Share

Dipaksa Menikah

Harris berjalan dengan cepat ke arah Anin yang tergeletak di lantai, tangan kekarnya mengangkat tubuh kurus itu kembali ke atas ranjang. Suster memasang jarum yang terlepas di tangan kiri Anin sedang rekan suster tersebut memanggil dokter, Haris sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Anin.

“Bagaimana keadaannya, Dokter?”

“Kondisi pasien semakin lemah, kami akan memantau keadaannya lebih intens lagi. Saya harap Bapak lebih mengawasi istri Bapak agar hal serupa tak terjadi kembali,” ujar sang Dokter. Harris menganggukkan kepalanya dengan cepat.

Usai mengatakan hal tersebut, dokter dan suster keluar dari ruang rawat kelas VIP itu. Kini tinggal Harris berdua dengan wanita yang terlelap di hadapannya. Harris menatap Anin lekat-lekat, merasa familiar dengan wajah cantik wanita itu. "Mengapa aku merasa pernah bertemu denganmu?" batin Harris sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut sakit.

Perhatian Harris teralih pada ponselnya yang berdering panjang, ia segera meraih gawai yang berada di saku jas hitamnya. Sebuah nama tertera jelas di layar, sang Ayah menghubunginya namun Harris memilih untuk mengabaikannya.

Ponselnya kembali berbunyi, kali ini sang Asisten yang menelponnya. Dengan malas Harris menjawab panggilan tersebut.

“Ada apa?” tanya Harris singkat setelah benda pipih itu melekat di samping telinganya.

Maaf pak, ada masalah di bagian keuangan juga beberapa file yang hilang.”

“Bagaimana bisa ada file hilang?” ucap Harris tak habis pikir.

“Saya juga masih menyelidiki penyebabnya. Saya menduga ada oknum yang menyelundup, di perusahaan Pak.”

Pria itu dirundung kegelisahan, ia harus memilih menyelamatkan perusahaan atau tetap di rumah sakit dan menjaga Anin. Setelah terdiam beberapa saat Haris pun memutuskan untuk pergi ke perusahaannya dan menyelesaikan masalah yang ada. Terlebih ia adalah seorang ceo perusahaan keluarganya.

“Saya akan ke sana!” Dengan berat hati Harris pergi meninggalkan Anin, lelaki itu menitipkan Anin kepada para suster. Kaki jenjang pria itu melangkah lebar menuju area parkir, mobil mewah berwarna merah itu tampak mencolok dibandingkan mobil lainnya.

Harris masuk ke dalam kemudi, tak lama mobilnya melaju meninggalkan gedung bertingkat tersebut. Harris menekan pedal gasnya dalam-dalam, ia memangkas jarak tempuh yang seharusnya 30 menit menjadi sepuluh menit saja.

Setibanya di tempat parkir, Harris segera melangkah menuju lift yang terletak di sudut kanan. Jarinya menekan tombol lift berulang kali agar pintu cepat terbuka. 

“Boss,” sapa asistennya yang berjalan cepat menghampiri lelaki itu setelah keluar dari lift. Harris menangkap guratan sesal di wajah pria yang sudah bekerja dengannya selama lima tahun. 

Harris mempercepat langkahnya menuju ke ruang kerja pemilik perusahaan terkenal itu. Sang asisten hanya bisa mengekor sembari berharap tak ada sesuatu yang buruk terjadi pada kedua petinggi tersebut.

“Ayah,” panggil Harris dengan nada tinggi. Pria paruh baya itu seketika menoleh ke arah putra semata wayangnya. Netra keduanya beradu untuk beberapa saat.

“Di mana sopan santunmu? Kau senang mempermalukan ayah dan ibumu seperti tadi?”

“Aku sudah berulang kali mengatakan kalau aku tak mau menikah. Ayah tak bisa memaksaku menikah dengan wanita itu atau siapapun,” tutur Harris nada bicaranya semakin tinggi. Sang asisten yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menutup matanya.

“Kau tahu ini bukan perihal mau dan tidak mau. Ini perihal –“

“Perusahaan dan nama baik keluarga? Yang aku tahu …” Harris menjeda ucapannya, mata elangnya menatap lurus ke arah pria yang ia sapa Ayah. “Nama baik keluarga Adijaya sudah rusak sejak kehadiran wanita itu," lanjut pria itu.

“Maka dari itu menikahlah dengan Clara, hanya dengan cara itu nama keluarga ini akan kembali baik!” sahut pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu.

Harris tersenyum sinis. “Ayah tahu sendiri mengembalikan citra perusahaan saja sulit, apalagi nama baik keluarga Setya Adijaya yang jelas-jelas sudah hancur lebur. Semua itu ulah siapa? Ulah Ayah dan Ibu, bukan?”

Sebelum ada kejadian yang lebih buruk lagi di antara dirinya dan sang Ayah, Harris membalik tubuhnya ia tak mau berdebat dengan pria keras kepala yang duduk di singgasananya. Ia menatap ke arah asistennya seakan memberi kode untuk membukakan pintu.

“Berani kau melangkah dari ruangan ini maka kau bukan lagi pemimpin perusahaan ini,” ancam pria itu. Tentu saja hal itu berhasil membuat Harris kembali menatap pria paruh baya itu.

“Ayah mengancamku?” ujar Harris mendengus kesal.

“Kenapa?” tanya Tuan Setya santai. “Kau tak mau kehilangan pekerjaanmu, bukan? Nikahi Clara dan semua urusan kita selesai.”

“Aku tidak mencintainya. Aku tidak akan pernah bisa mencintai wanita itu.”

“Persetan dengan kata cinta, Harris. Kau tahu bukan, aku dan ibumu menikah tanpa ikatan cinta. Tetapi nyatanya pernikahan kami terjaga sampai sekarang dan kami bahagia.”

Harris menggelengkan kepalanya seolah tak setuju dengan perkataan pria itu. “Tentu saja kalian bahagia. Karena ayah dan ibu mencari kesenangan kalian sendiri. Sudahlah Ayah, aku lelah berdebat denganmu. Damar, cepat buka pintunya!” ujarnya sembari mengalihkan pandangannya ke arah asisten pribadinya.

Lelaki yang bernama Damar tak berani bergerak dari posisinya, ia bingung harus menuruti sang Atasan atau ayah dari atasannya yang menatap dirinya tajam.

“Damar‼” pekik Harris membuat Damar terlonjak kaget, baru kali ini bosnya bersikap demikian padanya.

“Maaf Tuan Besar, saya harus membuka pintunya,” ujar Damar sembari menundukkan kepalanya, tangannya meraih pegangan pintu lalu menariknya ke dalam, pintu terbuka lebar. Di saat yang bersamaan munculah sekretaris Tuan Setya, wanita muda itu memberitahu bahwa ada tamu yang mencari beliau.

Kesempatan itu digunakan Harris untuk segera pergi dari ruangan itu. Tuan Setya hanya bisa menatap punggung putranya kesal, tamunya datang di saat yang tak tepat.

Harris membanting pintu kaca ruang kerjanya, ia meminta Damar untuk duduk di dekatnya. Pria itu menunduk malu karena sudah tahu apa yang akan bosnya katakan padanya.

“Maaf Boss, aku hanya mengikuti perintah Tuan Besar,” katanya dengan suara pelan. Harris hanya diam saja, ia tak berniat merespon ucapan asistennya itu. Karena tak ada reaksi dari Harris, Damar menaikkan kepalanya secara perlahan. Matanya melihat sang Atasan yang terlihat memikirkan sesuatu.

“Damar, carikan aku informasi sebanyak mungkin tentang seseorang,” titah Harris.

“Siapa, Bos??

“Anindia Paramastri.” Harris menyebutkan nama yang terasa asing untuk Damar. Pria itu hendak bertanya siapa sosok wanita yang membuat bosnya menyelidiki tentang wanita itu namun, ia tak sampai hati mengutarakan isi kepalanya. Pria itu justru mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan Harris.

Di lain tempat, Anin baru saja mengerjapkan matanya, rasa pusing dan kebas mendera tubuh wanita berusia 22 tahun itu. Ia mengedarkan netranya menatap sekeliling ruangan yang didominasi dengan warna putih, ia menatap punggung tangannya yang terdapat dua jarum suntik dengan warna yang berbeda.

“Ibu sudah sadar?” sapa seorang perawat di ambang pintu kamar rawatnya. “Ibu mencari Pak Harris? Suami ibu sedang pergi ke kantor, katanya ada urusan mendadak. Ia berpesan akan segera kembali sebelum malam tiba.”

“Pak Harris? Suamiku?”

Kening wanita yang memakai seragam putih itu berkerut dan menatap Anin bingung. “Iya bu. Pak Harris suami ibu, kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status