LOGINBab 38. JURAGAN SUTEJO Begitu mendengar saran Parmin, Jaka Tole hanya bisa tersenyum kecut. Sebenarnya dia cukup senang dengan kudanya, karena selama ini dia merasa terbantu dengan menaiki kuda saat bepergian. “Kalau begitu, apa kamu tahu dimana saya bisa menjual kuda ini?” “Itu gampang, kamu bisa jual ke ayahku.” “Ayahmu?” kata Jaka Tole sambil mengernyitkan dahinya dengan perasaan bingung. “Iya, kebetulan ayahku suka mengoleksi kuda bagus. Jangan Khawatir, ayahku pasti akan memberi harga yang bagus untuk kudamu,” hibur Parmin yang melihat kecurigaan di mata Jaka Tole. Setelah saling sepakat, mereka segera pergi kerumah parmin. Ternyata rumah Parmin cukup bagus dengan halaman yang luas. “Ternyata kamu anak orang kaya,” puji Jaka Tole saat mereka memasuki halaman rumah keluarganya Parmin. “Saya tidak kaya, yang punya harta itu orang tua. Saya hanya numpang hidup saja,” kata Parmin yang mencoba merendah. “Ha ha ha ha…. aku suka g
Bab 37. PADEPOKAN MAUNG SILIWANGI Setelah berpamitan, Jaka Tole segera meninggalkan istana kerajaan Madangkara untuk melanjutkan pengembaraannya. Dia tidak memperdulikan kemeriahan yang masih berlangsung di istana kerajaan untuk merayakan pernikahan pangeran Wijaya Kusuma dengan Nimas Ayunina. Dengan mengendarai kudanya, Jaka Tole meninggalkan pintu gerbang kotaraja menuju tempat yang belum pernah didatangi. Suatu hari saat dia memasuki sebuah kota, Jaka Tole melihat banyak orang berkerumun di depan papan pengumuman. Di Papan pengumuman tertempel selembar kertas dengan tulisan Jawa Kuno yang sangat indah. Melihat begitu banyak orang berkerumun, Jaka Tole segera turun dari kudanya dan berjalan menuju kerumunan untuk menghilangkan rasa penasarannya. Setelah menambatkan kudanya di sebuah pohon, Jaka Tole segera menghampiri papan pengumuman. Setelah berdesak-desakan, akhirnya Jaka Tole bisa membawa kertas pengumuman itu.
Bab 36. PERNIKAHAN PANGERAN WIJAYA KUSUMA DAN NIMAS AYUNINA Jantung nimas Ayunina seketika berdebar-debar, ketika pundaknya disentuh pangeran Wijaya Kusuma. Wajah nimas Ayunina seketika menjadi murung, ketika mendengar pertanyaan Raden Mas Wijaya Kusuma. Ingatan tentang serangan gerombolan Warok Buto Kolo masih menghantui kepalanya. Dia tidak tahu, kalau gerombolan warok Buto Kolo sudah di tumpas oleh Jaka Tole. “Itu…” kata Nimas Ayunina yang tak sanggup menceritakan apa yang terjadi pada rombongannya. Jaka Tole yang berdiri di dekat mereka segera membuka suara, saat melihat kegugupan nimas Ayunina. “Maaf Raden, kalau saya boleh menceritakan apa yang terjadi dengan nimas Ayunina.” Pangeran Wijaya Kusuma segera menoleh ke arah Jaka Tole dan menatapnya dengan penuh selidik. Dalam pikirannya, dia menganggap kalau Jaka Tole adalah pengawal nimas Ayunina. “Ceritakanlah.” Setelah mendapatkan izin, Jaka Tole seger
Bab 35. BERTEMU RADEN MAS WIJAYA KUSUMA Keributan ini semakin lama semakin menarik warga untuk menontonnya, senopati muda yang menjadi komandan penjaga pintu gerbang tampak malu melihat prajuritnya tidak mampu menangkap Jaka Tole. “Berhenti, semuanya mundur. Kalian benar-benar tidak becus kerja, menangkap seorang pemuda saja tidak bisa.” “Maaf senopati, pemuda ini terlalu licin untuk bisa kami tangkap.” “Sudahlah, kalian mundur, biar saya yang membereskan,” kata senopati muda itu sambil menatap sosok Jaka Tole dengan tatapan meremehkan. “Kisanak, sebenarnya apa maksud anda membuat onar di kotaraja? Apa kamu tahu hukuman bagi pembuat onar di kotaraja?” Jaka Tole yang melihat prajurit kerajaan dengan pakaian yang lebih bagus daripada yang lainnya segera tahu, kalau prajurit di depannya adalah seorang senopati atau perwira. “Maaf senopati, sebenarnya saya datang kekerajaan untuk mengantar nimas Ayunina untuk bertemu dengan Raden mas Wijaya
Bab 34. PENGAKUAN YANG MEMBUAT TERTAWA “Calon istri Raden Mas Wijaya Kusuma? Ha ha ha ha…. sepertinya kamu pungguk yang merindukan bulan. Orang kampung, kalau berbicara itu yang betul dan jangan suka membual. Kalian tidak diijinkan masuk ke kotaraja, jika niat kalian ingin mengacau. Sebaiknya kalian kembali ke asal kalian, kami tidak mengizinkan kalian masuk, pergilah,” kata prajurit itu dengan nada penuh dengan sindiran sambil mengibaskan tangannya dengan wajah mengejek. Nimas Ayunina sebagai seorang wanita, tentu saja sangat sedih, ketika mendengar perkataan prajurit itu. Kini harapan hidupnya hanya di tangan Raden Mas Wijaya Kusuma, akan tetapi, jika dia tidak diizinkan dengan calon suaminya, maka masa depannya akan semakin tidak jelas. Tidak mungkin dia kembali ke kadipaten Kabumian setelah perampokan yang membuat ayahnya mati dengan tragis. Jaka Tole yang melihat wajah nimas Ayunina yang memucat segera menengahi. “Maaf prajurit, kami memang
Bab 33. KOTA RAJA MADANGKARA Rasa tidak percaya tampak jelas terbayang di wajah Warok Blangsak sebelum nyawanya kabur dari raganya. Sementara itu nimas Ayunina terdiam, tubuhnya terasa beku, ketakutan dan kekaguman bergabung menjadi satu, saat melihat betapa mudahnya pemuda yang menolongnya bisa mengalahkan semua perampok dengan begitu mudahnya. Jaka Tole segera menyabetkan golok di tangannya ke udara untuk membersihkan sisa-sisa darah yang menempel di bilahnya. Kemudian seperti sebuah sulap, golok besar di tangannya menghilang dari tangannya. Sekali lagi nimas Ayunina menelan ludah, menatap Jaka Tole dengan tatapan tidak percaya. Perlahan sebuah rasa yang aneh mulai merambati relung hatinya, sebuah perasaan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. “Ayo kita lanjutkan,” kata Jaka Tole sambil menarik tali kekang kudanya untuk melanjutkan perjalanan seakan sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa. Nimas Ayunina yang masih ten







