Share

HIDUNG BELANG

Bhara baru bisa menarik napas lega setelah sampai di rumah Husen dan Maya masih berada di sana, dalam keadaan baik-baik saja, justru raut wajahnya kebingungan tingkat tinggi.

"Bhara? Kamu beneran ke sini? Kenapa?" tanya Maya sambil bangkit berdiri.

Bhara yang tadi berlari dari luar pagar mencoba menstabilkan napasnya yang masih agak goyah. "Batalkan aja kerja samanya, ayo balik." Tak ada penjelasan.

Tentu tak akan semudah itu Maya menurut, impiannya sudah nyaris berada di depan hidung, mana mungkin kesempatan langka ini dia lepas begitu saja. "Kamu nggak lagi bercanda, kan? Aku susah payah bisa ketemu sama dia langsung, Bhar! Aku di sini buat nunggu dia balik. Ini portofolio aku!" Maya mengangkat sebuah dokumen di tangan.

"Ini nggak akan berjalan baik, Maya. Sekarang aku antar kamu pulang." Bhara mendekat untuk meraih tangan Maya.

"Apa alasannya?! Kenapa?!" Maya menepis tangan Bhara. Matanya mendelik nanar.

"Aku nggak bisa cerita sekarang, tapi aku bisa pastikan kamu akan menyesal nanti. Batalkan rencana kamu. Ini demi kebaikan kamu, Maya."

Maya tertawa getir, tidak dia percaya kata-kata bernada seperti itu keluar dari mulut Bhara. "Kamu siapa menentukan mana yang baik mana yang enggak buat aku? Kamu bukan Dev, Bhara! Bahkan Dev aja nggak aku turuti, apalagi kamu!"

"Ini beda!" teriak Bhara mulai kesal. "Aku yang ngenalin kalian, jadi kalau terjadi sesuatu, itu tanggung jawab aku!"

Jawaban Bhara masih belum dipahami oleh Maya. "Maaf ya, Bhara, aku nggak suka sikap pengatur kamu yang tanpa alasan kayak gini. Aku ini perempuan dewasa, aku bisa mengurus diri sendiri, aku bukan tanggung jawab kamu!" Kesabaran yang coba ditunjukkan Maya pun perlahan sirna.

Bhara menghela napas panjang. "Kamu masih keras kepala, Maya."

Alis Maya mengerut. "Jangan-jangan ..." Suaranya memelan, "Kamu cemburu?"

Bhara membelalak mendengar tudingan tiba-tiba itu.

"Iya? Kamu cemburu aku akan dekat sama Husen? Aku ada di rumahnya sekarang? Kamu masih menyimpan perasaan sama aku, Bhara? Ngaku aja kalau iya." Maya penuh percaya diri bertolak pinggang.

Alih-alih menyangkal, Bhara malah menantang balik, "Kalau aku bilang iya, kamu mau nurut?"

Berganti Maya yang tertegun. "Kamu ... serius?"

"Ya enggaklah!" sentak Bhara yang sontak membuat Maya terkesiap. "Jangan ngaco kamu! Aku cuma minta kamu batalkan pertemuan kalian, kalau kamu berkeras mau jadi aktris, kamu bisa titip portofolionya, nanti aku kasih ke dia, atau kamu tinggal aja di sini. Emangnya kenapa? Kenapa harus ketemu langsung? Berdua lagi!"

"Tuh kan ... kamu kedengaran cemburu, Bhara. Udah aku duga, kamu masih suka sama aku."

Bhara memijat keningnya pelan, gadis pengidap narsistik seperti Maya pasti mengira setengah populasi diam-diam mendambakan dirinya.

"Ya! Aku cemburu! Aku masih suka sama kamu! Puas? Sekarang balik!" Bhara sudah habis kesabarannya, ditariknya tangan Maya seenaknya.

"Hah? Be-bener?! Bhara! Lepas! Aku bisa jalan sendiri!"

Sekarang Maya bingung harus condong ke masalah yang mana, Bhara sungguh masih menyukainya atau Bhara saat ini sedang menyeretnya keluar?

"Bhara!"

Teriakan Maya spontan berhenti lantaran kaki Bhara juga berhenti, rupanya Husen telah kembali, pria gondrong itu menatap dua manusia yang baru saja keluar dari rumahnya dengan muka penuh tanda tanya.

"Bhara? Lu ikut ngantar Maya? Gue kan minta Maya datang sendiri," ucapnya.

"Husen, biar aku jelasin--"

Maya membuka mulut tapi Bhara langsung memotong, "Kami mau balik, kerja samanya batal, cari aja talent yang lain, atau kalau lu emang ngotot mau kerja sama Maya, itu dia bawa portofolionya, habis itu kami langsung balik."

Raut wajah Husen langsung mengeras. "What? Lelucon apa ini? Gue ini kerja secara profesional! Gue ini bukan sutradara kacang kemarin sore! Gue juga mau liat akting Maya dulu! Ini sekalian untuk casting!"

Bhara tersenyum miring, "Casting couch*?" tandasnya. (*Casting couch adalah sebuah kegiatan seksual yang dilakukan oleh seorang majikan atau seseorang dalam posisi berkuasa dan berpengaruh, terhadap seorang karyawan atau bawahan dari seorang petinggi sebagai bayaran dari sebuah pekerjaan, atau kemajuan karier lainnya dalam sebuah organisasi. Istilah casting couch bermula dalam industri perfilman, dengan rujukan spesifik kepada kegiatan seksual yang dilakukan antara sutradara casting atau produser film dan anggota pemerannya).

Wajah Husen dan Maya kompak memucat, dengan alasan yang berbeda.

"Lu kira gue sebusuk itu, Bhar?!" teriak Husen agak panik.

Sedang Maya yang juga terperanjat ikut menimpali, "Maksud kamu apa, Bhara?! Dia mau--"

"Gue tau apa yang lu lakuin selama ini," potong Bhara tanpa rasa takut. "Kalau lu berpikir bisa berbuat kayak gitu sama Maya, batalkan aja niat lu."

"Ini pencemaran nama baik!" teriak Husen tidak terima. "Nggak gue sangka kerja sama kita sampai di sini doang! Dan lu udah memfitnah gue, Bhara!"

Bhara menarik Maya lebih kuat, melewati Husen yang masih berusaha membela diri.

"Kalau lu ngerasa itu fitnah, coba buktikan aja. Kalau perlu ke pengadilan, gue bisa kasih bukti, kok. Lu emang busuk, Sen. Kalau menurut lu kerja sama kita berakhir, ya udah, good." Bhara terdengar tidak peduli sama sekali.

Maya masih sedikit menganga ketika tangannya ditarik lebih kuat oleh Bhara dan keduanya keluar dari gerbang rumah Husen.

"Lu akan nyesal, Bhara!"

Samar-samar suara teriakan frustrasi Husen masih bisa mereka jangkau.

***

Tangan Bhara membuka pintu mobil dan kesempatan itu dipakai Maya untuk menarik tangannya kembali, "Kamu sinting, Bhara! Kamu baru aja melepas kesempatan emas buat aku!"

Teriakan Maya yang tak diduga-duga itu agak menyentak Bhara. "Kamu harusnya berterima kasih karena aku menghindarkan kamu dari predator kayak dia."

"Ha ha!" Maya tertawa getir, matanya berkaca-kaca, tergambar kekecewaan yang teramat hebat di wajahnya. "Kamu baru aja menghancurkan masa depan aku! Kamu tau Husen tertarik sama aku! Aku bisa aja dapat peran bagus! Aku akhirnya bisa meniti karier aku, Bhara!"

"Jadi karier itu lebih penting daripada harga diri kamu? Kamu mau tidur sama dia?"

"Itu nggak ada buktinya."

"Banyak yang cerita kayak gitu sama aku, dan aku liat sendiri di tempat syuting, dia berkali-kali melecehkan talent-nya!"

Maya tertawa getir lagi. "Jangan sok suci kamu! Emangnya kamu apa?! Pengkhotbah?! Di dunia hiburan, itu bukan apa-apa, Bhara! Ini bagian dari profesionalitas!"

"Jadi kamu mau disentuh sama dia?!" Mata Bhara menajam, tampaknya sikap tak acuh Maya justru lebih menyakitkan baginya. Fakta bahwa gadis itu begitu putus asa sampai rela untuk menjual tubuhnya menghantam akal sehat Bhara. "Jawab aku, Maya! Demi peran kecil itu, kamu mau tidur sama hidung belang itu?!"

"Kalau aku bilang iya kenapa?! Itu bukan urusan kamu! Aku mati-matian supaya dapat peran di film! Aku nggak akan melewatkan satu pun kesempatan!"

Rahang Bhara menggeretak, tangannya terkepal, matanya berkilat-kilat. Pintu mobil yang sempat setengah dia buka, ditutupnya kembali. "Kalau gitu kamu tidur sama aku, aku pastikan kamu dapat peran bagus di film, film layar lebar!"

Sedetik kemudian mata Maya nanar menatapnya. Hening menyelimuti mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status