Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.
Yama mendesis, menahan nyeri.
Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.
Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih.
"Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
Dengan satu koper berisi uang, Meisya menyuap mereka.“Berikan koordinat palsu pada sistem Yama. Alihkan dia ke jalur selatan. Kapalnya menuju timur laut, bukan selatan. Kita hanya butuh waktu dua hari. Aku akan temui Dea lebih dulu. Sisanya... akan aku urus sendiri.”Farrel dan Jace saling pandang, lalu menyeringai. “Ini cukup sulit karena Tuan Yama yang menyuruh kami... ""Koper kedua menyusul setelah saya menemukan Dea terlebih dahulu," sela Meisya."Anggap saja sudah beres, Nona Meisya.”Jace tersenyum dan segera mengambil alih koper dengan senang hati.Di sisi lain, Yama yang tak tahu dirinya sedang dibelokkan informasi palsu, memacu jet pribadinya menuju pulau di jalur selatan.“Hari ini atau tidak sama sekali,” gumamnya sambil menatap jendela pesawat. Angin di luar menderu, tapi di dalam dadanya lebih riuh. Penuh kecemasan. Penuh harap. "Dea, tunggulah aku…"Namun dia tak tahu bahwa Meisya sedang berlari lebih cepat dengan mobilnya. Menyiapkan langkahnya sendiri untuk menjadi o
“Namamu siapa?” Dea bertanya lirih, setelah berhasil meneguk air.“Fathi,” jawab pria itu, tersenyum. “Aku dari Libanon. Kau?”“Dea…” jawabnya pelan. Dea tidak ingin menyebutkan informasi tentang dirinya lebih lanjut.Fathi mengangguk kecil. “Aku tahu kamu bukan orang sini. Bahkan bukan dari jalur kami. Ceritamu berbeda. Tapi aku tidak akan bertanya, kecuali kamu ingin menceritakannya sendiri.”Dea menggeleng lemah. “Aku hanya ingin... hidup. Untuk anakku.”Fathi menatap perut Dea yang membuncit samar. “Kamu akan hidup. Dan anakmu akan lahir dengan selamat. Tapi mulai sekarang, kamu tidak boleh menyerah.”"Makan saja apa yang ada, tidak mungkin enak, tapi untuk sekedar bertahan, kamu mengerti?"Dea mengangguk perlahan."Jangan sia-siakan perjalananmu ini."Malam itu, saat langit mulai menurunkan gerimis di tengah samudera, Fathi duduk di sampingnya, membisikkan lagu dalam bahasa yang tidak dia mengerti. Namun entah mengapa, lagu-lagu itu terasa menenangkan.Untuk pertama kalinya dalam
Frans menunduk, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar kehilangan kendali atas semuanya. Dea hilang. Elsa ditarik paksa. Dan sang Ratu... kini memandangnya seolah dia bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan.Ratu duduk kembali ke kursi mewahnya, tenang namun mematikan. “Siapkan armada pencarian. Dan jika Dea ditemukan lebih dulu daripada kehormatanku dipulihkan... maka yang akan kuhukum bukan hanya wanita jalang itu, tapi juga kamu, Frans.”Frans jatuh berlutut, akhirnya menyadari betapa fatal kesalahan yang telah ia buat."Tidak adil!"Tiba-tiba sebuah suara wanita muncul di tengah pintu.Elsa berdiri dengan kedua mata memerah, dia berhasil melarikan diri dari dua pengawal yang menariknya tadi.Ratu memicingkan kedua matanya, "siapa yang tidak adil?""Yang Mulia!" sahut Elsa. Namun, dua pengawal itu sudah berhasil menarik tanganny
Waktu seakan membeku. Elsa yang berbaring dengan wajah pucat, menundukkan kepala. Matanya bersinar, tapi bukan karena sedih—melainkan puas. Tapi dia menutupinya dengan gerakan menggenggam perut sambil meringis.“Aku... aku khawatir dengan Dea... tolong cari dia, Frans... dia mungkin terluka,” ucap Elsa dengan suara pilu yang dibuat-buat.Frans sudah tidak mendengarnya. Ia sudah keluar dari kamar, berteriak ke koridor, memanggil semua kepala pengawalnya.“Kerahkan semua tim pencari! Cek semua rumah sakit, hutan, jalur kereta, terminal! Blokir semua bandara! Jangan ada yang keluar dari negara ini tanpa izin dariku!”Namun, perintahnya sudah terlalu lambat. Dea sudah jauh dari sana.Beberapa pengawal langsung bergerak. Frans mencabut ponsel, menghubungi Ratu.“Ratu, Yang Mulia, ini darurat.”Frans melaporkan semuanya dengan sin
Bu Ranti menghela napas panjang sekali lalu bangkit berdiri, masuk ke kamarnya, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa ponsel kecil dan sobekan kertas lusuh. Ia menekan nomor dengan jari gemetar, lalu berbicara dalam bahasa samar yang tidak dipahami Dea.Bahasa lokal yang mungkin dari salah satu suku tersembunyi di Inggris atau bahasa lokal negara lain, Dea tidak mengerti.“Dia setuju,” kata Bu Ranti setelah menutup telepon. “Orang itu akan menjemput kita jam dua malam, di gang dekat rel kereta lama. Kita harus menyamar. Aku akan ambilkan pakaian buruh pabrik—kau harus terlihat seperti pekerja harian yang tak menarik perhatian.”"Namun, aku hanya mengantarkan dirimu kepadanya, aku tidak mungkin ikut.""Baik, Bu. Sudah cukup, ini baik sekali."Dea mengangguk cepat. Ia tak peduli lagi dengan penampilan. Dia tidak peduli siapa yang akan ikut dengannya. Dia bahkan tidak peduli resiko yang
Dea mengangkat wajahnya. Matanya merah dan tubuhnya dipenuhi luka."Tolong aku..."“Aku... baru saja dirampok,” ucapnya lemah. “Mereka ambil semuanya... aku sedang hamil... suamiku sedang di luar negeri…”Wanita itu mendesah, antara bingung dan iba. “Ya Tuhan... ayo ikut saya ke kantor polisi, biar mereka bantu—”“Jangan,” Dea memotong cepat, suaranya pelan namun tegas. “Aku takut... aku cuma ingin istirahat... tolong... bawa aku ke rumah Ibu saja. Hanya untuk malam ini. Aku akan memanggil suamiku untuk menjemputku.”Wanita itu menatapnya ragu, namun ada keibuan yang menang atas logikanya. Ia menggandeng Dea dengan lembut.“Namaku Bu Ranti. Ayo, Nak... kita ke rumah. Rumah saya tidak jauh dari sini.”Dea hanya mengangguk. Matanya mulai kabur, langkahnya melemah. Saat i