Suara dering ponsel melengking di dalam kamar hotel mewah yang masih diselimuti tirai tipis dan aroma tubuh bercampur parfum mahal milik Meisya.
Meisya merebah di atas ranjang, rambut panjangnya acak-acakan menempel di bantal satin, matanya setengah terpejam menikmati pijatan lembut dari Sanjaya yang baru saja memberikan “layanan penuh” seperti biasanya.
Dering itu kembali berbunyi. Kali ini lebih lama dan mendesak.
Meisya mengerang kesal, lalu menjulurkan tangan malas ke nakas di samping tempat tidur. Saat melihat nama “Nenek Agatha” tertera jelas di layar, matanya langsung melebar.
Dengan cepat, ia menyikut tubuh Sanjaya yang masih bersandar di tubuhnya. Tak cukup kuat.
Plak!
Ia mengangkat kakinya dan menendang bahu Sanjaya sampai pria itu terguling jatuh dari ranjang.
“Astaga!” Sanjaya meringis kesakitan, tapi bel
Meisya berjalan mendekat ke mikrofon kecil yang tersambung ke speaker tersembunyi di dalam ruangan tempat Dea berada.Ia menekan tombol."Halo, Dea," suaranya terdengar lembut tapi menusuk. "Bagaimana rasanya kembali ke dalam genggamanku… hanya untuk menyadari bahwa tak ada siapa pun yang menyelamatkanmu?"Dea menatap ke sekeliling, mencari sumber suara. Ia menegakkan tubuhnya meski jelas kelelahan."Meisya… Kau pengecut!" serunya. "Kalau kau punya masalah denganku, hadapi aku langsung!""Oh, sayang. Aku sedang menghadapimu sekarang," jawab Meisya tenang. "Tapi aku lebih suka dunia yang menilaimu. Dunia yang menyaksikan bagaimana ‘perempuan suci’ pilihan Yama ternyata bisa ditangkap dan dipermalukan. Jangan khawatir, kamera-kamera kecil di ruangan itu akan mengabadikan semua."Dea mengepalkan tangannya meski terikat. "Kau kira dengan
Dua jam berikutnya, di dalam kediaman Al-Farrez…Dea menggenggam ponselnya erat, napasnya memburu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Fathi yang baru saja pulang memanggilnya, namun Dea tak menjawab.Pikiran tentang orang tuanya menguasai segalanya. Jika benar mereka masih hidup, jika benar selama ini ada seseorang yang menyembunyikannya, maka dia harus bertindak. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menemukan jawaban atas rasa kehilangan yang selama ini ia tanggung sendiri.Dia tidak seharusnya meninggalkan kedua orang tuanya di Inggris, tetapi dia sudah tidak tahan berada dalam lingkungan kerajaan, juga hidup bersama Pangeran aneh yang malah berselingkuh dengan pembantunya.Walau dia tahu, pergi sendirian tentu saja sangat beresiko.Ia menatap perutnya yang mulai membesar.Maafkan aku, Nak… bisiknya dalam hati. "Kita harus menyelamatkan Kakek dan Nenek."L
Sanjaya menepis tangannya, namun matanya mengkhianati ketakutannya.Meisya tersenyum tipis. “Pintar. Diam adalah pilihan yang bijak.”Di luar jendela, suara ombak Bali bergemuruh. Tapi di dalam kamar itu, badai yang jauh lebih besar baru saja bangkit. Dan Meisya… sudah bersiap menjadi taring terakhir dari keluarga Agatha.Karena kini, dia tidak hanya menginginkan Yama. Dia ingin segalanya.Meisya memendam kebencian yang teramat dalam kepada Agatha, namun dia masih menunggu sampai waktu di mana mungkin ada kesempatan melenyapkan Nenek yang sama liciknya itu."Sudah waktunya mempercepat permainan ini," gumam Meisya seraya meraih ponsel.Sanjaya yang masih mengenakan kemeja separuh tubuhnya, melirik penuh curiga. Ia masih belum pulih dari kejutan barusan, tapi ia tahu dirinya tak bisa lepas begitu saja dari Meisya.Wanita itu sudah tahu memegang kendali terlalu ba
Suara dering ponsel melengking di dalam kamar hotel mewah yang masih diselimuti tirai tipis dan aroma tubuh bercampur parfum mahal milik Meisya.Meisya merebah di atas ranjang, rambut panjangnya acak-acakan menempel di bantal satin, matanya setengah terpejam menikmati pijatan lembut dari Sanjaya yang baru saja memberikan “layanan penuh” seperti biasanya.Dering itu kembali berbunyi. Kali ini lebih lama dan mendesak.Meisya mengerang kesal, lalu menjulurkan tangan malas ke nakas di samping tempat tidur. Saat melihat nama “Nenek Agatha” tertera jelas di layar, matanya langsung melebar.Dengan cepat, ia menyikut tubuh Sanjaya yang masih bersandar di tubuhnya. Tak cukup kuat.Plak!Ia mengangkat kakinya dan menendang bahu Sanjaya sampai pria itu terguling jatuh dari ranjang.“Astaga!” Sanjaya meringis kesakitan, tapi bel
Tawa rendah yang perlahan membesar, menggelegar tanpa amarah, hanya keheranan. Agatha menegang, tidak menyukai kenyataan bahwa ia sedang ditertawakan.“Saya pikir, Agatha…” kata Syekh sambil menaruh cangkir teh ke meja. “…Anda datang membawa perjanjian emas, bukan cerita cinta picisan.”Agatha menyipitkan kedua matanya dengan raut wajah tegang yang menonjolkan banyak kerutan. Dia mengenggam kepala tongkatnya dengan kuat.“Nyonya Agatha, dengan segala hormat,” lanjutnya, kini lebih serius. “Saya, Syekh adalah pebisnis. Saya menjalankan hidupku berdasarkan nilai, bukan emosi. Dan jika ada satu hal yang tak pernah menarik minat saya, itu adalah urusan perempuan dalam drama bisnis.”Agatha membuka mulut hendak menyela, tapi Syekh mengangkat tangan pelan.“Saya memang pernah mendengar bahwa Fathi dan Yama sempat berseteru karena perempuan yang sama. Menarik, tentu. Tapi bagi saya sendir, satu hal saja yang menjadi prinsip: Keluarga Al-Fareez tidak pernah memakai pakaian bekas.”Kata-kata i
Dea menatap Yama dalam-dalam. Ada perih di sana, ada marah yang masih membara, namun juga ada simpati yang samar dan cinta? Dea sendiri tidak tahu perasaannya lagi.Fathi menatap Dea, mencoba membaca pikirannya. "Sayangku?"“Baiklah,” ujar Dea akhirnya. “Kalian berdua ikut bersamaku. Tapi cukup sebagai penonton, tidak lebih.”Yama tampak lega, sementara Fathi tidak berkata apa-apa. Walau sedikit kesal, Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan mengiringi mereka masuk ke ruangan konsultasi. Ingin rasanya dia membeli semua peralatan medis yang ada dalam rumah sakit itu hanya agar Dea tidak perlu menghadapi kejadian seperti ini.Di dalam, seorang dokter wanita berusia sekitar empat puluh tahunan tengah merapikan catatan di meja. Saat melihat siapa yang masuk, ia langsung berdiri dan membungkuk sopan.“Tuan Fathi… dan…” matanya berpindah