakiti Mbak."Nah kan!"Dania, bisa gak kamu jangan asal tuduh. Coba kamu tanya saja pada Mbak Kirana apa yang terjadi.""Gak perlu ditanya, karena pasti Kirana sepe
Setelah ketukan Fawaz dijawab seruan dari dalam. Laki-laki itu langsung membuka pintu. Dia tetap membiarkan pintu terbuka lebih lebar, agar istrinya bisa masuk. Selanjutnya dia menutup pintu itu kembali.Rasanya dia ingin menyeret sang istri pergi. Saat melihat Dafa berada di sana, memandang istrinya dengan lekat. Padahal laki-laki itu berdiri di samping ranjang Kirana. Apa sih sebenarnya maksud Dafa?Seandainya di sini tidak banyak orang, bisa dipastikan dia akan menghardik laki-laki tidak sopan itu. Menyapa orang-orang di sana, langkahnya lalu bergerak menuju sofa dan duduk di samping Kelvin. Aara yang sejak tadi mengikutinya, dia tarik agar duduk di sampingnya."Geser!" perintahnya pada Kelvin."Di sana masih kosong." Kelvin menunjuk sofa tunggal di sebelah Dania, meski laki-laki itu tetap bergeser sesuai perintah sahabatnya."Fawaz baru pulang?" tanya Tina. Namun, wanita paruh baya itu, sama sekali tidak memandang Aara."Iya. Tante baru
"Yakin gak pa-pa?" tanya Fawaz pada istrinya, untuk yang kesekian kali."Gak pa-pak kok. Mas tenang aja."Fawaz menghela napas, sebelah tangannya dia gunakan untuk mengusap kepala sang istri, sebelum kembali memegang stir mobil.Setengah jam lalu, ketika dia baru saja akan bersiap untuk tidur. Kelvin menelponnya. Awalnya dia tidak ingin mengangkatnya, karena entah mengapa dia seperti tahu kalau apa yang akan dibicarakan sahabatnya itu, adalah sesuatu yang baruk.Ya, benar dugaannya. Sahabatnya itu meminta tolong agar dia bisa menemani Kirana. Tentu saja dia menolak. Oke, ini bukan tentang dia yang tidak peduli pada Kirana, tapi statusnya berbeda dengan dulu. Dia tidak bisa lagi seenaknya menemui wanita itu.Namun, Aara yang saat itu berada di sebelahnya, menyuruh dia menyetujui permintaan itu. Dengan satu syarat, istrinya ingin ikut bersamanya.Hal yang tentu saja langsung disetujui Fawaz. Setidaknya dengan begitu perasaannya bisa tenang. Di
"Ingat, ya, kalau butuh apa-apa jangan sungkan."Kirana yang baru saja menaruh tasnya di atas ranjang, tersenyum pada wanita paruh baya yang tengah menatapnya."Iya, Tante.""Oke, kalau begitu tante tinggal dulu."Laras, wanita itu memutar tubuhnya menuju pintu. Karena dia harus segera ke toko. Baru saja pegawainya menelpon, katanya ada pelanggan yang ingin bertemu dengannya."Aku juga permisi, Mbak." Aara tersenyum tipis pada tamunya."Tunggu!"Kening Aara berkerut mendengar nada perintah itu."Aku serius soal perkataanku di rumah sakit kemarin."Mengerti arah pembicaraan Kirana. Aara tersenyum tipis, "terserah Mbak, silakan mencoba.""Sombong sekali kamu," cibir wanita yang masih terlihat pucat itu. Menyilangkan tangan di atas dada, Kirana tersenyum miring. Menunjukkan betapa dia percaya diri saat ini."Bukannya sombong Mbak, tapi jika Mbak masih terus mencoba merebut. Aku juga terus berusaha mempertahank
Waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi. Kala Aara terbangun, dan mendapati tubuhnya direngkuh dari belakang oleh suaminya.Menghela napas lelah, perlahan dia melepaskan kaitan sang suami. Tidak perlu banyak kesulitan. Toh, suaminya tertidur dengan lelap. Hingga dengan mudah terlepas dari kungkungan yang senantiasa memberi rasa nyaman.Berdiri sambil mengamati sang suami. Rasa sakit kembali menyengat hatinya.Perlahan dia mensejajarkan diri dengan posisi laki-laki itu. Mengelus pelan pipi yang sudah tampak bersih, karena kemarin sang suami sudah mencukurnya. Dia berucap lirih, "aku takut Mas. Aku takut kamu memilih pergi."Entah berapa lama, Aara dalam posisi seperti itu. Karena saat dia mencoba berdiri, kakinya sudah kesemutan. Gegas dia berjalan ke kamar mandi saat menyadari waktu subuh akan segera datang.Fawaz memperhatikan istrinya yang sedari tadi berjalan mondar-mandir. Sibuk membersihkan kamar mereka, yang dia rasa memang sudah bersih.