Share

Obat Bius Anin

“Da- darah ..." ujarnya wanita yang kini terbaring lemah ketika melihat merah darah yang menembus celana hitamnya. Ditambah lagi kepalanya ikut berdenyut, ia hanya menunduk lesu, air mata menetes di pipinya.

“Kamu baik-baik saja?” 

Anin menggerakkan kepalanya ke atas, untuk melihat siapa yang bertanya padanya namun sayang, pandangannya kabur. Detik selanjutnya ia roboh, di atas tangan sang pria yang menghampirinya tadi.

***

“Suster‼” pekiknya mengalihkan pandangan setiap pengunjung rumah sakit. Mereka tak berkedip menatap pria tampan yang panik menggendong seorang wanita yang terbaring lemah tak sadarkan diri. 

Lelaki itu membaringkan tubuh anin di atas brankar lalu membantu suster mendorong ke arah ruang gawat darurat.

“Pasien akan kami tangani, silakan Bapak mengurus administrasi terlebih dahulu,” ujar seorang perawat kepada pria berjas lengkap itu.

Walaupun bingung pria itu tetap mengikuti instruksi perawat tersebut, kaki panjangnya melangkah menuju bagian administrasi. Setibanya di sana, petugas administrasi menyapa dengan ramah.

“Dengan Bapak siapa?” tanya petugas administrasi dengan tatapan terpesona.

“Harris Dananjaya,” jawabnya singkat.

“Pasien atas nama siapa, Pak?”

Harris berpikir sejenak, keningnya berkerut. Ia mencoba mencari tahu nama sosok wanita itu dari amplop coklat yang ada dalam tas wanita itu. Netra hitam pria itu menyusuri deretan kata yang tersusun di selembar kertas bertuliskan Daftar Riwayat Hidup.

“Anindia Paramestri, Sus.”

Wanita berseragam putih tersebut tampak menekan tuts keyboard. “Hubungan anda dengan pasien?”

“Sebenarnya saya itu -” Ucapan Harris terpotong karena kedatangan seorang suster dengan raut wajah panik.

“Pak, dokter harus melakukan tindakan operasi terhadap istri Bapak.”

“Tindakan Operasi?”

Tak mau membuang waktu lama, Harris segera mengikuti langkah kaki suster tersebut. Seakan ia lupa jika dirinya bukan suami dari wanita yang tengah berbadan dua tersebut, namun entah mengapa lelaki itu merasa perlu bertanggung jawab.

“Maaf Pak, istri Bapak mengalami benturan di perutnya sehingga kami terpaksa melakukan tindakan operasi untuk menyelamatkan nyawa ketiganya,” urai sang Dokter yang baru saja keluar dari ruangan IGD.

“Ti -Tiga?”

Alis dokter itu bertaut, ia tampak heran dengan respon yang Harris berikan. “Benar Pak, istri Bapak sedang mengandung dua bayi kembar. Karena kondisinya tidak stabil, maka kami harus melakukan tindakan agar nyawa istri dan –”

“Lakukan saja yang terbaik, Dokter,” timpal Harris dengan cepat.

Tak berselang lama, pintu IGD terbuka lebar, para suster membawa wanita yang tengah terbaring lemah dengan banyak selang di tubuhnya menuju ruang operasi. Harris berjalan mengekor di belakang suster dengan langkah tenang.

Harris berdiri tepat di depan pintu ruangan operasi. Sesekali ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setelah satu jam menunggu akhirnya lampu indikator operasi pun mati, tak lama seorang suster keluar ruangan menghampiri pria itu.

“Selamat Pak, istri dan kedua bayi Bapak selamat. Silakan jika Bapak ingin melihat ketiganya.”

Begitu masuk ke ruangan yang didominasi warna hijau tersebut, netra Harris langsung tertuju pada wanita yang tengah terbaring itu. Perhatiannya teralihkan begitu mendengar suara bayi yang menangis lirih.

Selagi Harris bersama dengan kedua bayi tersebut, beberapa suster mempersiapkan Anin sebelum dipindahkan ke ruang lainnya. Saat menunggu Anin akan dipindahkan ke ruang rawat, Harris meraih ponsel yang berada di saku jasnya hendak memeriksa laporan kerja bawahannya.

Belum sempat Harris membuka email yang masuk, suara roda brankar yang beradu dengan lantai ruangan tersebut membuatnya menoleh. Terlihat wajah Anin yang pucat pasi. Harris kembali mengikuti para suster itu membawa Anin masuk ke dalam lift.

“Karena kondisi pasien belum stabil, kami akan memeriksa kembali dalam satu sampai dua jam ke depan sambil menunggu pasien sadar dari obat biusnya,” terang suster itu. Harris menganggukkan kepalanya. 

Sepeninggalan suster yang merawat Anin, Harris memutuskan untuk duduk di sofa seraya menunggu Anin sadar. 

“Eungh,” lenguh Anin seraya mengerjapkan kedua bola matanya perlahan. Ia merasa kepalanya begitu berat. Setelah berhasil menyamakan sinar yang masuk, manik coklat Anin berhasil terbuka dengan jelas.

“Kamu siapa?” tanya Anin dengan suara paraunya kepada sosok pria dengan garis wajah tegas yang duduk di samping ranjangnya.

“Aku menemukanmu pingsan di pinggir jalan,” balas Harris. 

Anin teringat akan kejadian yang ia alami tadi, tangannya refleks memegang perutnya. Ia tampak panik begitu tahu bahwa perutnya sudah kembali rata. Wanita itu hendak bangun  dari kasurnya, Harris dengan sigap menahan tubuh Anin yang belum sepenuhnya pulih.

“Jangan banyak bergerak,” larang Harris. 

“Di mana anakku? Aku mau melihatnya,” ujar Anin seraya memberontak dalam dekapan pria berbadan tegap itu.

“Maaf aku mengambil keputusan secara sepihak, Dokter memintaku untuk mengambil keputusan dengan cepat.”

“Aku tak butuh penjelasanmu, yang kutanyakan di mana anakku?”

“Kedua anakmu berada di ruang NICU. Mereka terlahir prematur sehingga memerlukan perawatan khusus,” jelas Harris.

Anin menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang Harris katakan. Tanpa berpikir panjang, wanita itu mencabut selang infus di tangan kanannya dan mencoba untuk turun tetapi tubuhnya masih lemah. Wanita itu nyaris terjatuh dari ranjangnya jika saja Haris tak sigap menangkap bahu Anin.

Tak mau kejadian yang sama terulang lagi, pria berjas lengkap itu berjalan keluar untuk memanggil suster. Kepergian pria yang tak dikenalnya itu Anin gunakan untuk melarikan diri dan bertemu dengan bayinya.

Anin tersenyum senang kala ia berhasil turun dari ranjang tanpa terjatuh lagi. Namun, senyumnya harus pupus kala melihat darah segar mengalir dari punggung tangannya. wanita itu mencoba mengabaikan rasa nyeri yang mendera lengan serta perut bagian bawahnya. Ia tetap bertekad untuk bertemu dengan bayi-bayi yang ia perjuangkan selama 7 bulan itu.

Semakin Anin mencoba melangkah pandangan mata wanita itu semakin kabur, bak terdapat kunang-kunang yang menghiasi penglihatannya. Bermodalkan sebelah tangan serta pandangan mata seadanya, Anin terus berjalan seraya berpegangan pada benda disekitarnya, hingga dia melihat pintu ruangannya terbuka.

Ia melihat ada banyak orang yang berdiri di sana. Padahal kenyataannya hanya ada Haris dan dua orang perawat yang membawa suntikan. Mereka melihat ke arah Anin yang tengah memegang kepalanya dengan sebelah tangan berpegangan pada dinding rumah sakit.

Netra ketiga insan berbeda profesi itu membulat sempurna dan kompak memekikan nama Anin.

“Anin!!”

“Bu Anin!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status