“Maaf sus tetapi … Pak Haris bu –“
“Kamu sudah sadar?” potong Harris berdiri di ambang pintu ruangan Anin.
Suster itu menunduk dan berjalan menjauhi ranjang Anin, ia melangkahkan kaki keluar membawa nampan berisi obat-obatan. Harris menggeser sedikit tubuhnya memberi ruang agar pekerja medis itu dapat keluar.
Setelah kepergian suster itu, Harris berjalan menghampiri ranjang Anin. Ia melihat wanita itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Ada apa? Apa ada yang salah?”
“Tentu.” Anin berkata dengan singkat dan datar.
Kerutan halus tercetak di kening pria berjas hitam itu. “Apa?”
“Kedatanganmu, maksudnya kenapa kamu datang lagi?”
Bukannya menjawab, Harris justru tertawa membuat matanya menyipit. “Rasa kemanusiaan … mungkin.”
Anin memutar bola matanya malas. Ia memilih untuk diam dan tak membalas ucapan pria itu, yang Anin lakukan justru mengubah posisi tidurnya, ia memunggungi Harris dan bersikap seolah tak ada pria itu di sana. Karena merasa diabaikan, Harris memilih untuk di sofa panjang yang tersedia di dalam ruangan berukuran 5x6 itu.
Pria itu berselancar di benda pipih berharga puluhan juta, netranya tampak serius membaca setiap pesan yang masuk ke ponselnya. Namun dari sekian banyak pesan yang masuk, pilihan pria itu jatuh pada pesan dari seseorang bernama ‘Darma’ ia lantas membuka room chat nya.
Manik coklat nan tajam Harris membaca setiap kata yang tersusun pada layar berukuran 7 inch. Di sana tertulis jelas tentang siapa Anin, mulai dari nama lengkapnya, pekerjaan wanita itu sebelumnya, bahkan hingga ke makanan favorit wanita itu. Namun, Harris tak menemukan satupun petunjuk tentang siapa ayah dari anak yang baru saja Anin lahirkan.
Status di kartu identitas wanita itu juga masih lajang bukan kawin atau cerai. Pertanyaan besar semakin bergelayut di benak Harris. Merasa tak puas dengan kinerja Damar, pria itu membalas pesan yang Damar kirimkan.
Lengan berotot nan jari yang besar itu mengetikkan tuts di layar ponselnya. [Kau mau dipecat? Kenapa kerjamu menurun? Yang aku minta data lengkap bukan hanya sebagian.]
Setelah mengirimkannya, Harris sesekali mengamati pergerakan Anin. Tak lama ponsel pria itu kembali berdering panjang, ternyata Damar menghubunginya.
“Hallo, maaf pak. Wanita itu sangat tertutup. Saya sudah mencari ke perusahaan tempatnya bekerja dulu dan hasilnya nihil. Mereka mengatakan Anin tak pernah bercerita tentang suaminya. Mereka juga tak tahu di mana orang tua Anin.”
“Harus aku yang turun tangan?” ujar Harris menyindir Damar.
Terdengar helaan napas di seberang sana. “Aku akan mencarinya lagi, Pak. Tetapi, kenapa bapak mencari tahu wanita ini?”
“Apa kau sekarang berubah menjadi perempuan? Yang senang mengurusi urusan orang lain?” Harris memutuskan sambungan telepon tanpa memberikan kesempatan untuk lawan bicaranya menjawab.
Ia lantas menyimpan kembali ponselnya dan membaringkan tubuh tegapnya ke sofa panjang berwarna merah. Ia tetap setia menjaga Anin walau sebenarnya ia tak memiliki kewajiban apapun terhadap wanita itu. Sebenarnya, Harris bisa saja meninggalkan Anin namun, entah kenapa ada rasa tak rela jika harus berjauhan dari Anin.
Ketukan di pintu rawat Anin menginterupsi pria berumur 30 tahun untuk kembali membuka matanya. “Masuk,” sahut Harris malas.
“Permisi Pak, kami hendak memeriksa Bu Anin sekaligus melakukan pompa asi.”
Pria itu tampak bingung kala mendengar kata pompa dan asi, ia tak tahu harus berada di dalam sana dan melihat apa yang seharusnya tak ia lihat atau justru ke luar ruangan.
“Bapak bisa tetap di sini dan menemani istri bapak untuk memompa. Karena kehadiran seorang suami merupakan bentuk support terbaik bagi ibu yang baru saja melahirkan.”
Hati Anin mencelos, ia tak mengerti apa yang sebenarnya pria itu katakan hingga semua perawat dan dokter mengira dirinya adalah istri dari pria berjas yang terlihat kaya raya itu.
“Benar Pak, terlebih kondisi bayi Bu Anin yang tergolong prematur. Ia tentu membutuhkan lebih banyak dukungan moril untuk memperlancar asinya. Apalagi bayi kembar.” Suster itu berkata seraya memeriksa aliran infus Anin.
“Sus, bisa saya bertemu dengan anak saya?” tanya Anin dengan nada lirih.
“Bisa bu, setelah transfusi darahnya selesai dan kondisi ibu stabil ya. Jika malam nanti kondisi ibu stabil kami akan mengantar ibu ke ruangan nicu,” jawab salah seorang suster yang tampak seusia dengan Anin.
“Tidak bisa sekarang, Sus?”
Wanita itu menggeleng dengan senyum ramah yang terukir di wajahnya. “Maaf bu, kami tidak berani mengambil resiko. Kondisi ibu saat ini belum stabil, begitu juga dengan kedua putra ibu. Dokter masih harus melakukan evaluasi.”
Anin tampak murung mendengar jawaban perawat itu, ia memainkan buku jarinya seraya menatap kosong ke arah langit-langit rumah sakit. Begitu banyak hal yang dipikirkan wanita kelahiran tahun 2001 itu. Bagaimana kehidupannya setelah ini, dari mana penghasilannya, dan ke mana ia harus tinggal setelah ini.
Tanpa sadar, Anin berteriak melampiaskan kebingungan yang memenuhi ruang hatinya. Harris terlonjak mendengar teriakan Anin. Ia pun beranjak dari sofa dan menghampiri wanita muda itu. Ia membuka gorden dan mendapati Anin tengah menangis seraya menggigit bibir bawahnya.
“Menangis saja jika memang ingin menangis. Jangan ditahan,” ujar Harris berdiri di samping ranjang Anin.
Wanita itu menoleh dengan pelupuk mata yang penuh air mata. Ia lantas kembali menangis dengan suara lirih, ia tak tahu mengapa air matanya tak bisa tertahan lagi. Entah setan mana yang merasuki Harris, pria itu mengulurkan sebelah tangannya mengusap puncak kepala Anin dengan lembut. Sebuah perlakuan yang tak pernah pria itu lakukan pada siapapun sejak kejadian yang merenggut orang terkasihnya.
“Tidak apa, tumpahkan saja. Jangan ditahan.” Bak sebuah mantra, tangis Anin pun semakin menjadi. Ia terisak seraya menutup wajahnya dengan telapak tangan mungil miliknya.
Cukup lama Anin menangis hingga ia terlelap dalam tidur, entah karena lelah menangis atau karena nyaman dengan perlakuan lembut Harris. Awan biru berganti menjadi jingga, menandakan waktu senja telah datang.
Perut Harris meronta-ronta, sejak siang tadi ia belum makan sedikit pun, pria itu sibuk mengurus Anin juga mengurus kegilaan Ayahnya yang terus menerus menjodohkan dia dengan wanita tak jelas itu.
Pria berambut cepak itu melepaskan jasnya dan menyampirkan pada sandaran sofa. Ia lantas memeriksa keadaan Anin, memastikan jika wanita itu masih terlelap dalam mimpinya. Setelah memastikan keadaan Anin, ia lantas berjalan menuju pintu kamar Anin.
Langkah tegap Harris berjalan menyusuri lorong rumah sakit, suara sepatu pantofel dan lantai keramik beradu memenuhi kesunyian lorong itu. Beberapa langkah lagi, kaki jenjang Harris akan tiba di kantin rumah sakit.
Namun mendadak tubuh pria itu menegang kala melihat sosok wanita yang berdiri tak jauh darinya. “Mas Harris‼”
Di tempat yang sama Anin juga sedang menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ia kembali bersabar untuk meresmikan hubungannya dengan Harris. “Tenang saja sayang, aku masih bersabar menantikan hari bahagia kita,” batinnya. Seakan ia mendengar suara hati Harris di kantornya.Suara Bhima mengalihkan pandangan Anin, ia tersadar ada bayi mungil yang harus diurusnya sekarang. Ternyata diapers bayi laki-laki itu penuh, dengan telaten Anin menggantinya, menghilang ruam di kaki anaknya. Setelah itu ia kembali menyusui Bhima, anaknya itu terlihat masih mengantuk.Tak hanya Bhima saja yang mengantuk, sang kakek juga merasakan yang sama. Ia hampir menabrak kendaraan lain karena tiba-tiba merasakan kantuk yang hebat. Perjalanannya menuju rumah kekasihnya terpaksa terhenti, ia harus menepi di rest area sebentar.“Aku bisa kecelakaan jika diteruskan,” gumamnya. Lelaki paruh baya itu akhirnya mencari rest area terdekat di jalan tol tersebut. Untungnya lokasi tempat peristirahatan
“Sejak kapan Ibu ada di situ?” tanya Harris yang terkejut melihat Ibunya berdiri di depan kamarnya.“Baru saja, memangnya kenapa?” tanya wanita paruh baya itu balik padanya. Harris menggelengkan kepalanya cepat. Tak percaya dengan anaknya, Nyonya Besar itu merangsek masuk. Ia hendak bertanya pada Anin. Tetapi melihat Anin yang tertidur, wanita itu lantas membatalkannya.“Ibu mau bicara dengan Anin?” tanya Harris.“Tidak, biarkan dia tidur. Kasian Anin lelah mengurus Bhima,” ujarnya. Sebenarnya Anin terbangun karena mendengar percakapan Harris dan Ibunya. Ia ingin membalikkan tubuhnya tetapi diurungkan ketika mendengar Ibu Haris tak ingin berbicara dengannya. Anin lantas berpura-pura tidur.“Ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan padaku? Maksud Harris, ada apa ibu ke kamar kami,” tanya Harris pada ibunya.“Ibu hanya ingin melihat Bhima saja, soalnya tadi dia menangis begitu kencang. Ibu takut terjadi sesuatu padanya,” jawab sang Ibu.“Bhima baik-baik saja kok Bu, terima kasih ya sudah men
“Benar Bu. Karena kami belum menikah secara hukum,” jawab Harris, di dalam hatinya ia merasa bingung dengan nada bicara ibunya. Namun ia tak menunjukkannya di depan Anin, lelaki itu takut moment bahagia yang sedang mereka rasakan menjadi hilang. “Ada apa Bu?”“Pernikahan akan digelar dalam waktu dekat ini?”“Tentu tidak Bu, kami akan laksanakan setelah situasinya membaik,” ujar Harris, ia kini tahu kenapa sang Ibu bersikap demikian. Harris juga sadar akan situasi yang terjadi pada orangtuanya begitu pula pada Anin.Sang Ibu menyuruh mereka untuk segera pulang karena Bhima terus menangisi mencari ibunya. Anin menjadi khawatir, ia ingin cepat-cepat bertemu dengan anaknya. Beruntungnya Anin, karena Harris tahu jalan alternatif yang lebih dekat dan tidak terkena macet. Ditambah lagi dengan kemampuan mengendarai mobil lelaki itu yang baik.Tak ada percakapan diantara keduanya selama perjalanan tersebut, Harris fokus mengemudi karena jalur yang mereka lewati berbatu dan banyak belokan. Teta
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Mas?” tanya Anin, ia mencurigai Harris yang tersenyum sembari mengendarai mobilnya. “Mas ...”“Kenapa sih sayang?” tanya Harris pura-pura tak tahu.“Kamu yang kenapa, Mas? Dari tadi senyum-senyum sendiri,” jawab Anin, suara berubah. Harris merasa jik Anin sudah mulai kesal dengannya. Ia pun mencoba menjelaskan jika alasan tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya.“Kamu merasa gugup ‘kan sayang? Tanpa alasan yang jelas,” sahut Harris. Anin mengiyakan apa kata lelaki itu, ia juga sempat merasakan gugup tadi. “Aku menutupi rasa gugupku dengan memikirkan hal-hal lucu, sayang.”Tak terasa mereka sampai di tempat tujuan, Harris mencari tempat parkir yang pas. Lelaki itu turun lebih dahulu untuk membuka pintu mobil untuk Anin. Kini kedua orang di mabuk cinta itu mulai masuk ke dalam restoran yang sudah Harris booking tersebutPramusaji mengarahkan keduanya menuju sebuah ruang privat, Anin terkejut karena mereka makan di ruangan yang tertutup. “Kita makan di
Anin beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju pintu. Ia penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarnya seperti itu. Tangan kurusnya memegang gagang pintu stainless tersebut lalu menariknya ke dalam. Perlahan pintu terbuka dan terlihat jelas siapa yang berdiri di depan Anin sekarang.“Ayah ...” gumam Anin, ia terkejut melihat lelaki paruh baya itu menemuinya. “Ada perlu apa ayah ke mari?” tanya Anin.“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” jawab Tuan Besar. “Kau pernah melihatku pergi dengan seseorang bukan,” imbuhnya.Degh!Anin tercekat mendengar hal tersebut, ia tak menyangka jika ayah Harris ternyata melihat dirinya menguntit mereka. Namun Anin memilih untuk berbohong, ia bepura-pura tak mengetahui hal tersebut.“Kenapa diam saja? Jawab aku!”“Anin tak mengerti maksud ayah,” ujar Anin mulai menjalankan aktingnya. Tuan Besar itu memutar bola matanya malas, ia tahu jika Anin berbohong padanya.“Jangan bohong, katakan saja sejujurnya padaku,” titahnya. Ada penekanan di setiap k
“Mas Harris mendadak diam begini, pasti hatinya kembali sakit,” gumam Anin. Ia berniat untuk menghibur Harris lagi setelah lelaki itu keluar dari kamar mandi, Sembari menunggu Harris keluar, Anin mempersiapkan baju kerja untuknya. Pagi ini Anin akan mendadani Harris dengan pakaian serba cokelat.Tak butuh ama untuk Anin menemukan padu padan yang pas. Ia berharap lelaki yang dicintainya itu suka dengan baju pilihannya. Anin kembali lagi ke ranjangnya, ia mendengar suara shower sudah berhenti, tu artinya Harris sudah selesai mandi.“Kamu menyiapkan baju untukku, sayang?” tanya Harris.“Iya sayang, kamu tidak suka ya? Mau pakai warna lain?” ujar Anin, ia lega karena Haris melihat dan bereaksi atas baju pilihannya.“Tidak, aku suka kok. Terima kasih ya sayang,” kata Harris. Ia akan memakai apapun yang disediakan olehj perempuan yang dicintainya itu. Harris lantas beralih menuju cermin yang sangat besar, ia ingin mematsikan semua benda yang diberikan oleh Anin padanya.“Ternyata aku tampa