Share

Bab 2

Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka.

“Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. 

“Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka.

“Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang.

“Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara.

“Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh besar, kekar, dan berotot.

“Karena itu, kalian seharusnya membiarkannya beristirahat.” Si mata abu-abu, satu-satunya yang mungkin sedikit bersabar, berbeda dengan yang lainnya.

“Kami cuma khawatir, apa itu salah?” tanya si rambut pirang pucat. 

Gadis yang awalnya tidak sadarkan diri itu akhirnya membuka matanya. Fiona, seperti yang sebelumnya disebut, nama gadis itu, ia berkedip beberapa kali sebelum mengerutkan alisnya karena berusaha memfokuskan penglihatannya didalam ruangan. Ia juga berusaha memfungsikan seluruh anggota gerak di tubuhnya.

“Akhirnya dia sadar,” Fiona memperhatikan beberapa orang yang berada didekatnya, dan diabalas mereka dengan balik memperhatikan dirinya juga.

“Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?” tanya pemuda bertubuh kekar.

Fiona masih setia mengerutkan alisnya meski matanya sudah berhasil melihat dengan baik. Ia gagal memahami sesuatu.

“Kalian..” Fiona mulai bersuara, menyuarakan pertanyaan yang muncul sejak ia membuka mata.

“..Siapa?”

“Eh?” respon si tubuh besar.

“Apa?” respon si rambut pirang.

“He?” respon si mata abu-abu.

“Ha?” respon si gadis datar.

Reaksi keempat orang yang memperhatikan Fiona jelas menampilkan kekagetan. Semuanya bingung meski dengan kadar yang berbeda-beda.

Sejak Fiona sadar dan tidak bisa mengingat, entah kenapa perasaan itu baginya terasa seperti pernah terjadi sebelumnya. Sensasi yang terasa familier. Ia merasa lupa ingatan bukan hanya kali ini saja terjadi. Dan bukan hanya itu saja, ini juga rasanya sering terjadi berkali-kali. 

“Kau lupa? Kami orang yang kau selamatkan,” jawab satu-satunya gadis diantara empat orang itu yang berada didekat Fiona. Alisnya terangkat.

Jawaban itu bukannya membuat Fiona paham, ia justru semakin memperdalam kerutan di wajahnya karena tidak mengerti. Ia merasa kehilangan banyak hal, tapi apa?

“Selamatkan? Aku, aku menyelamatkan kalian?” tanya Fiona bingung.

“Sepertinya dia benar-benar lupa,” pemuda kekar yang memiliki tubuh paling besar berbicara sambil memandang ketiga temannya yang lain. Mengalihkan perhatian semuanya dari Fiona.

“Apa karena serangan sebelumnya?” tanya si pemuda yang memiliki kilauan silver dimatanya, ia membalas pandangan pemuda besar tadi.

“Tidak mungkin. Karena menyelamatkan kita dia kehilangan ingatannya?” Pemuda pirang yang berambut paling cerah terlihat ketakutan.

Sedangkan si gadis tidak menimpali dan hanya memperhatikan saja.

“Tunggu,” Fiona menarik kembali perhatian keempat orang tadi.

“Aku, siapa?” tanyanya menghentikan pembicaraan tentang dirinya, yang mana ia tidak tahu identitas atau jati diri dari dirinya sendiri. Hanya mendengar dari pembicaraan tadi, ia merasa belum cukup kecuali menanyakannya langsung pada mereka. Mungkin mereka adalah temannya?

“Ya, dia benar-benar hilang ingatan.” Pemuda yang berambut pirang terlihat makin gelisah setelah mendengar kalimat itu keluar dari perempuan yang memiliki raut wajah datar.

“Yang benar saja, padahal kita belum lama berkenalan dan langsung dilupakan.” Fiona memandang sang pembicara. Ia sedikit tidak nyaman mendengar kalimat halus namun menyindir dari pemuda bermata abu-abu. Pemuda itu berbicara dengan sangat pelan hampir seperti bergumam.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya pemuda bertubuh besar, sekali lagi mengambil perhatian semuanya.

Mereka diam sejenak seolah berpikir. Namun tak lama, pemuda kekar yang baru saja bertanya kembali bersuara. Tapi kali ini terdengar berbeda di telinga Fiona. Padahal suaranya tetap sama.

“Kenapa harus bingung? Dia lupa ingatan, kita bisa melakukan apa? Tinggalkan saja.”

“Apa?” Meski suaranya tetap sama, Fiona benar-benar terkejut mendengar cara bicara pemuda itu berbeda sekali dengan sebelumnya. Pemuda itu seperti berubah menjadi orang lain.

Fiona melihat pemuda itu mengangkat bahu seolah tidak peduli lalu hendak bangkit dan menjauh. Hal itu semakin membuat Fiona tidak tenang, seperti anak yang diabaikan ibunya, ia tidak mau. 

“Hei, tidak bisa begitu. Bagaimana pun, dia jadi seperti ini karena kita. Kita tidak bisa meninggalkannya. Kau bisa-bisanya tidak bertanggung jawab.” Pemuda bermata abu-abu menahan pemuda besar itu yang mau pergi. 

Perasaan Fiona yang awalnya tidak nyaman pada pemuda bermata kelabu itu berkurang karena tindakan pemuda itu yang mencegah temannya menjauh. 

Ia merasa seperti sedang dibela olehnya dan memang kenyataan ia memang sedang dibantu.

“Morgan benar. Apa yang akan terjadi padanya nanti, jika kita meninggalkannya dalam kondisinya yang seperti ini?” tanya pemuda berambut pirang. 

Dalam hati Fiona menyetujui mereka, si rambut pirang dan si mata kelabu, karena ia tidak mengerti apa-apa. Bertambah lagi orang yang membelanya, walau kenyataannya pemuda berambut pirang itu sedang membela temannya yang bernama Morgan.

“Aku juga setuju, Ter. Lagipula jika kau tidak muncul sekarang, Gar pasti tidak mungkin meninggalkannya. Gar lebih ramah daripada dirimu.” Si gadis datar menyuarakan pendapat. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. 

Tapi temannya, orang yang dipanggil Ter, memasang wajah marah saat gadis itu bersuara.

“Dan aku yakin, kau membuat kesan yang buruk pada Fiona. Kasihan sekali Gar.” Pemuda bermata abu-abu, yang Fiona yakini bernama Morgan kembali menimpali.

Dari pembicaraan tadi, Fiona tahu pemuda bertubuh besar tadi dipanggil dengan nama Ter, tapi siapa Gar?

Ter mendengus, “Aku tidak peduli. Pendapatnya tidak penting.”

Fiona menyipitkan matanya, merasa tidak senang dengan sikap Ter.

Pemuda berambut pirang, yang belum diketahui namanya oleh Fiona terlihat cemberut. Sedangkan teman perempuannya menggelengkan kepalanya. Lalu Morgan hanya diam perkataannya dibalas, ia kemudian berpaling pada Fiona. 

Sejenak, Fiona merasa kagum dengan mata kelabu terang milik Morgan, entah kenapa terasa menenangkan dan di saat bersamaan menimbulkan perasaan rindu secara tiba-tiba.

“Dan kau Ema, walaupun aku orang yang tidak ramah, kau tidak lebih baik. Aku tidak pernah bertemu orang yang lebih dingin dan datar daripada dirimu.” Ter membalas perkataan si gadis datar yang sebelumnya. 

Perkataan itu membuat Fiona dan Morgan yang saling menatap hanya beberapa detik saja dan kembali melihat ke arah mereka. Morgan menunda bicaranya pada Fiona.

Kemudian Fiona dan Morgan melihat  Ema dan Ter saling melempar tatapan benci untuk memperlihatkan ketidaksukaan mereka pada satu sama lain.

***** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status