“Mas!” panggilnya sekali lagi. Harris mencoba menetralkan air mukanya. “Mas kok di sini? Mas lagi sakit? Atau mas ke –“
“Saya tidak papa,” jawab Harris singkat tanpa menatap lawan bicaranya.
Wanita yang memakai pakaian seksi dan dandanan menor itu tampak mengerucutkan bibirnya. “Kapan sih mas bisa menerima kehadiran aku di sini? Kita sebentar lagi akan menikah, kenapa Mas Harris selalu dingin denganku?” tanyanya dengan wajah memelas.
Harris menyunggingkan senyum sinis, ia tak sedikitpun berniat menatap wanita seksi di depannya. “Sampai kapanpun saya tidak akan menikahimu.”
“Tetapi kata Om Setya kita akan menikah bulan depan, Mas.”
“Kalau begitu nikah saja dengan dia. Saya tak pernah menyetujui usulan perjodohan bodoh ini.” Harris kembali melangkahkan kakinya menjauhi wanita itu.
“Mas, mas bisa saja jauhin atau bersikap dingin denganku. Tetapi bukan Clara kalau gak bisa mendapatkan apa yang dia mau,” pekik wanita bernama Clara membuat langkah Harris terhenti.
Pria itu menoleh dan menatap lurus ke arah Clara. “Dan bukan Harris Dananjaya jika tak bisa membatalkan perjodohan itu.”
“Mas ingat perusahaan mas ada di tangan keluargaku,” lirih Clara tepat di samping telinga Harris. Deru nafas wanita itu menyapu tengkuk Harris membuat pria itu sedikit meremang.
Harris tak menjawab ucapan Clara, nafsu makannya mendadak hilang. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke ruangan Anin. Ia mengabaikan Clara yang terus berteriak memanggil namanya serta membahas perjodohan dirinya.
Sebelum ke kamar Anin, pria itu melewati ruang Nicu di mana anak Anin berada. Ia mendekati ruangan yang didominasi dengan kaca. Seorang perawat mendekatinya dan menanyakan tujuan Harris.
“Ah tidak, saya kebetulan lewat saja.”
“Bapak pasti rindu dengan putranya, ya? Jika memang ingin menemuinya, silakan Pak. Tetapi harus menggunakan pakaian khusus dan tidak diperbolehkan menggendong ya,” urai perawat itu seraya menunjukkan ke lemari berisi pakaian hijau.
Pria itu tampak menimbang sejenak, ia sebenarnya tak berniat mendatangi bayi kembar Anin ia hanya tak sengaja melintas dan entah mengapa ia penasaran dengan wajahnya. Setelah terdiam cukup lama, Harris pun mengangguk dan mengambil sepotong baju hijau itu.
Ia memakainya dan berjalan memasuki ruangan yang dipenuhi box bayi. “Putra Bapak belum kami beri pengenal karena kami belum tahu namanya. Apa bapak dan ibu sudah menyiapkan namanya? Biar kami bantu untuk pembuatan akta kelahirannya.”
“Tidak perlu, saya akan mengurusnya sendiri.”
“Baiklah, kalau begitu saya permisi Pak. Waktu bapak hanya 20 menit ya.” Wanita bertopi khusus itu berjalan keluar ruangan, ia kembali duduk di balik meja bertuliskan Petugas Jaga.
Netra coklat Harris tampak fokus mengamati dua bayi mungil yang masih terlelap, bayi itu disinari lampu neon yang Harris sendiri tak tahu fungsinya. Wajah dua bayi berjenis laki-laki itu terlihat tampan dan bersih. Hidung mancung, mata sipit dan bibir yang tipis. Tanpa sadar pria itu tersenyum bahagia, ia seakan ayah dari bayi-bayi itu. Hatinya menghangat dan terasa … tenang.
Tak mau melewatkan momen terbaik, Harris pun mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa gambar baby twins. Ia mengulanginya beberapa kali dari berbagai angle, seakan tak rela kehilangan satu momen pun dari bayi itu.
“Maaf pak, waktunya sudah habis,” tegur perawat tadi dengan senyum ramah.
Ada rasa tak rela yang memenuhi relung hati Harris kala harus berpisah dengan baby twin itu. Padahal ia tahu, tak ada hubungan apapun antara dirinya dengan baby twin itu. Harris mengangguk dan berjalan menuju pintu keluar. ia menggantung baju hijau ke tempat semula dan melangkahkan kakinya menyusuri lorong panjang nan sepi di depannya.
Di lain tempat, Anin baru saja terbangun dari tidurnya. Ia mengusap perutnya. “Rata,” ujar Anin entah senang atau sedih.
Ia memandang ke plafon rumah sakit, membayangkan kehidupannya setelah ini. Di usia yang terbilang masih muda, Anin harus menjadi seorang ibu dari dua anak sekaligus, yang lebih menyedihkan lagi ia tak tahu siapa ayah dari putranya.
Karena terlalu larut dengan bayangannya, Anin tak sadar pintu ruangannya terbuka. “Sedang melamun?” tanya Harris berdiri di samping ranjang Anin.
“Menurutmu?”
Pria itu mengedikkan bahunya acuh. Ia lantas duduk di kursi samping ranjang Anin. Tak ada yang bersuara, hanya denting jarum jam yang mengisi kekosongan ruangan berukuran 5x6 itu. “Mau melihat putramu?”
“Boleh?” sahut Anin bersemangat kala mendengar Harris menyebutkan kata putra.
“Tentu, kenapa tidak?” Mendengar jawaban Harris, Anin pun bersiap bangkit dari ranjangnya. Hingga infusnya nyaris terjatuh. “Ehh mau ke mana?” tanya Harris bingung.
“Bertemu anakku,” sahut Anin dengan wajah polosnya.
Harris tertawa melihat sikap polos Anin, berbeda dengan Anin wanita itu justru melemparkan tatapan kesal. “Bisa kau diam?" tanya”Anin yang kesal dengan sikap Harris.
Harris masih tertawa, tawa renyah yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun dan tanpa sadar sekarang ia sedang tertawa hanya karena masalah sepele. “Maaf, maaf.”
Anin masih diam di tempat menatap Harris kesal. “Oke oke, maaf.” Harris mencoba menahan tawanya. Tatapan matanya bertabrakan dengan netra hitam pekat Anin.
“Jadi?” tanya Anin memutuskan pandangannya.
“Yang aku maksud bertemu itu di sini, bukan di sana.”
Kening Anin berkerut, ia menganggap Harris hanya mempermainkannya sama seperti pria lain. “Di sini?”
Pria di depannya tak menjawab pertanyaan Anin, yang ia lakukan justru mengeluarkan gawai dari saku celananya. Tingkah Harris membuat Anin semakin yakin jika pria itu tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia hendak memunggungi Harris karena kesal dengan sikap pria itu.
“Maksudku ini,” ujar pria itu mengulurkan ponselnya, menghentikan gerakan Anin. Wanita itu menatap datar uluran tangan Haris. “Di sini, ada beberapa gambar putramu. Kamu bisa melihatnya di sini.”
Senyum dan raut ceria tercetak jelas di wajah wanita kelahiran kota Pahlawan, ia dengan senang menerima ponsel itu dan mengamati gambar yang tercetak di layar berukuran 7 inci.
Wajah ceria itu berubah menjadi sendu, ia tak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah ini, melihat wajah tenang bayinya. Anin tak menyangka jika ia sudah menjadi seorang ibu tanpa suami. Anin berulang kali menghela napas berat terlihat jelas jika wanita itu sedang menahan tangis yang siap membanjiri pipinya.
“Hei, jangan menangis. Tujuanku membuatmu senang bukan bersedih. Jika begini aku ambil saja ponselnya.” Tangan kekar Harris bergerak hendak meraih ponselnya.
Namun, Anin menggeser ponsel itu menjauhi Harris, ia tak peduli jika dicap sebagai wanita perebut hp orang ia hanya ingin melihat wajah anaknya lebih lama lagi. “Ayolah, jangan begini.”
“Aku ….”
“Sebentar sepertinya aku perlu menghubungi suamimu. Bisa kamu berikan nomor ponsel suamimu?”
Mendengar kata suami, tangis yang sedari tadi Anin jaga pun akhirnya pecah juga. “Suami?” lirih Anin di sela tangisannya.
Harris membaca guratan sedih dan bingung di wajah Anin, ia curiga jika Anin adalah korban pemerkosaan. “Aku tak punya suami.” Untuk sepersekian detik, Harris tercengang mendengar jawaban Anin, otaknya yang cerdas mendadak hilang fungsi. “Maksudnya?” “Aku bilang, aku tidak punya suami.” ucap Anin sambil meyakinkan lelaki yang ada di hadapannya sekali lagi. “Iya aku tahu, maksudku ke mana suamimu? Kalian bercerai?” Anin menghela napas panjang, ia awalnya hanya ingin mengacuhkan pertanyaan dari Harris, namun dirinya tak enak hati untuk menutup diri dari pria yang telah menyelamatkan dia dan kedua bayinya itu. “Tidak. Aku hamil karena jebakan temanku. Ajakan dia berakhir menjadi keperawananku yang direnggut oleh pria yang bahkan tak pernah aku kenal hingga sekarang.” urai Anin mulai menceritakan sedikit kejadian malam itu. Hatinya tertusuk ngilu kala harus mengingat kejadian yang tak pernah terbayang olehnya, malam kelabu yang mengubah kehidupannya. “Seharusnya aku bisa menolak ajaka
“Apa?” tanya Anin menatap pria di depannya bingung.“Menikah denganku!” jawab Harris kesal karena wanita di depannya ini berpura-pura tak mendengar.“Bukan maksudku, apa kau sedang melamarku?”Harris tampak berpikir sejenak. “Bisa dibilang begitu. Mungkin lebih tepatnya membuat kerja sama?”“Maaf aku tak bisa!” jawab Anin cepat, kala mendengar maksud Harris.“Dengar dulu! Aku mengajakmu menikah demi kebaikan baby twin. Dia butuh kehadiran seorang ayah bukan?” Anin tampak berpikir sejenak kala mendengar ucapan Harris. “Kalau begitu, aku akan jadi ayahnya. Dan baby twin tidak akan kekurangan kasih sayang ataupun kebutuhan lainnya.”“Maksudmu aku tak bisa menghidupi anakku sendiri?” tanya Anin, air mukanya tampak kesal mendengar penjabaran pria kaya di depannya. “Walau saat ini aku masih mencari pekerjaan tetapi aku yakin, aku bisa menafkahinya.”“Dengan cara?”“Bekerja!” sahut Anin cepat.“Lantas siapa yang menjaga anakmu?” Pertanyaan Harris berhasil membungkam Anin, wanita itu termenun
Anin terus teringat ucapan Harris, ia tak menyangkal ucapan pria itu. Karena pada kenyataannya ia tak mungkin membiayai pengobatan putranya seorang diri. Batin dan otaknya berperang hebat, ia harus memutuskan secepat mungkin karena nyawa putranya berada pada pria yang kini tengah duduk di sofa kamarnya.Berulang kali, Anin menghela napas berat. “Tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ujar Harris yang sedari tadi mengawasi pergerakan wanita berpakaian khas pasien rumah sakit.“Apa kau sengaja menjebakku dalam situasi ini?” Pertanyaan Anin mengintrupsi pria itu bangkit dari duduknya.Pria itu mengendikkan bahunya dan menyeret kursi ke samping ranjang Anin. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Bergantung kamu mau melihat dari sudut pandang yang mana.”“Mengapa harus begini?” tanya Anin lirih, tak ada sorot mata tajam tak ada wajah sinis yang ia tunjukka
"Anggap saja sebagai latihan sebelum kita menikah.” Anin memutar bola mata malas, ia tak tahu kenapa pria di depannya ini memaksa ia menikah.Ruangan yang di dominasi dengan warna putih itu kembali hening, Anin memilih untuk tidur sedangkan Harris memikirkan cara agar Anin mau menerima perjanjiannya. Ia sendiri tak tahu kenapa begitu yakin jika Anin adalah wanita yang tepat. Mungkin karena sikap yang wanita itu tunjukkan, di antara semua wanita yang pernah ia temui tak ada satupun yang melempar tatapan tajam dan dingin. Semua wanita menatapnya terpesona dan berebut mencari perhatiannya.Kicauan burung dan sinaran matahari yang menelusup melalui kaca jendela rumah sakit, menyilaukan penglihatan Anin. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, dia melirik ke arah sofa di mana seorang pria tengah tertidur dengan berselimut jasnya.Ia melirik ke nakas di samping kasurnya, tangannya yang lentik terulur hendak meraih gelas tersebut. “Ah‼” pekik Anin kala tangannya tak sengaja menyenggol
Ucapan pria itu mengingatkan Anin pada jam tangan yang dikenakannya tempo hari. “Jam tanganmu ke … mana?” tanya Anin melenceng jauh dari pernyatan Harris.“Anin ….” Harris nyaris tak percaya dengan respon yang wanita itu berikan. “Bagaimana jika aku ayah baby twin?” ulang pria itu karena Anin tak merespon ucapannya.“Jawab aku dulu.”Harris menoleh dan melangkah kaki mendekati kursi roda Anin. “Kenapa? Kenapa dengan jam itu?”“Jawab saja, kenapa sih?” tanya Anin meninggikan volume suaranya.Harris menghela napas, ia lantas mengeluarkan jam tangan dari saku celananya. Pria itu sengaja melepasnya karena ia terlalu buru-buru. Anin mengamati jam tangan itu, manik matanya membulat sempurna. Wanita muda itu bahkan menjatuhkan jam berharga puluhan juta ke tanah berumput di bawahnya.
"Kenapa? Anakku!” teriak Anin kala Harris tak melanjutkan ucapannya. Pria itu menghela napas. “Anakmu … membutuhkan perawatan lebih intensif.” Anin memejamkan mata, dunianya seketika itu juga hancur. Ia hanya diam menatap kosong Harris. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Bhama ke rumah sakit besar dan berusaha menyembuhkannya.” “Tidak perlu,” jawab Anin dingin. “Karena aku tahu niatmu tidak tulus, kamu memanfaatkan sakitnya anakku agar aku mau menerima perjanjian bodoh itu ‘kan? Lebih baik tidak usah.” “Kamu mau melihat dia terus menderita begitu? Tidak cukupkan kamu membuatnya menderita saat di dalam kandungan‼” bentak Harris karena kesal dengan keras kepala Anin. Anin tersenyum sinis. “Anda ini tahu apa? ANDA TAHU APA TENTANG HIDUP SAYA‼!” balas Anin tak kalah tinggi. “JAWAB! KENAPA HANYA DIAM‼” Harris menghela napas, ia lantas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Dari luar, Anin mendengar suara kucuran air. Anin berusaha tenang, ia memikirkan cara agar putranya da
“Maaf pak, pasien sudah selesai kami pindahkan. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan untuk Adik Bhama,” info perawat itu membuyarkan kegiatan Harris.Pria itu kembali bersikap dingin dan menatap datar petugas medis di depannya. “Terima kasih.”Harris segera masuk ke dalam lift dan menekan angka di mana kamar rawat Anin berada. Ia menunggu seraya memainkan ponselnya. Ia mengirimkan pesan pada assistennya untuk menghandle jadwal meeting pria itu selama beberapa hari ke depan. Ia juga meminta Damar menggantikkannya jika memang rapat tersebut tak bisa di re-schedule.Langkah Harris berjalan menyusuri koridor rumah sakit, ia menuju ke ruangan yang berada di paling ujung koridor tersebut. “Untuk adik Bhima kondisinya sudah stabil. Dokter akan menginfokan susu formula khusus untuknya dan untuk Bhama kami sedang melakukan observasi untuk menentukan pengobatan yang sesuai.”“Terima kasih, Dok,” balas Harris singkat dan datar.“Kalau begitu kami permisi terlebih dahulu pak. Beberapa jam ke dep
“Bukan begitu, aku hanya penasaran saja.”Anin memicingkan matanya. “Kamu mulai ragu ‘kan? Sudah aku bilang aku ini bukan tipe menantu atau istri idaman. Sudahlah lupakan saja rencanamu, sebelum semuanya terja –““Aku tidak akan merubah keputusanku. Apa salahnya seorang calon suami ingin mengenal lebih lanjut dan dalam tentang wanitanya? Kurasa tidak ada yang salah.” Ucapan Harris membungkam bibir wanita berumur 22 tahun. Ia lantas diam dan mengabaikan keberadaan pria itu.“Kamu mau menitip sesuatu?” tanya Harris bangkit dari kursinya. Anin menatapnya bingung ia tak mengerti arah pembicaraannya. “Aku hendak ke kantin.”Anin membulatkan bibirnya membentuk huruf o lantas menggeleng menjawab pertanyaan pria itu. Harris mengangguk dan berlalu dari hadapan Anin. Pria itu juga mengatakan jika dirinya hendak menemui Bhima, Anin pun berteriak memanggil namanya.“Boleh aku ikut?” tanya Anin penuh harap.“Aku tanya dokter terlebih dahulu,” sahut Harris, pria itu berlalu di balik pintu kayu berw