Share

Usulan Perjodohan Bodoh

Penulis: Duarta
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-01 22:01:43

“Mas!” panggilnya sekali lagi. Harris mencoba menetralkan air mukanya.  “Mas kok di sini? Mas lagi sakit? Atau mas ke –“

“Saya tidak papa,” jawab Harris singkat tanpa menatap lawan bicaranya.

Wanita yang memakai pakaian seksi dan dandanan menor itu tampak mengerucutkan bibirnya. “Kapan sih mas bisa menerima kehadiran aku di sini? Kita sebentar lagi akan menikah, kenapa Mas Harris selalu dingin denganku?” tanyanya dengan wajah memelas.

Harris menyunggingkan senyum sinis, ia tak sedikitpun berniat menatap wanita seksi di depannya. “Sampai kapanpun saya tidak akan menikahimu.”

“Tetapi kata Om Setya kita akan menikah bulan depan, Mas.”

“Kalau begitu nikah saja dengan dia. Saya tak pernah menyetujui usulan perjodohan bodoh ini.” Harris kembali melangkahkan kakinya menjauhi wanita itu.

“Mas, mas bisa saja jauhin atau bersikap dingin denganku. Tetapi bukan Clara kalau gak bisa mendapatkan apa yang dia mau,” pekik wanita bernama Clara membuat langkah Harris terhenti.

Pria itu menoleh dan menatap lurus ke arah Clara. “Dan bukan Harris Dananjaya jika tak bisa membatalkan perjodohan itu.”

“Mas ingat perusahaan mas ada di tangan keluargaku,” lirih Clara tepat di samping telinga Harris. Deru nafas wanita itu menyapu tengkuk Harris membuat pria itu sedikit meremang.

Harris tak menjawab ucapan Clara, nafsu makannya mendadak hilang. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke ruangan Anin. Ia mengabaikan Clara yang terus berteriak memanggil namanya serta membahas perjodohan dirinya.

Sebelum ke kamar Anin, pria itu melewati ruang Nicu di mana anak Anin berada. Ia mendekati ruangan yang didominasi dengan kaca. Seorang perawat mendekatinya dan menanyakan tujuan Harris.

“Ah tidak, saya kebetulan lewat saja.”

“Bapak pasti rindu dengan putranya, ya? Jika memang ingin menemuinya, silakan Pak. Tetapi harus menggunakan pakaian khusus dan tidak diperbolehkan menggendong ya,” urai perawat itu seraya menunjukkan ke lemari berisi pakaian hijau.

Pria itu tampak menimbang sejenak, ia sebenarnya tak berniat mendatangi bayi kembar Anin ia hanya tak sengaja melintas dan entah mengapa ia penasaran dengan wajahnya. Setelah terdiam cukup lama, Harris pun mengangguk dan mengambil sepotong baju hijau itu.

Ia memakainya dan berjalan memasuki ruangan yang dipenuhi box bayi. “Putra Bapak belum kami beri pengenal karena kami belum tahu namanya. Apa bapak dan ibu sudah menyiapkan namanya? Biar kami bantu untuk pembuatan akta kelahirannya.”

“Tidak perlu, saya akan mengurusnya sendiri.”

“Baiklah, kalau begitu saya permisi Pak. Waktu bapak hanya 20 menit ya.” Wanita bertopi khusus itu berjalan keluar ruangan, ia kembali duduk di balik meja bertuliskan Petugas Jaga.

Netra coklat Harris tampak fokus mengamati dua bayi mungil yang masih terlelap, bayi itu disinari lampu neon yang Harris sendiri tak tahu fungsinya. Wajah dua bayi berjenis laki-laki itu terlihat tampan dan bersih. Hidung mancung, mata sipit dan bibir yang tipis. Tanpa sadar pria itu tersenyum bahagia, ia seakan ayah dari bayi-bayi itu. Hatinya menghangat dan terasa … tenang.

Tak mau melewatkan momen terbaik, Harris pun mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa gambar baby twins. Ia mengulanginya beberapa kali dari berbagai angle, seakan tak rela kehilangan satu momen pun dari bayi itu.

“Maaf pak, waktunya sudah habis,” tegur perawat tadi dengan senyum ramah.

Ada rasa tak rela yang memenuhi relung hati Harris kala harus berpisah dengan baby twin itu. Padahal ia tahu, tak ada hubungan apapun antara dirinya dengan baby twin itu. Harris mengangguk dan berjalan menuju pintu keluar. ia menggantung baju hijau ke tempat semula dan melangkahkan kakinya menyusuri lorong panjang nan sepi di depannya.

Di lain tempat, Anin baru saja terbangun dari tidurnya. Ia mengusap perutnya. “Rata,” ujar Anin entah senang atau sedih.

Ia memandang ke plafon rumah sakit, membayangkan kehidupannya setelah ini. Di usia yang terbilang masih muda, Anin harus menjadi seorang ibu dari dua anak sekaligus, yang lebih menyedihkan lagi ia tak tahu siapa ayah dari putranya.

Karena terlalu larut dengan bayangannya, Anin tak sadar pintu ruangannya terbuka. “Sedang melamun?” tanya Harris berdiri di samping ranjang Anin.

“Menurutmu?”

Pria itu mengedikkan bahunya acuh. Ia lantas duduk di kursi samping ranjang Anin. Tak ada yang bersuara, hanya denting jarum jam yang mengisi kekosongan ruangan berukuran 5x6 itu. “Mau melihat putramu?”

“Boleh?” sahut Anin bersemangat kala mendengar Harris menyebutkan kata putra.

“Tentu, kenapa tidak?” Mendengar jawaban Harris, Anin pun bersiap bangkit dari ranjangnya. Hingga infusnya nyaris terjatuh. “Ehh mau ke mana?” tanya Harris bingung.

“Bertemu anakku,” sahut Anin dengan wajah polosnya.

Harris tertawa melihat sikap polos Anin, berbeda dengan Anin wanita itu justru melemparkan tatapan kesal. “Bisa kau diam?" tanya”Anin yang kesal dengan sikap Harris.

Harris masih tertawa, tawa renyah yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun dan tanpa sadar sekarang ia sedang tertawa hanya karena masalah sepele. “Maaf, maaf.”

Anin masih diam di tempat menatap Harris kesal. “Oke oke, maaf.” Harris mencoba menahan tawanya. Tatapan matanya bertabrakan dengan netra hitam pekat Anin.

“Jadi?” tanya Anin memutuskan pandangannya.

“Yang aku maksud bertemu itu di sini, bukan di sana.”

Kening Anin berkerut, ia menganggap Harris hanya mempermainkannya sama seperti pria lain. “Di sini?”

Pria di depannya tak menjawab pertanyaan Anin, yang ia lakukan justru mengeluarkan gawai dari saku celananya. Tingkah Harris membuat Anin semakin yakin jika pria itu tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia hendak memunggungi Harris karena kesal dengan sikap pria itu.

“Maksudku ini,” ujar pria itu mengulurkan ponselnya, menghentikan gerakan Anin. Wanita itu menatap datar uluran tangan Haris. “Di sini, ada beberapa gambar putramu. Kamu bisa melihatnya di sini.”

Senyum dan raut ceria tercetak jelas di wajah wanita kelahiran kota Pahlawan, ia dengan senang menerima ponsel itu dan mengamati gambar yang tercetak di layar berukuran 7 inci.

Wajah ceria itu berubah menjadi sendu, ia tak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah ini, melihat wajah tenang bayinya. Anin tak menyangka jika ia sudah menjadi seorang ibu tanpa suami. Anin berulang kali menghela napas berat terlihat jelas jika wanita itu sedang menahan tangis yang siap membanjiri pipinya.

“Hei, jangan menangis. Tujuanku membuatmu senang bukan bersedih. Jika begini aku ambil saja ponselnya.” Tangan kekar Harris bergerak hendak meraih ponselnya.

Namun, Anin menggeser ponsel itu menjauhi Harris, ia tak peduli jika dicap sebagai wanita perebut hp orang ia hanya ingin melihat wajah anaknya lebih lama lagi. “Ayolah, jangan begini.”

“Aku ….”

“Sebentar sepertinya aku perlu menghubungi suamimu. Bisa kamu berikan nomor ponsel suamimu?”

Mendengar kata suami, tangis yang sedari tadi Anin jaga pun akhirnya pecah juga. “Suami?” lirih Anin di sela tangisannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Happy Ending

    Di tempat yang sama Anin juga sedang menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ia kembali bersabar untuk meresmikan hubungannya dengan Harris. “Tenang saja sayang, aku masih bersabar menantikan hari bahagia kita,” batinnya. Seakan ia mendengar suara hati Harris di kantornya.Suara Bhima mengalihkan pandangan Anin, ia tersadar ada bayi mungil yang harus diurusnya sekarang. Ternyata diapers bayi laki-laki itu penuh, dengan telaten Anin menggantinya, menghilang ruam di kaki anaknya. Setelah itu ia kembali menyusui Bhima, anaknya itu terlihat masih mengantuk.Tak hanya Bhima saja yang mengantuk, sang kakek juga merasakan yang sama. Ia hampir menabrak kendaraan lain karena tiba-tiba merasakan kantuk yang hebat. Perjalanannya menuju rumah kekasihnya terpaksa terhenti, ia harus menepi di rest area sebentar.“Aku bisa kecelakaan jika diteruskan,” gumamnya. Lelaki paruh baya itu akhirnya mencari rest area terdekat di jalan tol tersebut. Untungnya lokasi tempat peristirahatan

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Mengunjungi Teman Lama

    “Sejak kapan Ibu ada di situ?” tanya Harris yang terkejut melihat Ibunya berdiri di depan kamarnya.“Baru saja, memangnya kenapa?” tanya wanita paruh baya itu balik padanya. Harris menggelengkan kepalanya cepat. Tak percaya dengan anaknya, Nyonya Besar itu merangsek masuk. Ia hendak bertanya pada Anin. Tetapi melihat Anin yang tertidur, wanita itu lantas membatalkannya.“Ibu mau bicara dengan Anin?” tanya Harris.“Tidak, biarkan dia tidur. Kasian Anin lelah mengurus Bhima,” ujarnya. Sebenarnya Anin terbangun karena mendengar percakapan Harris dan Ibunya. Ia ingin membalikkan tubuhnya tetapi diurungkan ketika mendengar Ibu Haris tak ingin berbicara dengannya. Anin lantas berpura-pura tidur.“Ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan padaku? Maksud Harris, ada apa ibu ke kamar kami,” tanya Harris pada ibunya.“Ibu hanya ingin melihat Bhima saja, soalnya tadi dia menangis begitu kencang. Ibu takut terjadi sesuatu padanya,” jawab sang Ibu.“Bhima baik-baik saja kok Bu, terima kasih ya sudah men

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Status yang Disembunyikan

    “Benar Bu. Karena kami belum menikah secara hukum,” jawab Harris, di dalam hatinya ia merasa bingung dengan nada bicara ibunya. Namun ia tak menunjukkannya di depan Anin, lelaki itu takut moment bahagia yang sedang mereka rasakan menjadi hilang. “Ada apa Bu?”“Pernikahan akan digelar dalam waktu dekat ini?”“Tentu tidak Bu, kami akan laksanakan setelah situasinya membaik,” ujar Harris, ia kini tahu kenapa sang Ibu bersikap demikian. Harris juga sadar akan situasi yang terjadi pada orangtuanya begitu pula pada Anin.Sang Ibu menyuruh mereka untuk segera pulang karena Bhima terus menangisi mencari ibunya. Anin menjadi khawatir, ia ingin cepat-cepat bertemu dengan anaknya. Beruntungnya Anin, karena Harris tahu jalan alternatif yang lebih dekat dan tidak terkena macet. Ditambah lagi dengan kemampuan mengendarai mobil lelaki itu yang baik.Tak ada percakapan diantara keduanya selama perjalanan tersebut, Harris fokus mengemudi karena jalur yang mereka lewati berbatu dan banyak belokan. Teta

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Marry Me?

    “Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Mas?” tanya Anin, ia mencurigai Harris yang tersenyum sembari mengendarai mobilnya. “Mas ...”“Kenapa sih sayang?” tanya Harris pura-pura tak tahu.“Kamu yang kenapa, Mas? Dari tadi senyum-senyum sendiri,” jawab Anin, suara berubah. Harris merasa jik Anin sudah mulai kesal dengannya. Ia pun mencoba menjelaskan jika alasan tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya.“Kamu merasa gugup ‘kan sayang? Tanpa alasan yang jelas,” sahut Harris. Anin mengiyakan apa kata lelaki itu, ia juga sempat merasakan gugup tadi. “Aku menutupi rasa gugupku dengan memikirkan hal-hal lucu, sayang.”Tak terasa mereka sampai di tempat tujuan, Harris mencari tempat parkir yang pas. Lelaki itu turun lebih dahulu untuk membuka pintu mobil untuk Anin. Kini kedua orang di mabuk cinta itu mulai masuk ke dalam restoran yang sudah Harris booking tersebutPramusaji mengarahkan keduanya menuju sebuah ruang privat, Anin terkejut karena mereka makan di ruangan yang tertutup. “Kita makan di

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Makan Siang Special

    Anin beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju pintu. Ia penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarnya seperti itu. Tangan kurusnya memegang gagang pintu stainless tersebut lalu menariknya ke dalam. Perlahan pintu terbuka dan terlihat jelas siapa yang berdiri di depan Anin sekarang.“Ayah ...” gumam Anin, ia terkejut melihat lelaki paruh baya itu menemuinya. “Ada perlu apa ayah ke mari?” tanya Anin.“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” jawab Tuan Besar. “Kau pernah melihatku pergi dengan seseorang bukan,” imbuhnya.Degh!Anin tercekat mendengar hal tersebut, ia tak menyangka jika ayah Harris ternyata melihat dirinya menguntit mereka. Namun Anin memilih untuk berbohong, ia bepura-pura tak mengetahui hal tersebut.“Kenapa diam saja? Jawab aku!”“Anin tak mengerti maksud ayah,” ujar Anin mulai menjalankan aktingnya. Tuan Besar itu memutar bola matanya malas, ia tahu jika Anin berbohong padanya.“Jangan bohong, katakan saja sejujurnya padaku,” titahnya. Ada penekanan di setiap k

  • Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab   Menolak Bantuan

    “Mas Harris mendadak diam begini, pasti hatinya kembali sakit,” gumam Anin. Ia berniat untuk menghibur Harris lagi setelah lelaki itu keluar dari kamar mandi, Sembari menunggu Harris keluar, Anin mempersiapkan baju kerja untuknya. Pagi ini Anin akan mendadani Harris dengan pakaian serba cokelat.Tak butuh ama untuk Anin menemukan padu padan yang pas. Ia berharap lelaki yang dicintainya itu suka dengan baju pilihannya. Anin kembali lagi ke ranjangnya, ia mendengar suara shower sudah berhenti, tu artinya Harris sudah selesai mandi.“Kamu menyiapkan baju untukku, sayang?” tanya Harris.“Iya sayang, kamu tidak suka ya? Mau pakai warna lain?” ujar Anin, ia lega karena Haris melihat dan bereaksi atas baju pilihannya.“Tidak, aku suka kok. Terima kasih ya sayang,” kata Harris. Ia akan memakai apapun yang disediakan olehj perempuan yang dicintainya itu. Harris lantas beralih menuju cermin yang sangat besar, ia ingin mematsikan semua benda yang diberikan oleh Anin padanya.“Ternyata aku tampa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status