Share

Yang Pergi dan Yang Ditinggalkan

Bolak-balik aku memeriksa HP, menunggu kabar terbaru dari Mas Bambang.

Mataku yang masih sembab berulang kali membaca percakapan kami yang terakhir, sebelum Mas Bambang harus mematikan HP karena sudah waktunya naik ke atas pesawat.

Di situ aku curahkan seluruh perasaanku padanya. Tentang pernikahan ini. Tentang kemarahanku karena dia sudah merenggut masa mudaku untuk alasan yang sangat konyol menurutku.

Namun juga tentang bagaimana hatiku mengharapkan cintanya.

Jawaban Mas Bambang membuat hatiku pedih dan hampir-hampir kembali marah padanya.

Dia masih saja berkutat pada perbedaan usia di antara kami. Pada kesalahan yang dia lakukan. Dan pada masa depanku yang masih terbuka.

Sampai akhirnya aku membalikkan semua argumen yang dia ajukan.

Ratna: "Mas katakan bahwa Mas bersalah sudah merenggut masa laluku. Apakah Mas mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya?"

Bambang: "Apa maksudmu? Justru itu yang ingin aku hindari. Aku ingin mengembalikan kemudi atas masa depanmu kembali pada tanganmu sendiri."

Ratna: "Kalau begitu, Mas Bambang tak berhak mengakhiri pernikahan kita, tanpa mempertimbangkan pendapatku!"

Butuh waktu cukup lama sebelum pesan itu berbalas.

Bambang: "Kita bicarakan kembali, sekembalinya aku dari Jakarta."

Membaca pesan itu, aku yang sudah mengenal sifat Mas Bambang cukup dalam pun berhenti mendesaknya lebih jauh. 

'Terkadang dia bisa lebih kekanak-kanakan dari diriku,' pikirku dalam hati.

Aku pun mengalihkan pembicaraan kami ke soal lain. Mas Bambang tidak mau menceritakan apa tujuan kepergian dia ke Jakarta kali ini. Dari jawaban yang dia berikan, sepertinya kepergian dia kali ini berhubungan dengan beberapa nama besar di negeri ini.

Dia berharap bisa mencegah sesuatu yang menurut dia akan berakibat buruk bagi negeri ini.

Membaca beberapa pesan terakhirnya, aku merasakan dadaku seperti ada balon yang pelan-pelan menggelembung makin besar dan menekan dinding dadaku.

Aku tak suka Mas Bambang ikut campur dalam urusan yang kedengarannya terlalu besar untuk dirinya. Meski bisa kubayangkan dia dengan bersemangat menasehati, bahkan mungkin memaki orang-orang penting, ketika hal itu berhubungan dengan sejarah dan arkeologi. 

Dua hal itu hampir-hampir sakral bahinya, tanpa gentar dia akan melabrak siapa saja yang bermain di sana, tanpa peduli akan status dan jabatan mereka.

Sudah dua jam lewat sejak Mas Bambang mematikan HPnya, tapi belum juga ada pesan baru yang masuk.

Sesekali aku mencoba mengirimkan pesan untuk menanyakan kabar Mas Bambang. Bahkan meneleponnya langsung, tapi HPnya masih belum aktif sampai sekarang.

Kecemasanku semakin menjadi-jadi, entah firasat apa yang melintas di otakku, ketika dengan tangan gemetar aku mengetikkan di g****e, nama maskapai yang digunakan oleh Mas Bambang untuk pergi ke Jakarta. Gambar beputar yang menunjukkan sistem gawaiku yang sedang mengakses internet terasa sangat lambat meski sebenarnya hanya beberapa detik saja.

Ya, hanya butuh beberapa detik saja lamanya.

Beberapa detik kemudian bermunculan judul-judul break news memenuhi halaman gawaiku.

Pesawat yang ditumpangi Mas Bambang tidak pernah sampai ke tujuan.

AKu tidak ingat apa yang terjadi setelah itu, mungkin aku menjerit atau berteriak. Atau mungkin aku sempat pingsan.

Entahlah.

Ketika aku mengingat-ingat lagi apa yang terjadi waktu itu, semuanya seperti menonton film kuno yang terlalu cepat diputar. Adegan-adegan yang kabur dan ingatan yang tercampur. Setengah dari diriku seperti bekerja secara otomatis. Menghubungi pihak yang berwajib, menanti kabar lanjutan, dan bersama dengan keluarga-keluarga yang lain mengharapkan keajaiban yang tak pernah datang.

Satu per satu keluarga dan sahabat Mas Bambang mulai menghubungi. Beberapa orang yang tak bisa kusebut satu per satu, ikut mendampingi selama aku menjalani semua proses yang ada.

Tidak kurang dari 4 bulan, aku hidup dengan pikiran yang berkabut dan kacau balau.

Seperti pesawat yang terbang auto-pilot aku melalui waktu yang sekian bulan lamanya itu. Aku tak tahu, seperti apa orang-orang melihatku saat itu, tidak pula aku peduli.

Sebagian besar waktu aku jalani dengan berdiam sendiri di kamarku. Sebagian besar waktu yang lain aku gunakan untuk mengurus semua urusan administratif yang bertele-tele, tapi cocok untuk membuat hati dan pikiranku kebas. Perlahan-lahan rasa sakit itu berkurang dan hari ini, rasa sakit itu tak lagi melumpuhkanku.

Bangun!’ teriakku pada diriku sendiri.

Kulirik jam dinding yang menggantung tepat di atas pintu kamarku. Jarum pendeknya baru saja melewati angka empat.

Bagus …,’ pujiku pada diri sendiri.

Sambil menggertakkan gigi aku melompat bangun dari pembaringan. Mas Bambang sudah pergi, tapi aku masih di sini. Di usiaku yang baru 21 tahun, aku sudah menjadi seorang janda.

Predikat yang terkadang mengundang reputasi tak sedap.

Namun aku sudah siap dengan kehidupanku yang baru. Teringat kembali kata-kata Mas Bambang, “Masa mudamu ..., aku tak bisa mengembalikannya. Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang, mengembalikan kemudi atas masa depanmu ke dalam genggaman tanganmu.

Seulas senyum kupaksakan membentuk di wajahku, meski hatiku masih terasa perih, tapi sakitnya sudah tak lagi melumpuhkanku.

Bagus kau Mas Bambang, memang kau tak pernah mau kalah dalam berdebat,’ ujarku dalam hati.

Apapun perasaanku padanya, dia sudah pergi.

Aku tak mau terjebak dan terbelenggu dalam masa lalu. Aku sudah kehilangan sebagian besar masa mudaku. Masa remajaku tak akan kembali dan aku tak sudi kalau aku harus kehilangan juga masa depanku.

“Wuut… wuut…” Terdengar suara udara mendesir, saat aku melontarkan pukulan dan tendangan ke ruang kosong yang ada di depanku.

Semalam aku sudah membuat catatan, target pertamaku adalah mendapatkan pekerjaan. Sebenarnya Mas Bambang meninggalkan tabungan yang kalau aku hemat-hemat akan cukup untuk kehidupan sehari-hari selama beberapa tahun. Belum lagi harta warisan orang tuaku yang sudah diuangkan Mas Bambang dan disimpan ke dalam deposito atas namaku. Singkatnya aku tidak perlu kuatir tentang biaya hidup, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.

Namun, aku tidak mau cuma jadi seonggok tulang dan daging yang hanya tahu makan dan tidur.

Tidak.

Aku mau melaju dan meraih semua ketertinggalanku selama beberapa tahun ini. Teman-temanku saat SMP dulu, tentunya sekarang sebagian besar sudah selesai kuliah dan sedang mencari-cari pekerjaan, atau sedang memulai karier mereka.

Aku tak mau kalah.

Dan satu hal lagi yang aku catat dengan tulisan besar-besar di diary-ku.

Mulai sekarang, panggil aku, “Dewi.”

Ya, Dewi, seperti idolaku Shana Devi. 

Dengan nama itulah aku ingin dipanggil. Ratna sudah mati empat bulan yang lalu dan jenazahnya sudah aku kuburkan semalam. Yang berdiri di sini sekarang ini adalah Dewi. Kukerjapkan mataku, dengan kesal aku menggosok mataku yang mulai berair lagi.

Sudah cukup,’ geramku dalam hati.

Cepat-cepat aku beralih pada satu daftar catatan yang sudah aku buat semalam. Sebaris nama, nomer telepon, alamat kantor dan alamat email. Tidak semuanya memiliki informasi yang lengkap, sebagian besar hanya nama dan nomer telepon.

Aku membuat daftar itu dari berbagai kartu ucapan duka dan juga kartu nama yang aku terima dari kolega-kolega Mas Bambang. Tidak ada salahnya kan mencoba kekuatan “orang dalam” yang katanya bertuah itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status