(Diceritakan oleh Dewi, lengkapnya, Ratna Puspa Sari Dewi.)
"Deng … deng … deng …." Sepuluh kali dia berdentang, jam antik dengan bandulnya yang besar, salah satu koleksi suamiku yang sepertinya terjebak pada romansa masa-masa jaman itu.
"Aku tidur," katanya sambil menutup laptop yang dia menemani dia sepanjang hari ini.
"Baik Mas, selamat tidur," balasku sambil berdiri, hendak mengantar dia ke kamar tidurnya.
"Tidak usah," balasnya pendek.
Aku terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana, hampir enam tahun kami sudah menjalani pernikahan yang aneh ini. Statusku saja seorang isteri, tapi kenyataannya tak pernah sekalipun dia menyentuhku seperti seorang suami menyentuh isterinya.
Kami tidur di kamar yang terpisah dan sikapnya padaku sangatlah sopan, jika tak mau dikatakan dingin.
Di awal-awal pernikahan, aku justru merasa bersyukur atas sikap dan pengaturannya ini.
Pernikahan itu terjadi atas dorongan pamanku, sesaat setelah ayah dan ibu meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Yatim piatu dan sendirian di usia yang baru menginjak remaja, aku tak mampu menolak, saat paman yang jadi satu-satunya keluarga terdekat, menyarankan pernikahan itu.
Raden Mas Bambang Wibisena, seorang priyayi dan sejarahwan yang dihormati. Masih melajang di usianya yang sudah menginjak 40an. Menikahi seorang gadis berusia 15 tahun.
Berita itu sempat jadi bahan pembicaraan di kota kecil kami.
Namun kedudukan Mas Bambang punya cukup bobot untuk menghentikan semua pertanyaan.
Atau mungkin, justru karena reputasi-nya yang hanya terbatas di lapangan akademis dan jauh dari perhatian kalangan umum.
Laki-laki itu, suamiku, atau biasa aku panggil Mas Bambang, terlihat berdiri terdiam di depanku. Untuk sesaat lamanya kami saling pandang dalam diam.
Jantungku diam-diam berdebaran.
Matanya menatapku sendu, mungkin malam ini akhirnya perasaanku sampai juga menyentuh hatinya.
'Apakah kali ini dia akan mengajakku ke dalam? Memperkenalkan dunia orang dewasa, yang selama ini hanya aku ketahui samar-samar dari film dan novel romantis yang aku baca?' Aku bertanya-tanya dalam hati.
Kata orang, witing tresna jalaran saka kulina, alias cinta datang karena seringnya bertemu.
Enam tahun kami menikah, Mas Bambang selalu memperlakukanku dengan hormat dan lembut.
Dengan cara pikirnya yang aneh, dia melarangku bersekolah.
"Cara paling ampuh untuk membunuh pikiran kritis dan kreativitas seseorang." Demikian katanya waktu itu sambil mendengus tak puas.
Lalu tiap-tiap hari dia menghujaniku dengan berbagai buku dan ajakan untuk berdiskusi.
Buku-buku yang dia berikan, tidak melulu buku tentang ilmu pengetahuan. Mulai novel popular, buku auto biografi, sampai buku tentang filsafat, dan buku tentang pengetahuan teknis. Macam-macam buku perlahan-lahan mengisi koleksi bacaanku.
Kemudian setiap seminggu sekali, dia akan mengajakku mengunjungi sebuah padepokan pencak silat untuk berlatih di sana.
Sebuah sanggar tari, rumah seorang pande besi dan perajin keris. Macam-macam jalan kehidupan dan orang-orang yang menekuninya dalam senyap, jauh dari ketenaran dan terkadang dalam hidup yang serba pas-pasan.
Butuh waktu beberapa lama sebelum aku perlahan sadar, kehadiran Mas Bambang dalam kehidupanku, membuat hidupku menjadi kaya.
Jauh lebih kaya dari kehidupan kebanyakan teman-teman sekolahku dulu, bahkan ketika mereka mulai menginjak dunia perkuliahan.
Rasa benci berubah menjadi rasa hormat. Rasa hormat dan kagum, perlahan berubah menjadi rasa sayang.
Aku tidak tahu kapan perasaan cinta mulai tumbuh, yang aku tahu, pada satu titik, setiap malam aku berharap Mas Bambang akan meraih tanganku dan menarikku untuk naik ke peraduan bersamanya.
Namun Mas Bambang justru semakin menjaga jarak dariku.
Akhir-akhir ini hubungan kami mendingin, hampir membeku. Mas Bambang seakan dengan sengaja menghindari kegiatan-kegiatan yang biasa kami lakukan bersama.
"Ratna …," ucapnya ragu-ragu.
"Iya mas," jawabku dengan suara sedikit bergetar, tak mampu menyembunyikan rasa gugup campur harap-harap cemas.
Mas Bambang terdiam cukup lama, alisnya berkerut-kerut, seperti kebiasaannya saat berpikir keras menghadapi persoalan yang rumit.
"Ratna … besok pagi-pagi kita bicarakan masalah hubungan kita ini dengan serius.
Bagaimana?" Akhirnya dia berkata setelah cukup lama membuatku berdiri menunggu dengan perasaan campur aduk.
"Baiklah Mas …," jawabku lemah.
Sulit menggambarkan perasaanku saat ini. Ada kecewa, kecewa karena malam ini akan aku habiskan lagi sendirian.
Ada rasa lega, karena terus terang, meski hati ini mulai tumbuh cinta dan dalam hati ini tidak ada penolakan pada Mas Bambang, rasa takut dan deg-degan itu tak sepenuhnya hilang.
Ada rasa berharap, berharap esok Mas Bambang akan memberi kejelasan pada hubungan pernikahan kami ini.
Ada rasa takut, takut kalau-kalau Mas Bambang menghendaki pernikahan ini tetap seperti sekarang, atau lebih buruk lagi memutuskan untuk mengakhirinya.
Mas Bambang menatapku dalam-dalam, kemudian dia melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Dia melangkah mendekatiku, mengangkat kedua tangannya dan dengan lembut memegang bahuku. Setelah menatapku beberapa saat lamanya, perlahan dia mengecup dahiku.
Kecupan itu beberapa detik saja lamanya, tapi membuat jantungku berdebar kencang.
Tak terasa tanganku bergerak meremas balik tangan Mas Bambang.
Dan tubuhku bergerak hendak bersandar di dadanya yang bidang, tapi sebelum aku jatuh dalam pelukannya, dia sudah bergerak menjauh.
Matanya teduh menatapku, "Besok aku akan bercerita panjang lebar.
Lalu kita akan membicarakan tentang pernikahan ini."
Aku hanya bisa mengangguk dan menatapnya membalikkan punggung, berjalan pergi, dan kemudian menghilang di balik pintu kamarnya.
Aku pun menghempaskan tubuhku ke atas sofa. Mataku menatap nanar layar televisi. Sejak Mas Bambang mulai menjauh dariku, TV menjadi salah satu tempat pelarianku.
Salah satu acara yang selalu kunanti, adalah sebuah acara reportase dan talk show "Menepis Kabut Bersama Shana". Topiknya bisa beragam, mulai gosip selebriti, berita kriminal, sampai masalah politik istana negara. Yang membuatku terpikat adalah pembawa acaranya, Shana Devi, seorang wanita yang sudah matang dan selalu tampil memikat. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya dan pembawaannya anggun dalam segala situasi.
Bahkan ketika dia tertawa lepas karena gurauan salah seorang nara sumbernya, keanggunan itu tidak hilang, dan di saat yang sama tawanya pun terlihat natural.
Pertanyaan-pertanyaannya tajam mengupas masalah dan mengejar tiap ketidak sesuaian dalam jawaban yang diberikan nara sumber.
Terkadang gosip selebriti yang terkesan murahan pun, ketika dia bawakan, bisa memunculkan sudut pandang yang baru dan mengejutkan.
Entah berapa kali, kala aku tidur sendiri, aku membayangkan diriku seperti idolaku itu. Kebetulan juga nama kami hampir serupa. Bukankah Dewi adalah versi Indonesia dari Devi?
Dalam sepinya pernikahan ini, aku jadi haus akan petualangan.
Menjadi seorang reporter, mengejar berita, membongkar kebohongan dan mengungkapkan fakta.
Jantungku ikut berpacu lebih cepat saat membayangkan diriku menginvestigasi kejahatan yang terorganisasi, atau skandal korupsi di jajaran pejabat papan atas.
Bahkan mungkin aku harus menggunakan beberapa jurus yang kulatih selama ini untuk menyelamatkan diri dari sergapan penjahat.
Tentu saja, tidak ketinggalan beberapa momen romantis, pertemuan dengan lelaki misterius berdagu keras, bermata tajam, dan tulang pipi menonjol.
Biasanya kemudian khayalan romantis ini diikuti sedikit rasa bersalah pada Mas Bambang, tapi salah dia juga kan?
Namun malam ini aku tidak bisa menikmati mimpiku untuk petualangan.
Hatiku risau memikirkan esok pagi.
Tiba-tiba aku tersadar, aku memilih Mas Bambang daripada laki-laki berdagu keras dan bermata tajam yang mana pun.
"Brr… hiih… dingin banget sih," keluhku sambil menahan dinginnya guyuran air pagi ini.Memang sengaja kubiasakan selalu mandi dengan air dingin, kata Mas Bambang bisa buat awet muda. Dinginnya air yang menusuk tulang, membantuku mengusir pergi bayangan mimpi semalam.Mimpi yang mendebarkan sekaligus menyebalkan.Aku bermimpi sedang dalam suatu penyelidikan, entah tentang apa, tapi akhirnya beberapa orang laki-laki mengejar ingin menangkapku.Di saat itulah seorang pemuda yang tampan muncul untuk menolong. Tubuhku yang lemas karena lelah berlari, jatuh dalam pelukannya.Mata kami pun bertemu pandang.Nah di situlah persoalan dimulai, tiba-tiba Mas Bambang muncul menda
Bolak-balik aku memeriksa HP, menunggu kabar terbaru dari Mas Bambang.Mataku yang masih sembab berulang kali membaca percakapan kami yang terakhir, sebelum Mas Bambang harus mematikan HP karena sudah waktunya naik ke atas pesawat.Di situ aku curahkan seluruh perasaanku padanya. Tentang pernikahan ini. Tentang kemarahanku karena dia sudah merenggut masa mudaku untuk alasan yang sangat konyol menurutku.Namun juga tentang bagaimana hatiku mengharapkan cintanya.Jawaban Mas Bambang membuat hatiku pedih dan hampir-hampir kembali marah padanya.Dia masih saja berkutat pada perbedaan usia di antara kami. Pada kesalahan yang dia lakukan. Dan pada masa depanku yang masih terbuka.Sampai
“Hiiih…!” teriakku gemas, sambil mengambil ancang-ancang untuk melemparkan HPku ke dinding.Beruntung masih bisa menahan emosi, apalagi kalau berpikir berapa harga HP seandainya aku harus membeli yang baru. Aku sudah berhenti menghitung, berapa orang yang aku hubungi untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari daftarku itu.Tanggapan terbaik yang kudapatkan adalah, “Kebetulan ada lowongan mbak, nanti saya kirim syarat-syaratnya ya.”Lalu tak lama kemudian aku dapatkan baris-baris kalimat yang tak ada bedanya dengan lowongan pekerjaan yang ada di koran-koran. Masalahnya saat ini aku tidak punya gelar pendidikan apa pun. Cuma ada ijazah kelulusan dari ujian kejar paket C. Sementara lowongan yang mereka tawarkan itu, rata-rata minimal membutuhkan ijazah D3.
Mulai saat ini, jika ada yang berani mengatakan, sudah tidak ada lagi orang baik di dunia ini, aku akan mengenalkannya pada Nyonya Burhan.Kemarahanku yang salah sasaran tidak membuat dia marah, malah kemarahanku itu memancing empatinya. Dengan penuh kelembutan seorang ibu dan simpati sesama wanita, dia menghiburku. Singkat kata, Nyonya Burhan menawariku untuk tinggal bersama dia di Jakarta."Rumahku sekarang jadi sepi sejak kepergian Ryan. Kebetulan aku dengar dari beberapa teman, kolega almarhum suaminya juga, kalau keadaanmu saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaanku.Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku.Kudengar kau tertarik untuk bekerja di bidang jurnalisme, kebetulan aku kenal seseorang yang bekerja di sebuah Stasiun TV nasion
"Dewiii …, tolongin aku yaa …." Suara Yolanda yang melengking manja lebih dahulu sampai sebelum orangnya muncul di depanku.Aku sedang di dapur kantor waktu itu.Yolanda punya bentuk tubuh, yang kalau kata orang sekarang itu, body goal. Sebagai sekretaris pribadi pemilik perusahaan ini, penampilannya selalu modis dan memikat, tapi pagi ini ada yang beda."Wiih … Mbak Yolanda seksi amat Mbak. Eh, potongan rambutnya juga baru ...Tolongin apa sih Mbak Yolanda?" jawabku dengan senyum lebar, mataku tak tahan melirik ke arah dadanya.Sambil mendesah kagum, antara kagum dan sedikit iri.Pura-pura tersipu, Yolanda menutupi bagian depan baju yang mempertontonkan belah
Dengan sigap aku menarik bapak tua itu menghindar dari terjangan motor yang tak sempat menghentikan lajunya.Terdengar suara Yolanda menjerit di belakang sana. Diiringi suara rem menjerit, klakson dan makian.Semuanya aku singkirkan mundur ke belakang dalam benakku. Mataku tertuju pada bapak tua yang tampak masih sedikit terguncang itu. Aku menariknya cukup kuat, hingga dia terjatuh ke tanah. Sekilas kulihat wajahnya berubah marah, tapi sekejap kemudian berubah saat menyadari apa yang hampir saja terjadi."Bapak baik-baik saja?" tanyaku sambil membantunya perlahan-lahan berdiri.Tak seringkih uban di rambutnya, bapak tua itu berdiri dengan mudah, meskipun terasa tangannya sedikit gemetaran."Ya ya …, aku baik-bai
Nyonya Burhan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Berita yang kubawa, jauh lebih sensasional dibandingkan berita yang disiarkan di TV. Mengetahui bahwa yang terlibat dalam peristiwa itu adalah anak kost-nya, seperti jadi kebanggaan tersendiri buatnya.Meskipun sebenarnya aku merasa lelah, tapi mengingat kenaikan Nyonya Burhan kepadaku, aku berusaha menjawab setiap pertanyaannya dengan sebaik mungkin."Aduh … menegangkan sekali ya Dewi, kamu pasti capek sekali sekarang. Kamu mau istirahat dulu, atau mau makan dulu?Tante sudah selesai masak tadi siang, tinggal manasin saja," kata Nyonya Burhan setelah keingintahuannya terpuaskan."Aku mau istirahat dulu sajalah Tante," jawabku lega.Beberapa saat kemudian akhirnya
Ini baru pertama kalinya aku berada di dalam kantor polisi. Tidak main-main pula, pengalaman pertama langsung ke gedung Mapolres Jakarta pusat.Masih agak berdebar kalau teringat tadi di depan, dengan suara cukup keras aku berkata, "Saya ingin melaporkan dugaan kejahatan pembunuhan."Entah, aku tak bisa membayangkan seperti apa wajahku saat itu.Sekarang jantungku malah berlompatan di tempatnya. Di depanku sudah duduk seorang bapak polisi dengan wajah yang serius. Menurut dugaanku usianya tentu di kisaran empat puluhan.Kumis yang tebal, melintang menghiasi wajahnya. Membuatku teringat laki-laki misterius itu.'Apa kumis Pak Polisi ini juga kumis palsu …,' pertanyaan itu