Share

Langit Merah
Langit Merah
Penulis: Dina Dwi

Bab 1

Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.

Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu.

"Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan. 

Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya. 

"Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona. 

Keringat mengalir di wajahnya yang kusam, namun karena ia yang paling muda diantara lainnya. Wajahnya lebih terlihat seperti anak kecil bukan seorang remaja yang beranjak dewasa. Imut sekali jika di perhatikan lebih dekat. Vano adalah nama laki-laki itu.

"Memangnya apa untungnya dia mengejar kita?" Fiona mengernyit kebingungan. Setelah terbangun sejak beberapa menit yang lalu ia tidak bisa paham dengan keadaannya saat ini.

"Kau benar-benar tidak tahu apa pun, ya?" perempuan selain Fiona menimpali. Terdengar seperti sedang menyindir karena nada datarnya saat berkata.

Fiona mengalihkan pandangannya pada perempuan yang bernama Ema. 

Dalam hati Fiona cemberut. Aku kan lupa ingatan! Serunya dalam hati. Benar, ia lupa ingatan sejak terbangun dari tidurnya terakhir kali. Lebih tepatnya ia bangun dari pingsannya.

Tapi entah kenapa Fiona tidak berani membalas Ema secara terang-terangan. Ia merasa segan. Lagipula Ema mungkin saja tidak berniat menyindirnya, Fiona mencoba berpikir positif karena dari awal bertemu ia tidak bisa menebak Ema. 

Ema itu perempuan yang sangat pendiam.

"Sebelumnya, mutan inilah yang menyerang kami dan kau membantu kami karena kita bersama ke Sentral. Mutan Liar ini tidak sendirian, kami berhadapan dengan enam Mutan Liar lainnya." Sekali lagi Vano mengambil alih menjelaskan padaku.

"Lalu yang lainnya? Kemana keenam Mutan Liar lainnya itu?" tanya Fiona. Ia seolah mengabaikan jika sebenarnya ia tidak mengerti apa arti dari Mutan Liar.

Fiona melihat Vano mengangkat alisnya dan tersenyum, hal yang mengejutkan untuk Fiona. Vano lebih sering ketakutan kali ini tersenyum? Mau tak mau, Fiona tanpa sadar ingin membalas senyuman itu.

Kali ini ia yang ketakutan sedangkan Vano si penakut itu malah tersenyum tanpa beban.

Tapi kemudian Fiona tidak bisa tersenyum membalasnya karena mendengar jawaban dari pertanyaannya.

"Kau membunuh mereka, kau membunuh keenam teman Mutan Liar itu." jawab Vano.

Fiona membeku. Ia tidak bisa mengerti bagian mana yang membuat Vano tersenyum. Sebaliknya Fiona merasa napasnya tertahan hingga membuatnya merasa menarik napas itu terasa sulit.

"Bohong, kan?" tanya Fiona pada Vano. Ia menatap Vano dengan tatapan tidak percaya.

"Eh?" senyum di wajah Vano digantikan raut bingung. Reaksi Fiona yang seperti itu yang jadi penyebabnya.

"Aku membunuh?" gumam Fiona dengan rasa terkejutnya yang kentara.

Vano dan Ema saling berpandangan. 

Ema sekali lagi kembali menatap Fiona yang kini tengah menunduk dan akhirnya sadar. Sadar bahwa Fiona mendengar jawaban yang tidak menyenangkan. Mungkinkah Fiona merasa tertekan karena sudah pernah membunuh? Fiona tampak terguncang mentalnya.

"Yah, jika kau tidak melakukannya mungkin kita semua tidak akan berada di sini." Ema menarik perhatian Fiona.

Benar, Fiona terguncang. Wajahnya bahkan memucat dan terlihat mirip dengan ekspresi Vano saat ketakutan bahkan mungkin lebih parah.

"Karena Ter itu kuat dan Morgan itu pintar, mereka pasti bisa mengalahkan yang satu ini." Vano menimpali. Ia menyebut nama dua orang laki-laki yang sebelumnya mereka tinggalkan.

Ema memutar bola matanya mendengar itu. Vano tidak peka dengan apa yang terjadi pada mental Fiona.

"Hm, membunuh Mutan Liar adalah hal yang perlu dilakukan saat diincar oleh mereka. Itu untuk bertahan hidup. Berhadapan dengan mereka, katakanlah kau membunuh atau terbunuh." Ema berkata lagi. Berniat meredakan rasa tertekan Fiona. 

Meski sebenarnya nada suara yang datar dari mulutnya itu sama sekali tidak membantu.

"Apa, apa itu hal yang wajar?" Fiona bersuara. Ia bertanya dengan panik, suara bergetar.

Ema mengangkat sebelah alisnya, "Tergantung dari dirimu sendiri, tergantung menurutmu seperti apa. Kau menyamakan bertahan hidup dari Mutan Liar ini sama seperti kebutuhan makan untuk bertahan hidup, itu terserah kau. Makan itu hal yang wajar, bukan?"

Fiona terdiam. Dirinya merenungkan perkataan Ema. Apa membunuh itu sama dengan mencari makan?

Fiona mengerutkan keningnya dengan wajah yang masih tertekan. Ia bergumam pelan, "Mungkin memang sama. Mungkin ini sama seperti mengalahkan binatang buas yang menyerang kita saat berada di hutan lebat untuk mencari makanan. Entah binatang itu tengah mencari makan juga atau tidak." 

Gumaman Fiona terdengar tidak jelas dan sulit dipahami. Tapi Ema paham apa yang ingin Fiona katakan itu. Sepertinya Fiona mulai mengerti situasinya, meski Ema merasa itu terlalu cepat. Apa lagi Fiona itu lupa ingatan sejak terbangun dari pingsannya.

Ema lagi-lagi mengangkat alisnya, "Kau bisa tahu tentang itu seolah pernah mengalaminya. Tidak, meski kau pernah mengalaminya, tapi saat ini kau 'kan lupa ingatan?"

Ah, yang dikatakan Ema memang benar-benar. Fiona bahkan kaget saat menyadari ini. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu seolah masih mengingat informasi tentang hidup mahluk hidup. Ia juga bahkan merasa membunuh itu salah bagi manusia. Bagaimana bisa?

Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Fiona menatap Ema, masih ada yang mengganjal pikirannya.

"Mereka juga mahluk hidup yang sama dengan kita, tetap saja membunuh mereka itu terasa salah. Apa benar itu tidak apa-apa?"

Menurut Fiona, mereka sama-sama manusia. Atau boleh dikatakan mereka sama-sama mutan?

"Memang. Memang mereka mahluk yang dulunya sama dengan kita. Tapi tahukah Fiona? mereka yang mencapai usia tertentu akan kehilangan pikiran dan hati mereka. Mereka berubah menjadi mahluk layaknya binatang buas. Bahkan mereka tidak bisa merasa kenyang bahkan setelah memakan lawannya." 

Ema memberi tahu hal yang lebih mengejutkan lagi bagi Fiona. Entah kenapa terdengar menyeramkan di telinga Fiona.

"Kau tadi tidak mengatakan mereka akan memakan mangsanya, maksudku lawannya." Fiona berkata, lagi-lagi dengan rasa tidak percaya karena terkejut.

"Kan, sudah ku katakan. Mereka seperti binatang yang memburu mangsanya. Itu bukan hanya sekedar kata penggambaran. Karena kenyataannya memang seperti itu." Ema masih bersabar menjelaskan pada Fiona karena ia mengerti keadaan Fiona bukanlah amnesia tipuan.

Lagi pula jika itu tipuan, Fiona tidak akan mungkin mereka tinggalkan karena seperti yang sebelumnya dikatakan Vano, Fiona pernah menyelamatkan nyawa mereka.

Fiona masih belum memperbaiki ekspresi ekspresi wajahnya. Ia masih shock.

Jadi kata-kata itu berarti yang sebenarnya. 

Mereka bagai binatang yang memburu mangsanya lalu memakannya belum lagi mereka memakan sesamanya. Bahkan lebih mengerikan lagi dari binatang kanibal, mereka bahkan tidak pernah merasa kenyang. 

"Jadi, kau sudah merasa lebih paham atau malah sebaliknya?" tanya Ema.

Fiona tidak tahu harus menjawab apa, "Aku tidak tahu," gumamnya pelan sekali. 

Ema tidak bertanya lagi dan pembicaraan mereka berhenti sampai disitu. Sedangkan Vano sudah terlelap entah sejak kapan. Laki-laki itu tertidur sambil bersandarkan di dinding ruangan.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status