Share

Bab 4

Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang.

Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut.

Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. 

Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering takut.

Ema, gadis dingin tapi Ter masih lebih tidak ramah lagi darinya. Menurut Fiona, Ema hanya pendiam, dan semoga tidak kasar seperti Ter. Sebutan Pendiam yang Dingin dari Morgan memang cocok. Ema punya mata hijau dan rambut pirang keemasan, tipe gadis cantik bagi FIona. 

Fiona sampai iri melihatnya karena kagum, tapi tidak menyamai kagumnya saat melihat mata kelabu Morgan. Sama seperti Morgan, kecantikan Ema tidak tertutupi meski wajahnya dipenuhi debu dan keringat. Fiona berpikir betapa cantik dan tampannya dua orang itu jika dalam keadaan bersih.

Terakhir Garter, pemuda misterius berkepribadian ganda. Memiliki rambut cokelat gelap seperti Fiona. Matanya juga hijau hampir sama seperti milik Ema, hanya saja warna mata Ema lebih terang dari milik Garter. 

Jika dibandingkan, mata Ema bagaikan daun yang masih muda, lalu Garter bagaikan daun yang sudah tua. Fiona hampir tersedak karena perbandingan yang dilakukan otaknya tentang mata Ema dan Garter, perbandingan yang buruk. Ia tanpa sadar memikirkan umur Garter yang memang terlihat lebih tua dari fisiknya. 

“Oh, iya. Umurku, apa kalian tidak tahu?” tanyanya setelah tanpa sadar berpikir tentang usia.

“Tidak tahu,” jawab Morgan. Vano terlihat menggelengkan kepalanya, jawaban yang sama seperti Morgan.

Fiona hampir cemberut hingga akhirnya Ema menimpali, “Enam belas tahun.” Fiona spontan fokus pada Ema.

“Benarkah?” tanya Fiona memastikan dengan antusias. Benar-benar tidak menyangka Ema mengetahui umurnya.

“Kau yang memberi tahu sebelumnya. Kau bertanya berapa umurku. Aku jawab enam belas tahun, lalu kau membalas, kita sama.” Ema menjawab dengan datar tapi Fiona tidak keberatan sama sekali, mungkin karena Ema bisa memberi tahu berapa umurnya hingga Fiona merasa senang.

Ia mengangguk-angguk tanda mengerti. Jadi hanya Ema yang tahu umurnya dan karena sesuatu Ema tidak memberitahu yang lain. Mengingat sikap Ema, Fiona tahu alasannya. Mungkin Ema memang pendiam.

“Lalu umur kalian?” Fiona memutuskan bertanya pada Morgan dan Vano.

“Aku tujuh belas tahun, setahun lebih tua darimu. Jadi jangan berani tidak sopan padaku. Apalagi kau seperti bayi yang tidak tahu apa-apa.” Bibir Morgan menampakan seringai.

Fiona berkedip, sekali. Lalu dua kali. Morgan terlihat seperti pemuda nakal yang sedang menggoda. Tapi Fiona tahu Morgan sedang menghinanya. Ia geram dan hendak membalas. 

Wajah tampan Morgan tidak akan menghalangi Fiona untuk marah, ia bahkan ingin merusak wajah tampan menjengkelkan itu. Terkecuali matanya, Fiona akan menyisakan mata kelabunya saja. 

Lalu ia terhenti, keinginannya terpaksa tidak terkabul, bukan karena ia sadar baru saja 

diberi peringatan oleh Morgan tadi. Ia tidak peduli tentang itu. Ia terhenti karena Vano bersuara.

“Fiona? Kau kenapa?” tanya Vano dengan gelisah. 

Ah, dia mulai ketakutan lagi. Vano memang berlebihan sekali, seolah menganggap dirinya seperti monster. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, marah pada Morgan tidak akan membuat ingatannya kembali.

Fiona menatap Vano dengan muram, membuat Vano gelisah. Lalu Fiona menghela napas sebelum melempar tatapan datar pada Morgan sekilas, ia kembali menatap Vano. 

Sepertinya mereka sadar ia akan marah, tapi Morgan terlihat antusias, sedangkan Ema tidak peduli. Vano, tentu saja ketakutan.

“Vano, bagaimana denganmu? berapa umurmu?” tanyanya dengan senyum kecil mencoba menekan kekesalannya dan menenangkan Vano. Ia melanjutkan bertanya tentang umur Vano dibanding menjawab pertanyaan Vano.

“Aku lima belas tahun,” jawab Vano.

“Kalau Garter?” tanyanya lagi.

“Sama dengan Morgan, tujuh belas tahun.” 

Fiona terdiam, dugaannya benar tentang Vano yang paling muda diantara mereka meski selisihnya tidak besar. Tapi ia tidak menyangka Garter seumuran dengan Morgan, Garter terlihat lebih tua dari usianya.

Dan selanjutnya Fiona melamun.

 “Morgan, jangan lakukan itu lagi.” 

Fiona diam mendengarkan Vano tiba-tiba mengajak Morgan berbicara setelah satu menit yang sunyi. Fiona memang sudah tidak menyahut lagi, ia tidak tahu harus berkata apa lagi dan duduk dalam diam.

“Apa?” tanya Morgan. Raut mukanya tidak terlihat terganggu atau marah, dan suaranya juga lembut, tapi di telinga Fiona, nada yang disuarakan tidak ramah sama sekali.

“Kalau terjadi sesuatu karena Fiona marah bagaimana?” tanya Vano yang disadari Fiona belum menghilangkan wajah ketakutannya dari tadi.

Fiona ingin bertanya tapi diambil alih oleh Morgan, “He? Kau takut apa?” Morgan balik bertanya dan meremehkan Vano. Pertanyaan yang sama yang ingin Fiona tanyakan, tapi setidaknya Fiona tidak berniat meremehkan Vano.

“Kau tadi hampir membuatnya marah, meski dia lupa ingatan. Kemungkinan dia murka lalu menyerang itu bisa saja terjadi,” ungkap Vano.

Fiona menganga, Vano terlalu berlebihan, dia benar-benar menganggap Fiona seperti monster. Bagaimana caranya menyerang Morgan? Apa itu berarti menyerang dengan berdebat? Serangan dengan mulut? 

Ia baru memikirkan cara membalas kemarahannya yang ternyata tidak bisa dengan fisiknya, Morgan jelas bisa menghindar pukulannya. Untungnya Fiona batal membalas Morgan, itu hanya membuatnya membuang tenaga dengan sia-sia.

Tapi Fiona sadar, Ema yang tadi duduk bersandar dan menunduk langsung mengangkat kepalanya. Morgan juga yang awalnya santai berubah tegang. Mereka seolah tersadar sesuatu.

“Kau berlebihan Vano, memangnya apa yang bisa aku lakukan?” tanya Fiona, mengungkap isi pikirannya.

Tidak disangka Vano menjawab dengan tampang serius bercampur takut, “Kau bisa membunuh orang dengan mudah. Dan kami berhutang budi padamu, tapi kami tidak bisa diam saja jika kau menyerang kami.”

“Apa?” ia tidak mengerti. 

Tiba-tiba ia teringat saat membuka mata pertama kali, Ema juga menyebutkan bahwa ia sudah menyelamatkan mereka. 

Rencananya ia ingin bertanya bagaimana caranya ia menyelamatkan mereka. Tapi setelah diberi tahu informasi tentang dirinya, ia lupa dan fokus pada pembicaraab, ia juga berpikir mereka akan menjelaskan sendiri bagaimana ia bisa tidak sadarkan diri sebelumnya. 

Berpikir jika mereka akan menceritakan bagaimana mereka bertemu dengannya.

Sepertinya sekarang ia harus menanyakannya dengan jelas lagi, “Bagaimana, bagaimana ceritanya saat aku bertemu dengan kalian?” Fiona menatap Vano, Morgan dan Ema. Tentu saja tanpa Garter.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status