“Kamu... Kamu mau aku membayar lebih ya? Dengar ya, aku bukan anak orang kaya!” ujarnya sambil terus tertawa. "Kau sudah menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Zacky mau menikahiku dengan syarat yang sangat banyak, ohya... kamu tahu siapa yang membuatnya menjadi ketakutan seperti itu?"
Yama menatapnya dengan ekspresi bingung campur geli. “Apa yang kamu maksud?” Berpura-pura tidak mengerti.
"Ah, sudahlah. Tidak mungkin kamu yang memberi pelajaran kepadanya, pasti ada seseorang yang hebat, mungkin salah seorang penggemarku," ucap Dea dengan percaya diri lebih. Sementara Yama hanya menatapnya dengan penuh arti.
“Hei, kamu menginap di suite paling mahal di rumah sakit ini. Aku tidak bisa membayangkan tagihan satu malamnya! Kamu pikir aku punya uang sebanyak itu?” Dea menepuk dahinya sendiri.
Yama mengusap lehernya, merasa agak salah paham. “Dea, Dea! Siapa yang menga
Begitu pintu kamar terbuka, aroma obat dan bunga segar memenuhi ruangan. Di atas ranjang mewah, Dea terbaring lemas. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya, dan tubuhnya begitu kurus hingga selimut tampak menggembung kosong. Tangannya lemah, terulur ke arah pria yang duduk di tepi ranjangnya. Perutnya terlihat tidak begitu besar untuk usia kandungan lima bulan.Tatapan Elsa bertemu dengan tatapan Pangeran Frans, pria itu terlihat sedikit terkejut, tetapi dia segera mengambil alih bubur dengan ekspresi datar seolah-olah Elsa hanyalah pelayan biasa.Dengan wajah cemas dan lembut yang belum pernah Elsa lihat sebelumnya, pangeran itu menyuapkan bubur dengan sendok kecil, sabar menunggu Dea membuka mulut.“Ayo, satu sendok lagi, Sayang… untuk bayi kita…” ucap Frans lirih, penuh kelembutan.Kalimat itu menusuk Elsa dengan tajam, karena dia merasa seharusnya dia yang berada di atas ranjang saat ini. Bayi dalam perutnya yang adalah keturunan asli dari Pangeran.Dea menggeleng pelan. “M
Satu minggu berlalu. Elsa semakin percaya diri. Dia kini berjalan dengan kepala tegak, bahkan berani menegur pelayan yang tidak merapikan vas bunga dengan benar. Membanting peralatan yang menganggu pandangannya sehingga beberapa pelayan semakin membencinya.“Kalau Pangeran melihat ini, kalian tahu akibatnya, kan?” bentaknya.Beberapa pelayan saling pandang dan bergumam, “Dia cuma pelayan biasa yang naik karena tidur dengan Tuan Pangeran. Tapi sombongnya minta ampun.”"Benar, lihat saja kalau tubuhnya sudah hancur dan tidak nikmat lagi, Pangeran pasti akan mencari yang lain."Elsa mendengarnya, tapi tak peduli. Ucapan itu baginya hanyalah bukti kalau dia berhasil naik. Cibiran adalah pertanda bahwa mereka iri. Lagipula, dia tidak butuh validasi dari pelayan rendahan. Tapi dia akan memikirkan cara agar Pangeran itu tetap jatuh ke dalam pelukannya karena itu adalah satu-satunya cara agar dia t
Elsa tentu tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah drastis hanya dalam satu malam. Sebelum malam itu, dia hanya pelayan biasa, salah satu dari puluhan gadis yang bekerja di posisi terendah. Tapi kini, di depannya terpampang sebuah kotak beludru merah, penuh dengan perhiasan yang membuat matanya nyaris keluar dari rongga.Kalung safir, gelang berlian, hingga cincin zamrud, Elsa mengelusnya dengan mata yang basah. Semuanya terlihat nyata. Dan di sebelah kotak itu, tersusun rapi pakaian-pakaian mahal dari butik ternama milik Pangeran Frans, gaun-gaun itu terbuat dari kain sutra lembut yang bahkan tak berani dia sentuh dulu.Belum lagi, tas penuh uang tunai yang diserahkan langsung oleh tangan kanan Pangeran Frans dengan kalimat yang sulit dia lupakan: “Atas pelayanan yang telah Anda berikan, Tuan memerintahkan kepada kami untuk mengantar semua ini."Elsa sempat terpaku. Lalu, seperti meledak dari dalam dirinya, taw
Frans bangkit, melangkah perlahan menuju ke pintu.Sebelum keluar, ia menoleh sejenak. “Terima kasih... karena tidak membuatku merasa sendirian. Kamu sudah melayaniku dengan baik. Saya akan memberikan kompensasi kepadamu.”Elsa mengangguk. “Tuan juga... telah membuat saya merasa hidup.”"Ini... adalah pertama kalinya bagiku,” ujar Elsa pelan, nyaris seperti bisikan.Frans hampir menyentuh kenop pintu ketika suara lirih itu terdengar dari balik punggungnya.Langkah Frans terhenti. Ia diam sejenak, lalu perlahan menoleh. Pandangannya jatuh pada seprai putih yang sedikit kusut dan tatapannya berhenti di sebuah noda samar yang tak bisa disangkal.Ia menatapnya beberapa detik, kaku. Lalu bahunya turun, dan dia menatap Elsa yang kini mendekap selimut hingga ke dagu.“Maaf... aku tidak tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. Sebuah
Elsa tak tahu harus berkata apa. Tapi nalurinya membuatnya menutup pintu dengan pelan dan menunggu, mematung di tempat. Dia tahu sesuatu yang buruk mungkin terjadi, namun dia juga sadar tidak memiliki kuasa untuk menolak.“Kau tahu rasanya... mencintai seseorang, lalu ditolak setiap kali kau mencoba mendekat?” suara Frans terdengar getir. “Aku mencoba sabar. Aku ingin dia bahagia. Tapi bagaimana jika aku tak pernah cukup?”Elsa melangkah pelan, berpikir sejenak suara hatinya berbisik ragu. Dia mulai mengerti Pangeran itu sedang membicarakan istrinya. “Mungkin Nyonya Muda hanya takut... Tuan.”“Takut apa?” Frans menoleh, tatapannya menusuk. “Takut padaku? Aku suaminya.”“Takut... kehilangan dirinya sendiri,” jawab Elsa pelan. “Kadang, cinta pertama membuat seseorang membangun dinding terlalu tinggi.”
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut ke dalam kamar, menyentuh pipi Dea yang pucat namun tenang. Frans duduk di sisi ranjang, mengusap rambutnya pelan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap wajah istrinya yang sedang tidur dengan begitu banyak pikiran berseliweran di kepalanya.Dea perlahan membuka mata, merasa jauh lebih baik dari kemarin. Mualnya telah berkurang, meski tubuhnya masih terasa berat.“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya Frans, suaranya lembut dan tenang.“Lebih baik,” jawab Dea lirih. Ia menatap Frans, lalu perlahan duduk bersandar. Ada jeda canggung di antara mereka, seperti ada sesuatu yang perlu dibicarakan, tapi keduanya ragu untuk memulainya.Frans menatapnya penuh harap. “Kalau begitu, kau bisa kembali menjalankan tugasmu sebagai istri, bukan?”Pertanyaan itu membuat Dea menunduk. Ia tahu Frans telah bersikap bai
“Tidak ada tanda-tanda penyakit serius. Tapi dia sangat kelelahan. Tekanan mental dan fisik bisa menyebabkan gangguan lambung. Aku menyarankan istirahat total dan makanan lembut.”"Dia sedang hamil muda dan masih memerlukan penyesuaian yang cukup berat. Pahami saja apa yang tidak dia inginkan dan hindari pemicu muntahnya."Frans mengangguk. “Terima kasih. Tinggalkan kami sebentar.”Saat semua keluar, Frans membenahi bantal Dea dan menyelimuti tubuhnya. Sentuhannya lembut dan penuh perhatian. Frans memberikan ciuman lembut di kening Dea. Mengelus rambutnya dengan lembut.“Sayang. Aku akan memanggil koki terbaik untuk menyiapkan bubur kesukaanmu. Dan jika kau tidak bisa tidur, aku akan membacakan buku, okey?”Dea menatap Frans dalam diam, matanya berkaca-kaca, bukan karena rasa haru, tapi karena bingung. Laki-laki ini... bisa sangat menekan, lalu mendadak begi
Dea menelan salivanya yang terasa seperti butiran kerikil di kerongkongannya.Pintu kamar mandi tertutup, menyisakan suara gemericik air."Temani aku mandi, Sayang."Dea tetap duduk di tempatnya. Ia ingin menangis, tapi air matanya tak keluar. Ia ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Ini bukan hanya tentang Fran, ini tentang dunia yang memaksanya menjadi wanita dewasa dalam semalam. Menemani pria itu mandi? setiap hari? Menjengkelkan, monolog Dea dengan kesal."Sayang... cepat!"Suara Frans membuat Dea merasa semakin kesal dan ingin muntah. Dengan geram, ia berdiri perlahan dan mulai membuka lemari pakaian. Tumpukan kemeja putih, dasi sutra, jas formal berbaris seperti prajurit yang siap berperang. Ia memilih satu kemeja putih dan salah satu jas dengan warna biru tua dan dasi perak, lalu meletakkannya di atas kursi.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka,
Frans bangkit dari kursinya dan duduk di seberangnya. Ia menyendok telur orak-arik, lalu melirik ke arah Dea.“Kalau begitu... mari kita mulai dari awal. Anggap kita baru saling mengenal. Kamu tidak punya pilihan untuk tetap mencintai Yama.”Ada penegasan dalam suaranya.Dea menatapnya akhirnya, mata mereka bertemu. Ada ketegangan, tapi juga ketulusan.“Baik,” katanya pelan.Mereka makan dalam diam, tapi kali ini bukan diam yang canggung, melainkan diam yang berisi janji tak terucap. Keputusan yang harus dipatuhi.Namun jauh di dalam hati Frans, hasratnya belum padam. Ia masih menginginkannya. Tapi untuk sekarang, ia menahan diri. Karena mungkin, rasa yang tumbuh pelan-pelan... akan jauh lebih dalam daripada yang dipaksa terburu-buru. Dia ingin memeluk Dea dengan balasan yang sama, dia tidak ingin memaksa Dea melakukan hubungan suami istri begitu saja tanpa makna