"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.
Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.
Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.
Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.
Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Dasar pengecut!" dengus perempuan itu dengan ketus.Wajahnya hanya dipoles make-up tipis-tipis saja, tapi itu justru membuat kulitnya yang halus dan berwarna cerah makin memikat.Kulit mukanya terlihat kencang dan segar. Wajahnya hampir-hampir sempurna dengan bentuk yang simetris. Spesimen pernikahan campuran yang berhasil. Ayahnya dari Belgia, sementara ibunya dari Jawa Barat.Berbalutkan gaun hitam ketat, lekak-lekuk tubuhnya yang memikat terlihat jelas.Berjalan mondar-mandir sambil mengerutkan alis, perempuan cantik itu seakan tak menyadari tatapan pria muda yang jadi lawan bicaranya.Pria setengah baya itu tanpa sadar menelan ludah, kemudian menyisip minuman yang ada di depannya, membasahi bibirnya yang terasa kering da
(Diceritakan oleh Dewi, lengkapnya, Ratna Puspa Sari Dewi.)"Deng … deng … deng …." Sepuluh kali dia berdentang, jam antik dengan bandulnya yang besar, salah satu koleksi suamiku yang sepertinya terjebak pada romansa masa-masa jaman itu."Aku tidur," katanya sambil menutup laptop yang dia menemani dia sepanjang hari ini."Baik Mas, selamat tidur," balasku sambil berdiri, hendak mengantar dia ke kamar tidurnya."Tidak usah," balasnya pendek.Aku terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana, hampir enam tahun kami sudah menjalani pernikahan yang aneh ini. Statusku saja seorang isteri, tapi kenyataannya tak pernah sekalipun dia menyentuhku seperti seorang suami menyentuh isterinya.
"Brr… hiih… dingin banget sih," keluhku sambil menahan dinginnya guyuran air pagi ini.Memang sengaja kubiasakan selalu mandi dengan air dingin, kata Mas Bambang bisa buat awet muda. Dinginnya air yang menusuk tulang, membantuku mengusir pergi bayangan mimpi semalam.Mimpi yang mendebarkan sekaligus menyebalkan.Aku bermimpi sedang dalam suatu penyelidikan, entah tentang apa, tapi akhirnya beberapa orang laki-laki mengejar ingin menangkapku.Di saat itulah seorang pemuda yang tampan muncul untuk menolong. Tubuhku yang lemas karena lelah berlari, jatuh dalam pelukannya.Mata kami pun bertemu pandang.Nah di situlah persoalan dimulai, tiba-tiba Mas Bambang muncul menda
Bolak-balik aku memeriksa HP, menunggu kabar terbaru dari Mas Bambang.Mataku yang masih sembab berulang kali membaca percakapan kami yang terakhir, sebelum Mas Bambang harus mematikan HP karena sudah waktunya naik ke atas pesawat.Di situ aku curahkan seluruh perasaanku padanya. Tentang pernikahan ini. Tentang kemarahanku karena dia sudah merenggut masa mudaku untuk alasan yang sangat konyol menurutku.Namun juga tentang bagaimana hatiku mengharapkan cintanya.Jawaban Mas Bambang membuat hatiku pedih dan hampir-hampir kembali marah padanya.Dia masih saja berkutat pada perbedaan usia di antara kami. Pada kesalahan yang dia lakukan. Dan pada masa depanku yang masih terbuka.Sampai
“Hiiih…!” teriakku gemas, sambil mengambil ancang-ancang untuk melemparkan HPku ke dinding.Beruntung masih bisa menahan emosi, apalagi kalau berpikir berapa harga HP seandainya aku harus membeli yang baru. Aku sudah berhenti menghitung, berapa orang yang aku hubungi untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari daftarku itu.Tanggapan terbaik yang kudapatkan adalah, “Kebetulan ada lowongan mbak, nanti saya kirim syarat-syaratnya ya.”Lalu tak lama kemudian aku dapatkan baris-baris kalimat yang tak ada bedanya dengan lowongan pekerjaan yang ada di koran-koran. Masalahnya saat ini aku tidak punya gelar pendidikan apa pun. Cuma ada ijazah kelulusan dari ujian kejar paket C. Sementara lowongan yang mereka tawarkan itu, rata-rata minimal membutuhkan ijazah D3.
Mulai saat ini, jika ada yang berani mengatakan, sudah tidak ada lagi orang baik di dunia ini, aku akan mengenalkannya pada Nyonya Burhan.Kemarahanku yang salah sasaran tidak membuat dia marah, malah kemarahanku itu memancing empatinya. Dengan penuh kelembutan seorang ibu dan simpati sesama wanita, dia menghiburku. Singkat kata, Nyonya Burhan menawariku untuk tinggal bersama dia di Jakarta."Rumahku sekarang jadi sepi sejak kepergian Ryan. Kebetulan aku dengar dari beberapa teman, kolega almarhum suaminya juga, kalau keadaanmu saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaanku.Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku.Kudengar kau tertarik untuk bekerja di bidang jurnalisme, kebetulan aku kenal seseorang yang bekerja di sebuah Stasiun TV nasion
"Dewiii …, tolongin aku yaa …." Suara Yolanda yang melengking manja lebih dahulu sampai sebelum orangnya muncul di depanku.Aku sedang di dapur kantor waktu itu.Yolanda punya bentuk tubuh, yang kalau kata orang sekarang itu, body goal. Sebagai sekretaris pribadi pemilik perusahaan ini, penampilannya selalu modis dan memikat, tapi pagi ini ada yang beda."Wiih … Mbak Yolanda seksi amat Mbak. Eh, potongan rambutnya juga baru ...Tolongin apa sih Mbak Yolanda?" jawabku dengan senyum lebar, mataku tak tahan melirik ke arah dadanya.Sambil mendesah kagum, antara kagum dan sedikit iri.Pura-pura tersipu, Yolanda menutupi bagian depan baju yang mempertontonkan belah
Dengan sigap aku menarik bapak tua itu menghindar dari terjangan motor yang tak sempat menghentikan lajunya.Terdengar suara Yolanda menjerit di belakang sana. Diiringi suara rem menjerit, klakson dan makian.Semuanya aku singkirkan mundur ke belakang dalam benakku. Mataku tertuju pada bapak tua yang tampak masih sedikit terguncang itu. Aku menariknya cukup kuat, hingga dia terjatuh ke tanah. Sekilas kulihat wajahnya berubah marah, tapi sekejap kemudian berubah saat menyadari apa yang hampir saja terjadi."Bapak baik-baik saja?" tanyaku sambil membantunya perlahan-lahan berdiri.Tak seringkih uban di rambutnya, bapak tua itu berdiri dengan mudah, meskipun terasa tangannya sedikit gemetaran."Ya ya …, aku baik-bai