"Brr… hiih… dingin banget sih," keluhku sambil menahan dinginnya guyuran air pagi ini.
Memang sengaja kubiasakan selalu mandi dengan air dingin, kata Mas Bambang bisa buat awet muda. Dinginnya air yang menusuk tulang, membantuku mengusir pergi bayangan mimpi semalam.
Mimpi yang mendebarkan sekaligus menyebalkan.
Aku bermimpi sedang dalam suatu penyelidikan, entah tentang apa, tapi akhirnya beberapa orang laki-laki mengejar ingin menangkapku.
Di saat itulah seorang pemuda yang tampan muncul untuk menolong. Tubuhku yang lemas karena lelah berlari, jatuh dalam pelukannya.
Mata kami pun bertemu pandang.
Nah di situlah persoalan dimulai, tiba-tiba Mas Bambang muncul mendapati kami sedang berpelukan.
"Ratna …, aku sudah memutuskan. Kita bercerai!" Seperti guntur di siang bolong, kata-katanya membuatku terguncang.
Benar-benar mimpi sial, sampai-sampai aku bangun tidur dengan air mata berlinang. Meskipun sekarang aku sudah terbangun sesadar-sadarnya, hatiku masih saja tak tenang.
"Moga-moga mimpi itu bukan pertanda buruk," ujarku pada diri sendiri, sambil mengamati cermin yang terpasang di dinding kamar mandi.
'Hmm … terkadang aku benci bentuk hidungku yang sedikit mencuat ke atas ini,' pikirku dalam hati sambil memantas-mantaskan diri di depan cermin.
Aku mematut-matut wajah, dengan pose kepala yang berbeda-beda untuk melihat wajahku dari berbagai sudut.
'Halo… putri cantik …,' panggilku pada diriku sendiri saat mendapatkan pose yang memuaskan.
Kemudian aku berjalan mundur beberapa langkah supaya aku bisa mengamati bayangan tubuhku di cermin.
'Not bad …,' pikirku dengan kepala sedikit membengkak.
Latihan-latihan pencak silat yang rutin kulakukan punya efek positif ke bentuk tubuhku. Kalau hidungku membuatku merasa malu, tidak demikian dengan sepasang kakiku yang jenjang. Latihan-latihan fisik membakar lemak di tubuhku, paha dan betisku terlihat kencang dan liat.
'Hanya saja … ', dengan sedikit rasa tak puas aku memegang kedua bulatan kecil di dadaku itu.
'Haah …,' diam-diam aku mendesah kecewa.
Sejak aku baru menginjak usia remaja, aku selalu berharap kedua bulatan ini bisa tumbuh sedikit lebih besar. Paling sebal ketika teman sekelas memanggilku dada rata, atau lapangan terbang.
'Hmm … tapi setidaknya bagian yang ini, ga kalah dibanding Scarlett Johanson,' ujarku pada diri sendiri sambil memutar tubuh untuk mengamati otot gluteus-ku yang menurutku cukup memukau.
Latihan menendang seribu kali setiap hari, punya efek yang tidak mengecewakan.
"Ratna, kau masih lama?" Suara Mas Bambang memanggil dari luar menghentikan perilaku narsistik-ku.
Tak lama kemudian dengan wajah sedikit memerah, malu pada perilaku narsisku, aku keluar dari kamar mandi berbalutkan handuk.
Pagi itu pun berlalu dengan rutinitas kami masing-masing. Entah bagaimana dengan Mas Bambang, tapi aku sendiri merasa tak tenang menunggu dia memulai pembicaraan tentang hubungan kami.
Saat akhirnya dia memanggilku untuk bicara, kami memilih untuk melakukannya di halaman belakang. Tempat paling tenang dari suara-suara di luar rumah.
"Aku dulu adik kelas ibumu saat kuliah," kata Mas Bambang mengawali ceritanya.
"Dia gadis tercantik yang pernah aku kenal …," dia terlihat ragu-ragu sebelum menambahkan, "sampai kau hadir dalam hidupku."
Kulihat wajahnya memerah dan aku paham.
Ini pertama kali Mas Bambang mengakui perasaannya padaku, tapi sayangnya perasaan yang timbul justru rasa aneh yang sulit aku ungkapkan. Aku menahan diri untuk tidak menampilkan reaksi yang berlebihan, bisa kulihat betapa sulit bagi Mas Bambang untuk membicarakannya.
Kami berdua terdiam, sekarang aku paham mengapa Mas Bambang justru menjauh, saat hatiku mulai terbuka untuknya.
"Mas … Bambang mencintai ibu? Sempat jadi kekasih ibu?" Akhirnya aku yang pertama memecahkan kesunyian itu.
Dia mengangguk lalu menggeleng, "Ya benar aku mencintai ibumu, tapi aku tidak pernah mendapatkan hatinya. Ayahmu yang memenangkan hati ibumu."
Aku menangkap kegetiran dalam suaranya saat dia menyinggung ayah.
"Mas Bambang benci pada ayah?" tanyaku hati-hati.
"Ya," jawab-nya singkat, tapi buru-buru dia sambung, "aku tahu kebencianku padanya itu tidak beralasan kuat."
Sesaat kemudian dia menghela nafas, "Itu semua masa lalu."
Sejenak dia terdiam, memandangiku dalam-dalam, dan melanjutkan, "Sekarang tentang kita ….
Saat aku mendengar kabar kecelakaan yang membunuh kedua orang tua mu.
Sebagian dari diriku ingin melindungimu, atas nama cinta pada ibumu. Sebagian dari diriku menyalahkan ayahmu atas kematian ibumu.
Wajahmu …, mengingatkanku pada mereka berdua.
Kau … kau adalah perpaduan yang sempurna antara ibu dan ayahmu."
Kami terdiam, matanya menatapku dengan pandangan penuh selidik. Sementara aku terdiam dengan dahi berkerut dan pertempuran dalam batinku, 'Apakah dia membayangkan ibu saat bersamaku? Jadi aku semacam pelampiasan baginya? Alat untuk membalas dendam pada ayah?'
Mungkin dia bisa merasakan kemarahanku yang perlahan bergolak dan berkata dengan nada penuh penyesalan, "Jiwaku waktu itu memang tidak stabil.
Kehilangan ibumu membuatku gila dan akhirnya mengambil keputusan yang kusesali sampai sekarang."
Wajah Mas Bambang terlihat kuyu, dengan alis turun, sorot mata yang sayu dan suara semakin lama makin lemah.
"Jadi menikahiku bentuk balas dendam Mas Bambang pada ayah?" Suaraku naik di luar mauku, terdengar menakutkan bahkan bagi telingaku sendiri.
Mas Bambang mengangguk lesu. Kami berdua pun terdiam.
'Mengapa kau jawab iya …, harusnya kau katakan tidak Mas …,' keluhku dalam hati.
Aku menunggu permintaan maaf darinya, tapi permintaan maaf itu tak kunjung datang. Dari sorot mata dan ekspresi wajahnya, aku bisa membayangkan perasaan dia, tapi aku tak bisa memaafkannya.
Tidak, selama aku belum mendengar permohonan maaf itu keluar dari mulutnya.
Enam tahun masa mudaku terbuang, hanya karena dia tak bisa menerima kalah bersaing dalam memenangkan hati ibuku.
Semakin lama aku memikirkan hal itu, darahku semakim bergolak dengan kemarahan. Aku bisa merasakan pembuluh darah di dahiku berkedut-kedut, seakan kepalaku hendak meledak.
Karena tak ingin mengucapkan sesuatu yang nantinya aku sesali, aku berdiri dan tanpa menoleh lagi meninggalkannya sendirian sambil berucap, "Aku butuh waktu, kita lanjutkan pembicaraan ini di lain waktu."
Tak ada tangan yang meraih untuk menghentikanku, atau sosok Mas Bambang yang muncul menghadang di depan jalanku.
Hanya sebuah kesunyian panjang, sebelum sebuah helaan nafas dan kalimat pendek, "Aku mengerti."
Dan setetes air mata mengalir di pipiku mendengar jawaban-nya itu.
'Ah …, seandainya saja kau benar-benar mengerti ….', pikirku seiring langkah kakiku yang makin lama makin cepat berlari menuju kamar.
Kututup pintu dan kulemparkan tubuhku ke atas pembaringan. Dengan banyak menutupi kepalaku, aku pun menangis meraung-raung sepuas hatiku.
Haruskah aku memaafkannya? Masa mudaku tidak akan pernah kembali lagi. Sahabat-sahabatku semasa SMP, kini aku tidak pernah mendengar kabar dari mereka lagi. Menikah di usia muda, apalagi dengan suami yang jauh lebih tua. Bagaimana aku bisa punya muka untuk bertemu dengan mereka?
Sudah lama aku memaafkannya, jauh sebelum aku mulai membuka hatiku untuknya.
Namun kesedihan dan goresan luka itu ternyata masih ada.
Waktu dan masa yang sudah hilang, tak pernah bisa dikembalikan.
Entah berapa lama aku menangis, ketika terdengar suara ketukan di pintu.
"Ya …?" sahutku dengan suara parau sedikit sengau.
"Ratna, aku harus pergi. Ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi, dan aku harus berusaha menghentikannya.
Aku tidak tahu, kapan bisa kembali dan meneruskan pembicaraan kita lagi …." Suara Mas Bambang terdengar genting, hingga saat itu segala kegundahanku tanpa sadar tergeser oleh keinginanku untuk memperhatikan tiap-tiap katanya.
"Ratna, aku bersalah padamu.
Aku tidak akan pernah bisa menggantikan masa mudamu yang hilang.
Aku bahkan tak bisa berjanji akan selalu bersama-mu sampai kau lanjut usia nanti," terdengar suaranya bergetar menahan emosi.
Membayangkan perasaannya saat ini, tiba-tiba aku ingin memeluk dan menenangkannya. Kuhapus bekas-bekas air mata dari pipiku.
Ragu-ragu aku berdiri hendak membuka pintu dan tanpa sengaja aku melihat pantulan bayanganku di cermin besar yang ada di atas meja rias.
'Sudah persis seperti kuntil anak …,' pikirku dalam hati saat melihat bekas riasan yang sebagian terhapus air mata.
Buru-buru aku pergi ke meja rias untuk merapikan diri.
Aku sedang menghapus coreng moreng di wajahku ketika kudengar Mas Bambang berkata, "Ratna, aku sudah memutuskan ….
Pernikahan ini harus diakhiri. Kau masih muda, meskipun aku tidak bisa mengembalikan masa yang sudah lewat. Aku bisa membebaskanmu untuk merengkuh masa depanmu."
Mendengar kata-kata Mas Bambang, lututku terasa lemas. Bekas air mata yang sudah mengering, kembali basah.
Aku berdiri termenung dan kehilangan akal, tak tahu sekarang harus berbuat apa. Lidahku kelu, ingin memanggilnya dan mencegahnya pergi, tapi tak mampu.
"Aku harus pergi ke bandara sekarang, selekasnya aku akan menghubungimu.
Kau jaga dirimu baik-baik di rumah," sambung Mas Bambang disusul suara langkah kakinya berjalan menjauh.
Meninggalkanku sendirian, tersandar di balik pintu kamar. Air mata yang baru mengering kembali mengalir.
'Aku tidak tahu ada air sebanyak ini di mataku. Kira-kira selama ini air sebanyak itu bersembunyi di mana?' Pertanyaan itu tiba-tiba melompat keluar dan aku jadi benci pada diriku sendiri.
Sempat-sempatnya aku memikirkan hal konyol seperti itu.
"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya
Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp
"Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma
"Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu
Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku