Share

3. Pangeran Helio?

Mendapat surat undangan dari keluarga kerajaan membuat kerutan di dahi Althea tak kunjung hilang. Selama ini ia jarang mengunjungi istana, bahkan sejak berteman dengan Mikhail terhitung beberapa jari saja ke sana. Apa ini surat dari Mikhail? Tapi kalau dari Mikhail tidak mungkin, ia pasti akan datang langsung ke sini untuk menemuiku, batin Althea.

"Marie, tolong persiapkan perlengkapanku besok untuk ke istana," ucap Althea meletakkan undangan tersebut di meja belajarnya.

"Baik, nona."

"Kau boleh kembali."

Setelah terdengar pintu tertutup, Althea menatap jendela sambil bersedekap.

"Aku tidak bisa memperkirakan akan bertemu dengan siapa besok," gumamnya sebelum menutup gorden.

Pagi harinya, para pelayan yang ada di kamar Althea sibuk mempersiapkan gaun, perhiasan, serta riasan untuk majikannya.

Althea yang baru saja selesai mandi langsung digiring untuk memilih gaun yang akan dipakai nanti. Pandangan gadis itu tertuju pada gaun biru langit dengan hiasan kupu-kupu di bagian sisi kanan dan kirinya, lalu rambutnya digulung dan diberi hiasan berlian kecil dengan warna yang serupa.

Kesan yang terdapat pada diri Althea tetap sama apapun yang dipakai gadis itu; anggun dan tenang. Sehingga orang-orang yang berinteraksi dengannya secara tidak langsung menjaga sikapnya di depan gadis itu.

"Sudah selesai, nona."

Althea menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menoleh pada Marie, "apa kereta kudanya sudah siap?"

Marie menganggukkan kepalanya, "sudah, nona. Kusir beserta kesatria pengawal khusus sudah siap dan kereta kuda baru sudah dipersiapkan."

Althea mengangguk, kereta kuda keluarganya yang dulu sudah sangat tua, akhirnya diganti dengan yang baru. Ia harap tidak ada kejadian yang tidak terduga saat perjalanan nanti.

"Baik, aku akan berangkat sekarang."

***

Helio mencoret tanggal yang ada di dinding kamarnya. 'Tinggal satu hari lagi' batinnya. Lelaki itu menghela napas. Sejak perkataan ibunya seminggu lalu, ia menjadi tidak tenang. Selama ini ia belum memiliki kemampuan apapun untuk melawan orang-orang yang dulu pernah menyingkirkannya.

Helio berjalan pelan memutari kamarnya sembari menggerak-gerakkan pena bulu yang tadi dipakainya untuk mencoret tanggal. Lalu tak sengaja matanya menatap pegangan pedang yang menyembul dibalik kasur. Tiba-tiba Helio tersenyum miring saat terlintas sebuah ide di kepalanya.

Beberapa menit kemudian, pakaian Helio telah berganti. Kini ia memakai baju kaos putih dengan rompi coklat, celana coklat, lalu jubah coklat beserta sebuah pedang yang ada di pinggangnya. Pakaian-pakaian itu sebelumnya pernah dibelinya di pasar saat ia masih tinggal bersama nenek dan kakeknya.

Helio membuka pintu balkon, lalu berusaha turun dari dinding balkon dengan melompat ke arah batang pohon yang tingginya tak jauh dari teras balkon kamarnya.

Saat sudah menapaki tanah, Helio berjalan dengan pelan keluar lewat gerbang belakang istana. Lelaki itu membuka peta yang sebelumnya dikasih oleh kakeknya. "Mari kita lihat wilayah ini," gumamnya.

Kerajaan Hymne terletak di tengah pulau Hymnesia, di arah selatan ada wilayah Marquess Hildert, di utara wilayah Count Gaspal, di timur merupakan wilayah Duke Foster dan di barat wilayah Duke Heldegart, yang merupakan wilayah dari keluarga ratu.

Karena saat itu penerus Duke Foster tidak memiliki anak perempuan, maka raja menikahi penerus Duke Hildegart yang memiliki seorang putri tunggal.

Diantara wilayah Foster dan istana, harus melewati hutan suara iblis, yang di mana hutan tersebut adalah hutan misterius sekaligus paling berbahaya di negara ini. Helio sangat penasaran dengan hutan ini, selama ini lelaki itu hanya mendengar mitos dan gosip dari orang-orang saja. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke hutan tersebut.

Sementara itu di tempat lain, Althea sedang berada di dalam perjalanan menuju istana. Ia tidak melewati rute yang ada di peta, di mana harus melewati hutan suara iblis, melainkan lewat jalan pintasan yang diberi tahu oleh Mikhail beberapa tahun lalu.

"Hey! Coba tebak, aku baru menemukan jalan rahasia menuju ke sini!" Mikhail langsung berceloteh sesaat setelah lelaki itu duduk di taman kediaman Foster.

"Kau tidak melewati hutan suara iblis?"

Mikhail menggeleng, "no, no, no. Aku bosan kalau lewat sana, terlalu jauh, Hera. Jalan pintasku ini aku pastikan aman dan hanya orang-orang penting saja yang tau," bisik Mikhail diakhir kalimatnya.

"Berarti aku termasuk orang-orang penting itu?" Tanya Althea mengangkat salah satu alisnya.

"Bukankah sudah jelas?" Jawab Mikhail sambil memainkan kedua alisnya dengan ekspresi yang menjengkelkan bagi Althea.

GUBRAK!

Lamunan Althea buyar karena kereta kudanya berhenti dengan tiba-tiba. Gadis itu menyibak tirai dan melihat ke luar.

"Ada apa?" Tanyanya pada kesatria yang berada di dekat jendela.

"Maaf putri, sepertinya jalan yang dilewati kini tidak berfungsi lagi," jawab kesatria tersebut setelah menundukkan kepalanya sekilas.

Althea membuka pintu kereta, lalu turun untuk melihat jalan tersebut. Ia mengerutkan dahinya. Tidak berfungsi lagi? Beberapa minggu lalu, sebelum Mikhail pergi ke negri tetangga, lelaki itu menggunakan jalan ini untuk ke kediaman Foster, dan sekarang jalan itu malah terlihat buntu, seakan-akan tidak pernah dilewati oleh orang.

Gadis itu menghela napas, "kita putar arah lewat hutan suara iblis," putusnya.

Walaupun ia tidak tau kenapa nama hutan tersebut sedikit menakutkan, padahal saat melewatinya pun tidak ada kejadian yang menyeramkan, tapi orang-orang malah lebih memilih untuk mencari rute terpanjang dengan menyeberangi lautan, melewati wilayah kekuasaan Marquess Hildert, lalu berkuda beberapa jam untuk sampai ke istana.

"Anda yakin akan melewati hutan itu, putri? Wilayah itu jarang dilewati oleh orang-orang, kita tidak tahu akan ada apa di sana," ucap kusir yang sedikit khawatir.

Althea menopang dagunya, "memang beresiko melewati wilayah itu, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau menyeberang dulu pasti tidak akan sempat."

Akhirnya mereka pun melewati hutan suara iblis, para kesatria pengawal yang berjalan sudah bersiap-siap dengan senjata mereka jika ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Dari awal memasuki hutan hingga mereka berada di pertengahan hutan, belum ada tanda-tanda adanya marabahaya ataupun suara-suara iblis, untuk sejenak mereka bisa menghela napas lega.

SREET!!

"AAKH!!"

"AAAKH!!"

Dalam beberapa kali kedipan mata, sudah ada beberapa orang kesatria Foster tumbang. Althea mengintip dari balik tirai, tapi belum sempat benar-benar melihat situasi, kusir yang ada di depan berteriak dan jatuh. Suara pedang dari kesatria lain yang masih selamat segera melindungi kereta kuda putri. Mereka berusaha menghindari anak panah dengan pedang mereka.

Althea mengepalkan tangan di paha, ia memejamkan matanya, dan berusaha mengatur deru napas. Di situasi seperti ini, gadis itu tidak boleh panik, ia harus memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini sebelum semua kesatrianya meninggal.

Namun, dipikir bagaimanapun juga gadis itu tetap tidak menemukan jalan keluarnya. Althea tidak membawa pedang, ia tidak mengira perjalanan menuju istana akan seberbahaya ini.

Suasana menjadi hening. Tidak ada suara pedang yang berusaha menghindari anak panah, hanya deru napas Althea yang terdengar. Gadis itu melirik ke segala arah, berusaha untuk mencari jalan keluar.

Matanya tertuju pada bangku yang sedang ia duduki saat ini. Ia baru ingat kalau Marie sebelumnya berkata kalau bangku ini bisa dibuka, sehingga memiliki ruang kosong.

Dengan geraka cepat, Althea bangkit dan membuka bangku tersebut. Ia sempat terkejut karena sebuah pedang menembus pintu kereta kuda, tinggal beberapa senti saja sudah menyentuh kulitnya. Althea langsung masuk ke dalam bangku tersebut dan menutupnya.

Saat sudah di dalam, Althea masih cemas. Kemungkinan dibukanya bangku ini memang kecil, karena saat ini jarang kereta kuda yang memiliki ruang kosong dibawah bangkunya.

Gebrakan pintu kereta kuda terdengar, lalu hanya keheningan yang bisa Althea tangkap. "Tidak ada siapapun di dalam, Tuan."

"Benarkah? Kau sudah mengeceknya sampai ke setiap sudut?" Bunyi suara langkah kaki mendekat dan berhenti.

"Sepertinya putri itu suka bersembunyi, aku hanya harus menemukannya kan? Seperti..." Orang yang dipanggil tuan tadi memasuki kereta, dan membuka bangku tempat persembunyian Althea, "di sini." Di akhir kalimatnya orang itu tersenyum. Namun, senyumnya hilang saat melihat Althea tidak sadarkan diri dengan keringat yang banyak.

"Tampaknya putri kehabisan napas, cepat bawa dia keluar," perintah orang itu pada bawahannya.

Tepat setelah orang itu berbalik badan, Althea langsung bangkit dan menendang kepala lelaki itu hingga tersungkur. Kesempatan itu langsung diambil oleh gadis itu untuk keluar dan mengambil pedang yang ada di tanah lalu mulai menusukkannya ke jantung anak buah lelaki itu.

Lelaki yang tadi tersungkur, kini bangun dan melihat Althea dengan pandangan remeh. "Aktingmu sangat bangus, putri. Tapi, aku tidak tau sampai kapan kau akan bertahan." Segera setelahnya laki-laki tersebut menyodorkan pedangnya, tapi dengan cepat ditepis oleh Althea.

Lelaki itu berulang kali menyerang dengan brutal, mulai dari menyerang kepala, jantung, pinggang, hingga tangan dan kaki. Dengan berulang kali pula Althea menghindari serangan itu.

'Sial, orang ini cukup pandai menggunakan pedang, aku menyesal telah bolos mengikuti kelas berpedang.'

Akhirnya setelah lama menghindari serangan tersebut, lengan Althea yang memegang pedang terkena sayatan. Gadis itu meringis pelan, langsung memindahkan pedangnya ke sebelah tangan yang lain.

Lelaki yang dihadapannya tidak memakai penutup kepala, tapi entah kenapa pandangan gadis itu buram sehingga wajah lelaki itu tidak terlihat jelas.

"Siapa kamu?" lirih Althea, ia memegangi lengannya yang terus mengeluarkan darah segar.

"Kamu tidak akan bisa melihat wajahku, putri. Jadi menyerahlah, ayo ikuti aku baik-baik," lelaki itu mengulurkan tangannya, tapi Althea segera mundur, sakit di tangannya kian terasa perih, dan badannya perlahan lemas.

"Baiklah, karena putri tidak mau, aku akan menggunakan cara paksa. Setelah ini, putri hanya akan merasa lelah lalu tertidur dengan sendirinya," tutur lelaki itu, tak lama tangan kirinya mulai mengeluarkan aura hitam.

Althea terkejut melihat itu, jadi lelaki di hadapannya adalah... Penyihir?! Saat ini susah untuk melihat penyihir sejak raja terdahulu menghabisi seluruh penyihir karena sebagian besar dari mereka berkhianat pada kerajaan.

Althea sudah bersiap untuk memejamkan mata saat aura tersebut mengarahnya. Namun, beberapa detik setelahnya ia tidak merasakan apapun. Gadis itu kembali membuka matanya dan terkejut melihat cahaya emas yang melindunginya dari aura hitam tadi.

"Tampaknya ada satu serangga yang sedang bermain-main, ya." Althea menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki dengan tudung coklat sedang berjalan ke arahnya.

Setelahnya lelaki itu membuka tudung dan terlihat rambut keunguan serta mata biru gelap miliknya. Tatapannya datar dan terkesan angkuh.

Dalam sekali sentakan, cahaya emas tersebut mengalahkan aura hitam tadi dan membuat sang pelaku terbatuk mengeluarkan darah segar.

"Enyahlah, sampah!" Belum sempat menyerang, pelaku tadi langsung menghilang dari pandangan.

"Sial," gumam lelaki tersebut. Althea menatap lelaki yang telah menolongnya, rasanya ia pernah melihat orang dengan rambut keunguan.

Tunggu, yang mempunyai rambut hitam keunguan hanyalah keturunan raja dan ratu saat ini, jika bukan Mikhail, apa jangan-jangan orang di hadapannya saat ini adalah Pangeran Helio?

"Pa--pangeran Helio?"

Setelah mengucapkan kalimat itu, kepala Althea makin terasa berat, kakinya melemah, dan pandangannya kian memburam.

Lalu semuanya menjadi gelap.

.

.

.

To be continued.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status