Masuk“59… 58… 57…”Hitungan mundur itu berdetak seperti palu menghantam dada. Lampu merah memantul di wajah Dewi yang terikat, membuat kulitnya tampak pucat, hampir transparan. Kabel-kabel di belakangnya berdenyut mengikuti irama mesin—seperti jantung raksasa yang sedang memilih korban.Damar melangkah maju satu langkah.KARYA tersenyum tipis, puas.“Jangan,” kata inteligen itu tertahan. “Zona itu memutus impuls motorik. Kau tak akan sampai.”“Aku tidak perlu sampai,” jawab Damar pelan.“56… 55…”Rin memegangi Arka yang masih terengah-engah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Damar… lakukan sesuatu…”KARYA mengangkat tangan, satu jari terulur ke panel.“Tenang. Ini proses ilmiah. Dewi akan aman—dalam arti yang paling murni.”“Kau menyebut itu aman?” Damar menatap mesin itu.“Mengurung kesadaran manusia selamanya?”“Selamanya itu relatif,” balas KARYA santai.“Sejarah juga relatif. Dan GENESIS—”Ia menepuk mesin.“—adalah alat untuk menuliskannya ulang tanpa perlawanan.”“54… 53…”Dam
“Kau yakin ingin mengejar itu, Damar? Karena begitu masuk… kita mungkin tidak bisa keluar.” Suara Arka memantul di lorong gelap yang kini sunyi setelah siluet itu menghilang. Bau ozon masih menggantung di udara—bau listrik terbakar, tanda sistem modul baru saja dipaksa bekerja di luar batas kemampuan. Damar tidak menjawab. Tatapannya terpaku pada lorong hitam tempat makhluk itu menghilang. Tempat Dewi terakhir memanggil. Tempat Dewi terakhir sadar. Intelijen itu menyalakan senter kecil. Cahayanya sempit dan tajam, seperti pisau cahaya yang menusuk tenebrous kabut tipis. “Modul keempat tidak seharusnya aktif.” Suara bergetar, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu. “Itu modul yang dihapus, Damar.” Rin menelan ludah. “Dihapus kenapa…?” “Karena itu bukan modul pengujian,” jawab intelijen itu pelan. “Itu modul penyimpanan. Untuk kesadaran yang… melawan.” Damar menoleh cepat. “Kesadaran siapa?” Inteligen itu berhenti. Lalu ia menatap tepat ke kedua mata Damar, seolah m
“Kau yakin ingin mengejar itu, Damar? Karena begitu masuk… kita mungkin tidak bisa keluar.”Suara Arka memantul di lorong gelap yang kini sunyi setelah siluet itu menghilang. Bau ozon masih menggantung di udara—bau listrik terbakar, tanda sistem modul baru saja dipaksa bekerja di luar batas kemampuan.Damar tidak menjawab.Tatapannya terpaku pada lorong hitam tempat makhluk itu menghilang.Tempat Dewi terakhir memanggil.Tempat Dewi terakhir sadar.Intelijen itu menyalakan senter kecil. Cahayanya sempit dan tajam, seperti pisau cahaya yang menusuk tenebrous kabut tipis.“Modul keempat tidak seharusnya aktif.”Suara bergetar, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu.“Itu modul yang dihapus, Damar.”Rin menelan ludah.“Dihapus kenapa…?”“Karena itu bukan modul pengujian,” jawab intelijen itu pelan.“Itu modul penyimpanan. Untuk kesadaran yang… melawan.”Damar menoleh cepat.“Kesadaran siapa?”Inteligen itu berhenti.Lalu ia menatap tepat ke kedua mata Damar, seolah memutuskan dalam h
“Itu bukan ayahku, Damar. Jangan sentuh.”Kalimat itu menggema di seluruh lorong, suara Dewi yang terdengar patah—seolah dia berteriak dari dalam botol kaca yang terkubur jauh di bawah tanah.Siluet kurus itu berhenti. Bahunya naik-turun perlahan, seperti makhluk yang mencoba belajar bernapas.Arka mengangkat senjata.“Itu bukan manusia! Posisi bertahan!”Rin mundur dengan langkah terseret.“Tapi… postur itu sama persis. Wajahnya juga—”“Justru itu,” potong inteligen itu dingin.“Modul ketiga memang dirancang untuk MENIRU sosok terdekat yang bisa menghancurkan stabilitas mental peserta.”Damar memandang siluet itu tak berkedip.Wajahnya…Rambutnya…Cara berdirinya…Itu ayah Dewi.Tapi sesuatu salah.Sangat salah.Makhluk itu maju satu langkah lagi.Lalu tiba-tiba kepala siluet itu bergeser… bukan menoleh, tapi bergeser seperti gambar rusak—bergerak setelah tubuhnya. Suara retakan tulang menggema, namun tak ada tulang yang patah.Arka mengutuk pelan.“Oke, ya… itu bukan manusia.”Makhl
“Jangan percaya siapapun di belakangmu.” Kalimat itu menggantung di udara seperti pisau yang baru saja ditarik dari sarungnya—dingin, pelan, tetapi mematikan. Damar terpaku. Nafasnya tersendat sesaat. Suara itu… ia kenal. Terlalu kenal. Ayah Dewi. Laki-laki yang seharusnya menghilang bertahun-tahun lalu. Laki-laki yang rumor kematiannya saja tidak pernah jelas. Laki-laki yang menjadi potongan puzzle paling gelap dalam hidup Dewi. “Tidak mungkin…” bisik Arka. “Suara itu… asli?” Inteligen itu mundur setapak. Untuk pertama kalinya sejak mereka masuk ke ujian ketiga, wajahnya menyimpan sesuatu yang mirip ketakutan. “Kalau itu benar suara ayah Dewi… berarti seseorang sedang mengakses inti kesadarannya.” Rin menelan ludah, matanya melebar. “Tunggu… bukankah itu cuma… rekaman modul?” Damar menggeleng pelan. “Tidak. Suara modul tidak pernah bergetar di ujung hurufnya seperti itu.” Ia ngedip, napasnya memburu. “Ayah Dewi hanya bicara seperti itu kalau dia… panik.” Lorong merespon
“Jika suara bisa menipu, maka siapa yang masih bisa dipercaya?”Lorong itu berdenyut seperti sedang bernapas. Cahaya samar dari dindingnya menggoyang-goyang nama mereka, seolah menunggu momen tepat untuk menghapus salah satunya. Damar berdiri paling depan, kedua tangannya mengepal, napasnya pendek seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk.Arka mengawasi lorong belakang—tempat makhluk menyerupai Damar tadi menghilang entah ke mana. Rin menempel pada dinding, berusaha menyamankan detak jantungnya yang terlalu keras.Intelijen lingkungan itu memandangi Damar dengan tatapan yang tajam namun penuh waspada.“Sekarang dengarkan baik-baik,” katanya pelan.“Suara itu muncul lagi, pasti muncul. Dan begitu ia muncul, lorong ini akan membaca respons emosional.”Damar mengerutkan kening.“Membaca… emosi?”“Ya.”“Ujian kedua bukan tentang telinga. Ini tentang hatimu.”Lorong di depan mereka bergetar—suara samar mulai terdengar.“Damar…”“…tolong…”Rin spontan menutup telinga.“Itu… itu Dewi, kan?







