Home / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 8 – Buruan di Negeri Asing

Share

Bab 8 – Buruan di Negeri Asing

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-09-08 18:42:35

“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.”

Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir.

“Pegangan erat!” teriak Ji-hoon.

Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat.

“Siapa mereka?!” desis Dewi panik.

“Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat.

Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya.

Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang.

“Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seoul akan jadi kuburan kita malam ini.”

Beberapa menit kemudian, Ji-hoon membelokkan mobil ke sebuah terowongan servis yang gelap. Mobil hitam sempat ragu, lalu melaju lurus melewati jalur utama.

Hening. Hanya suara napas berat mereka berdua.

“Sudah aman?” bisik Dewi.

Ji-hoon menggeleng. “Belum. Mereka pasti tahu kita masih di sekitar sini. Kita harus pindah tempat.”

Ia mematikan mesin, lalu menatap Dewi dengan serius. “Ada safehouse di distrik Mapo. Tapi kalau kau ikut, berarti kau resmi masuk ke jaringan bawah tanah ini. Tidak ada jalan kembali.”

Dewi menelan ludah. “Aku sudah masuk sejak aku menemukan busur Ayah.”

Safehouse itu hanyalah apartemen sempit di lantai empat sebuah bangunan tua. Lampunya redup, dindingnya penuh peta dan foto wajah orang-orang asing.

Dewi duduk di kursi reyot, tangannya gemetar. “Jadi… selama ini Ayah berhubungan denganmu di Korea?”

Ji-hoon menatap layar laptop, jari-jarinya cepat mengetik. “Bukan hanya denganku. Ayahmu bagian dari jaringan global. Tapi dia orang Batu Taba—dan itu membuatnya unik. Ada sesuatu di sana yang bahkan organisasi ini tak bisa dikendalikan.”

Dewi terdiam. Batu Taba. Kampung kecilnya. Mengapa nama itu kembali muncul di tengah kota asing ini?

Tiba-tiba layar laptop Ji-hoon berubah. Notifikasi merah muncul dengan suara nyaring.

“PERINGATAN: TARGET BARU.”

Nama itu terpampang jelas di layar:

DEWI RAHMAN – TANGKAP HIDUP-HIDUP.

Dewi menegang, tubuhnya kaku. “Itu… namaku.”

Ji-hoon memukul meja. “Sial! Mereka sudah tahu posisi kita. Seseorang di dalam safehouse ini mengkhianati.”

Pintu apartemen berderit.

Langkah kaki berat mendekat.

Dewi menggenggam busurnya erat. Ji-hoon mengangkat pistol.

Lalu suara berat terdengar dari balik pintu:

“Buka. Atau kami dobrak sekarang.”

Dewi dan Ji-hoon saling tatap, napas mereka tercekat.

Pintu mulai digedor keras, dan Dewi sadar—pengkhianat bukan di luar sana, tapi mungkin duduk di ruangan yang sama bersamanya.

Pintu apartemen berguncang keras. Suara dentuman sepatu di koridor kian mendekat.

“Ji-hoon…” bisik Dewi, suaranya nyaris tak terdengar. “Berapa lama sebelum pintu itu jebol?”

“Kurang dari satu menit.” Ji-hoon bergerak cepat, menyalakan mode senyap di laptopnya lalu meraih tas hitam di bawah meja. Ia membuka resleting, memperlihatkan senjata, peralatan kecil, dan beberapa paspor palsu.

Dewi menelan ludah. “Kau benar-benar sudah mempersiapkan ini?”

“Di dunia ini, hanya orang bodoh yang tidak menyiapkan jalan keluar,” balas Ji-hoon cepat. Ia menoleh tajam padanya. “Kau siap?”

Belum sempat Dewi menjawab, suara gedoran makin keras. Seseorang di luar berteriak dengan bahasa Korea kasar.

“Kalau pintu itu terbuka, kita selesai.” Ji-hoon meraih pistol, lalu menatap Dewi. “Kau ambil jalur ventilasi. Aku tahan mereka.”

“Tidak!” Dewi memprotes, matanya melebar. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”

“Ini bukan soal pilihan,” Ji-hoon mendesis. “Ayahmu pernah lakukan hal sama padaku. Sekarang giliran aku.”

Detik itu juga, terdengar suara logam patah. Gembok pintu terkunci terhempas ke lantai.

Dewi refleks mengangkat busurnya. Ji-hoon bersiap menembak.

Pintu pun terbuka perlahan.

Tapi bukan musuh yang muncul lebih dulu—melainkan seorang pria kurus dengan topi usang. Nafasnya ngos-ngosan, wajahnya panik.

“Ji-hoon! Mereka sudah di bawah!” teriaknya.

Ji-hoon menajamkan mata. “Park… bagaimana kau bisa tahu?”

Pria bernama Park itu menutup pintu lagi dengan cepat. “Aku lihat mobil hitam di depan gedung. Mereka bawa empat orang, lengkap bersenjata. Kalau kalian tetap di sini, kalian mati.”

Dewi menatap tajam. “Kenapa aku harus percaya padamu?”

Park menoleh, matanya penuh ketakutan. “Karena aku juga diburu. Dan kalau kalian jatuh, aku pasti ikut jatuh.”

Ji-hoon menggertakkan gigi, lalu menarik Dewi ke sudut ruangan. “Kita tak punya waktu berdebat. Jalan satu-satunya: keluar lewat atap.”

Tangga besi di dalam gedung tua itu berderit saat mereka bertiga berlari ke atas. Nafas Dewi memburu, kakinya gemetar, tapi ia terus menggenggam busurnya.

Di bawah, suara sepatu semakin riuh. Mereka sudah menembus lantai dua.

“Cepat!” Ji-hoon mendorong pintu menuju atap. Angin malam Seoul menerpa wajah mereka, dingin menusuk. Lampu kota berkedip sejauh mata memandang.

Park menunjuk gedung di seberang. “Ada jembatan servis kecil. Kita bisa lompat ke sana.”

Dewi menelan ludah. “Itu… terlalu jauh.”

“Kalau kau tidak lompat, kau mati ditembak.” Ji-hoon menatapnya keras. “Pilih sekarang, Dewi!”

Dewi memandang sekeliling. Suara sepatu terdengar semakin dekat. Dari balik pintu atap, bayangan senjata mulai muncul.

Ia mengepalkan tangan. “Baik. Kita lompat.”

Ji-hoon maju lebih dulu. Tubuhnya melayang singkat lalu mendarat dengan keras di atap seberang. Park menyusul, hampir terpeleset, tapi berhasil meraih besi pengaman.

Kini giliran Dewi.

Dadanya berdegup kencang. Kakinya gemetar. Tapi ia tahu, tak ada jalan kembali. Dengan busur di punggung, ia berlari kencang lalu melompat.

Udara malam menyapu tubuhnya.

Satu detik terasa seperti selamanya.

Tangannya meraih tepian atap seberang. Jemarinya nyaris tergelincir, tapi Ji-hoon segera menarik tangannya.

“Tarik napas! Aku pegang kau!”

Dengan sisa tenaga, Dewi berhasil naik. Ia jatuh terduduk, nafasnya tersengal, jantungnya berdegup seperti ingin meledak.

Namun belum sempat mereka lega, suara tembakan terdengar dari belakang. Peluru memercikkan beton hanya beberapa senti dari kepala Dewi.

“Mereka sudah di atap!” Park berteriak panik.

Ji-hoon menarik Dewi berdiri. “Kita harus terus bergerak. Kalau berhenti, selesai sudah.”

Lampu sorot helikopter menyapu atap, menyilaukan mata Dewi. Suara dari pengeras menggema lagi:

“DEWI RAHMAN! BERHENTI DI TEMPAT!”

Dewi menahan napas, busur di tangannya bergetar. Ji-hoon sudah menarik pistolnya, Park terlihat panik setengah mati.

Angin baling-baling menghempas keras, membuat tubuh Dewi hampir terhuyung.

Dan tepat saat ia hendak mundur selangkah… sebuah peluru menancap di lantai beton, hanya sejengkal dari kakinya.

Ji-hoon menoleh cepat, wajahnya pucat. “Mereka tidak berniat menangkapmu hidup-hidup lagi…”

Sebelum Dewi sempat menjawab, suara lain terdengar lewat alat komunikasi di telinga musuh:

“JANGAN BUNUH. PERINTAH BARU: BAWA DIA LANGSUNG KE MARKAS.”

Dewi membeku. Hatinya mencelos. Siapa yang cukup berkuasa untuk mengubah perintah pembunuhan jadi penangkapan dalam hitungan detik?

Ji-hoon memeluk bahunya erat. “Dewi… ada pengkhianat di lingkaran kita.”

Helikopter merendah, lampunya menyorot langsung ke wajahnya.

Dan di detik terakhir sebelum pintu atap jebol, suara itu kembali bergema dari pengeras:

“KAMI SUDAH TAHU SIAPA AYAHMU. DAN KAMI TAHU KAU MEMBAWA KUNCI.”

Dewi tertegun, darahnya membeku.

Suara angin, tembakan, dan teriakan bercampur jadi satu. Dan saat pintu atap didobrak, ia sadar—tidak ada lagi tempat untuk lari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 55 – “Titian Terakhir”

    Malam itu menyeret bayangan panjang ke wajah Dewi. Ia berdiri di tepi jurang yang tak hanya mengancam nyawanya, tapi juga masa depan bangsa yang telah ia perjuangkan sejak lama. Suara deru angin menyapu sepi, seolah memberikan isyarat bahwa perjalanan panjang mereka sudah sampai pada titik kritis. “Ini bukan tentang siapa yang akan menang atau kalah,” bisik Dewi pada dirinya sendiri, “Ini soal menegakkan keadilan meskipun dunia berusaha membungkamnya.” Setiap langkahnya kini penuh kehati-hatian, namun tekadnya tetap membara seperti api yang enggan padam. Damar dan Rani berdiri di sampingnya, mata mereka tajam menatap ke depan, siap menghadapi apa pun yang menghadang. “Kita sudah melewati begitu banyak pengkhianatan dan jebakan,” kata Damar, “Tapi kali ini, kita harus benar-benar bersiap menghadapi gelombang terakhir.” Rani mengangguk, “Tidak ada ruang untuk kesalahan. Semua yang kita perjuangkan ada di ujung benang ini.” Tiba-tiba, suara notifikasi masuk di ponsel Dewi. Pesan itu

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 54-bayang Pengkhianatan

    “Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun, bahkan pada bayanganmu sendiri.” Dewi mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, seolah ungkapan itu menjadi mantra untuk mengendalikan kegelisahan yang mengoyak hatinya. Lampu ruang komando berpendar merah, memperlihatkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad di sekelilingnya. Bunyi alarm yang baru saja padam menyisakan getaran tegang di udara, menandakan bahwa bahaya masih mengintai dari segala arah. Di sudut ruangan, Rizal mengutak-atik perangkat hologram, mencoba mengekstrak data dari dokumen yang belum mereka selesaikan. Wajahnya menegang, matanya terpaku pada grafik kompleks yang berputar di depan layar. “Ini bukan hanya soal pengkhianatan kecil atau kesalahan operasional,” katanya pelan, “ini perang skala besar—serangan yang datang dari dalam dan luar, semua terkoordinasi dengan rapi.” Damar berjalan mondar-mandir, suaranya serak namun penuh urgensi. “Kalau ada pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. K

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 53: “Semua Rahasia Akan Terbuka”

    “Ini bukan tentang kita lagi, Dewi. Ini tentang masa depan bangsa yang sedang bertaruh,” suara Rizal bergetar, menembus keheningan ruang bawah tanah yang remang. Dewi menatap tajam ke arahnya, mata mereka bertemu dalam keseriusan yang sulit diungkapkan kata-kata. Di luar dinding beton itu, suara langkah dan gemericik hujan membuat malam semakin kelam, seakan alam pun menyesuaikan dirinya dengan ketegangan yang menggumpal. “Kau yakin kita siap?” tanya Dewi pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena sekali kita mulai, tidak akan ada jalan kembali.” Rizal mengangguk, menggenggam tangan Dewi dengan erat. “Sudah terlalu lama kita bermain dalam bayang-bayang. Waktunya menerangi kegelapan.” Lampu-lampu tanda bahaya berkedip, mendapatkan ketenangan sebelum badai. Dari layar hologram, peta jaringan konspirasi membentang luas; aliran dana gelap, tokoh-tokoh tak terlihat, dan jebakan-jebakan yang sudah disiapkan. Dewi melangkah ke jendela kecil yang memperlihatkan kota yang tertutup aw

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 52 – “Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Suara pintu besi terkunci rapat meninggalkan gema yang mendalam di ruang sempit itu. Dewi dan timnya berdiri dalam hening penuh ketegangan, napas mereka saling bertaut dalam irama yang sama—antara perjuangan dan ketakutan. Di balik layar monitor yang terus menampilkan wajah Dewi dengan label ‘Target Utama’, mereka sadar bahwa satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya. “Sekarang, kita benar-benar mulai,” ujar Dewi pelan, matanya berkilat dengan tekad kuat. “Pengkhianatan ada lebih dekat dari yang kita duga, dan kita harus temukan sebelum terlambat.” Rani membuka file di laptopnya, mencoba memindai data dan pola komunikasi untuk mencari jejak mata-mata. “Ada sinyal aneh dalam jaringan kita yang sama sekali tidak bisa dijelaskan. Seseorang sengaja mengaburkan informasi dan mengalihkan perhatian.” Damar mengangguk, “Dia bermain di medan ini sejak lama. Kita harus belajar bermain lebih cerdik.” Ketika mereka membahas langkah berikutnya, pintu ruangan bergetar perlahan, suara l

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 51 – ““Kepercayaan Hancur, Musuh Memanggil””

    “Tidak semua yang kau anggap teman, adalah penyelamat. Kadang, mereka adalah pembunuh dalam selimut,” suara berat itu berbisik di telinga Dewi saat ia berdiri dalam ruang gelap, dikelilingi bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam. Dewi menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik tirai, matanya menangkap keraguan dan pengkhianatan yang lama tersembunyi. “Kenapa kau tidak bicara dari awal? Jika kau mengkhianati kami, aku ingin tahu alasannya,” suaranya tegas tapi bergetar oleh perasaan sakit yang mendalam. Sosok itu tersenyum dingin, menanggapi dengan lirih, “Kadang kebenaran terlalu pahit untuk diterima. Aku melakukan ini demi sesuatu yang lebih besar—yang mungkin kau belum siap mengerti.” Rani dan Damar berdiri di belakang Dewi, waspada, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. “Kita harus segera putuskan, apakah dia musuh atau sekutu,” kata Damar dengan nada serius, melihat ke arah Dewi. Dewi menarik napas panjang, menyadari bahwa perang sejati bukan h

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 50 – “Teror di Balik Pintu Tertutup”

    “Kalian pikir ini akan mudah? Ini baru permulaan, dan kegelapan tak akan pernah pudar,” suara dingin itu menggema memenuhi ruang bawah tanah, membuat udara semakin berat dan menusuk ke dalam tulang. Dewi menatap ke sekeliling, dengan napas terengah dan mata yang tetap waspada, memeriksa setiap sudut yang mungkin menjadi jalan keluar. “Kita harus berpikir jernih, walau terjepit,” bisiknya kepada Damar dan Rani yang berdiri tak jauh darinya. Damar mengepalkan tangan, menatap pintu logam yang tertutup perlahan. “Ini jebakan yang tak terduga. Musuh semakin ganas dan siap untuk memusnahkan siapa saja yang menghalangi mereka.” Dewi mengangguk, “Kematian atau keadilan—ini bukan lagi soal pilihan, tapi konsekuensi dari setiap langkah kita.” Suasana mencekam menekan mereka, tapi tekad untuk melawan justru makin membara. Lampu merah yang menyala redup memantulkan bayangan panjang di dinding sempit ruang bawah tanah. Udara pengap terasa membungkus, namun Dewi dan yang lain menahan diri dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status