Sinar biru dari lapisan pelindung air di pintu masuk gua berpendar lemah, bergetar tak stabil seperti napas orang yang kelelahan. Di dalam gua itu, Demata berdiri tegak di depan formasi pertahanan, sementara Gyra, penasihat utama sekte, terbaring lemah di atas permukaan batu yang dibentuk dari esensi laut, masih belum sadarkan diri. Di sampingnya, tabib wanita terus merapal mantra pemulih, tangannya basah oleh air bercahaya yang mengelilingi tubuh Gyra.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.“Kenapa pelindungnya bergetar?” tanya tabib panik, matanya melirik ke arah dinding air yang mulai retak halus.Demata memicingkan mata, tubuhnya tegang. “Ada sesuatu di luar...”Ia berlari ke mulut gua. Dari balik celah sempit di balik pelindung air, ia bisa melihat bayangan hitam besar mulai bergerak. Ombak pecah. Pasir beterbangan. Suara terompet panjang dan berat menyayat udara.Dan saat cahaya bulan menyusup masuk melalui kabut laut, Demata melihatnya.Kapal-kapal Kekaisaran Ardor. Puluhan.“
Langit di atas pesisir mulai berwarna merah, bukan karena senja, tapi karena debu, air asin, dan darah yang beterbangan ke udara. Ombak menggulung liar, memukul tebing dan pasir pantai tanpa henti. Kael berdiri di atas batu karang yang pecah, tubuhnya diselimuti aura biru kehijauan, sisa dari teknik pertahanan Tide Armor yang sudah melebur menjadi tetesan air. Napasnya memburu, pelipisnya berdarah, tapi matanya masih menatap tajam ke depan.Di seberangnya, Riverin, sang putra mahkota Kekaisaran Ardor, berdiri dengan tubuh bersimbah debu dan tanah. Jubah kebesarannya robek di beberapa bagian, tapi aura spiritual dari tubuhnya masih kokoh—dalam dan berat seperti batu karang yang sudah berabad-abad mengakar.Dua saudara kandung namun berbeda ibu. Dua kutub kekuatan. Laut dan bumi.Dan hanya satu dari mereka yang akan tetap berdiri setelah pertarungan ini usai.“Masih bisa berdiri?” Riverin menyeringai, darah menetes dari sudut bibirnya.Kael tidak menjawab. Tubuhnya melayang turun dari k
Di ruang pasukan bagian timur markas bawah laut Sekte Black Ocean, suara denting senjata dan langkah tergesa menggema. Di antara prajurit yang sedang bersiap, berdirilah Vaeli, perempuan pemimpin pasukan ke tujuh, rambutnya yang dikuncir panjang bergerak pelan bersama arus sekitarnya. Jubah tempurnya berwarna biru gelap dengan garis perak di lengan dan lambang Sekte di dada.“Siapkan seluruh unit pasukan,” perintah Vaeli. “Kita naik ke permukaan. Pangeran Kaelthar sedang bertarung seorang diri. Kita tak bisa membiarkan dia sendiri lagi.”Prajurit di sekitarnya langsung bergerak. Tak ada yang bertanya. Nama Kaelthar, putra buangan yang kini menjadi harapan sekte, adalah alasan yang cukup untuk membuat jantung mereka bergetar.Vaeli melirik ke kejauhan, ke arah koridor utama yang mengarah ke arus pelontar—jalan tercepat menuju permukaan."Tunggu aku, Kael… kali ini aku tidak akan tinggal diam lagi." Gumam Vaeli dengan sorot mata menyendu....Namun ketika Vaeli dan pasukannya meluncur m
Langkah-langkah Demata menggema di antara bebatuan yang rapuh, basah oleh embun dan air laut. Nafasnya terengah, rambutnya kusut oleh keringat dan debu. Di atas punggungnya, ia memanggul Gyra. Tubuh Gyra masih tertidur pulas akibat obat yang diberikan tabib. Di belakangnya, seorang tabib wanita mengikuti dengan napas buru, tangan kanannya terus menyebarkan gelembung air penyembuh yang melayang di sekitar Gyra. Sinar biru dari teknik penyembuhannya berkilau samar dalam kegelapan gua. “Tahan sedikit lagi…” bisik Demata, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Gyra. Guncangan kembali terasa. Kali ini lebih kuat. Batuan di atas kepala mereka bergetar, debu dan kerikil runtuh dari celah langit-langit. Dari kejauhan, suara gemuruh besar terdengar—seolah bumi dan laut sedang berteriak bersamaan. Demata terhenti sesaat, menatap langit-langit gua yang remang. Ia menggertakkan gigi. “Pangeran.” Aura pertempuran yang meledak-ledak itu hanya bisa milik satu orang: Kaelthar. Getaran spiritu
Langit mendung menggantung di atas lembah berbatu yang menganga di antara dua tebing. Asap hitam tipis mengepul dari celah-celah tanah yang retak akibat energi spiritual. Di tengahnya, dua lelaki berdiri saling berhadapan, tubuh mereka sama-sama tertutup luka dan debu.Kael berdiri limbung, nafasnya tersengal. Matanya memerah bukan karena amarah, tapi karena sesuatu yang lebih dalam—rasa hancur. Pengkhianatan Jenderal Shipor Black masih membekas seperti luka baru. Orang yang selama ini dia percaya, justru menyerahkan para kultivator laut kepada musuh.Dan sekarang, Riverin, kakak sekaligus putra mahkota kerajaan, berdiri di hadapannya. Bukan sebagai saudara. Tapi sebagai lawan.“Aku sudah memperingatkanmu, Kael,” kata Riverin, suaranya berat dan dingin. “Mereka hanya akan menanam pengkhianatan di punggungmu. Sekarang kau lihat sendiri.”Kael tidak menjawab. Tangannya yang bergetar mengepal kuat, tapi jiwanya masih kacau. Fokusnya terganggu, pikirannya kusut.Riverin melihat itu.Dan i
Raut wajah Kael menurun dengan mata menggelap. Pundaknya menegang dengan posisi siaga, benturan aura yang dikeluarkan masing-masing membuat atmosfer mendadak lebih dingin dari seharusnya.Ombak terus berdebur kencang dengan suara keras yang membuat bulu kuduk berdiri.Riverin menghentakan kaki, mengalirkan energi bumi membuat tanah keras muncul dari balik permukaan pasir—membentuk pejal yang menyerang ke arah Kael.Sementara Kael menggerakan tangan dan membentuk gelombang air membuat kedua elemen berbeda itu berbenturan, membuat efek angin dahsyat ke sekitarnya.Tidak membuang waktu dan kesempatan, Riverin melesat maju dari balik serangan dan langsung melayangkan pukulan ke arah Kael. Ditangkis dengan mudah sebelum adu fisik terjadi.Riverin memperkuat serangan menggunakan energi bumi, sedangkan Kael memperkuat fisiknya dengan esensi laut, sehingga kekuatan yang mereka hasilkan jauh melebihi manusia normal. Setiap kedua tangan mereka bersilangan dan beradu karena saling pukul, angin d