LOGIN“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.”
Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seoul akan jadi kuburan kita malam ini.” Beberapa menit kemudian, Ji-hoon membelokkan mobil ke sebuah terowongan servis yang gelap. Mobil hitam sempat ragu, lalu melaju lurus melewati jalur utama. Hening. Hanya suara napas berat mereka berdua. “Sudah aman?” bisik Dewi. Ji-hoon menggeleng. “Belum. Mereka pasti tahu kita masih di sekitar sini. Kita harus pindah tempat.” Ia mematikan mesin, lalu menatap Dewi dengan serius. “Ada safehouse di distrik Mapo. Tapi kalau kau ikut, berarti kau resmi masuk ke jaringan bawah tanah ini. Tidak ada jalan kembali.” Dewi menelan ludah. “Aku sudah masuk sejak aku menemukan busur Ayah.” Safehouse itu hanyalah apartemen sempit di lantai empat sebuah bangunan tua. Lampunya redup, dindingnya penuh peta dan foto wajah orang-orang asing. Dewi duduk di kursi reyot, tangannya gemetar. “Jadi… selama ini Ayah berhubungan denganmu di Korea?” Ji-hoon menatap layar laptop, jari-jarinya cepat mengetik. “Bukan hanya denganku. Ayahmu bagian dari jaringan global. Tapi dia orang Batu Taba—dan itu membuatnya unik. Ada sesuatu di sana yang bahkan organisasi ini tak bisa dikendalikan.” Dewi terdiam. Batu Taba. Kampung kecilnya. Mengapa nama itu kembali muncul di tengah kota asing ini? Tiba-tiba layar laptop Ji-hoon berubah. Notifikasi merah muncul dengan suara nyaring. “PERINGATAN: TARGET BARU.” Nama itu terpampang jelas di layar: DEWI RAHMAN – TANGKAP HIDUP-HIDUP. Dewi menegang, tubuhnya kaku. “Itu… namaku.” Ji-hoon memukul meja. “Sial! Mereka sudah tahu posisi kita. Seseorang di dalam safehouse ini mengkhianati.” Pintu apartemen berderit. Langkah kaki berat mendekat. Dewi menggenggam busurnya erat. Ji-hoon mengangkat pistol. Lalu suara berat terdengar dari balik pintu: “Buka. Atau kami dobrak sekarang.” Dewi dan Ji-hoon saling tatap, napas mereka tercekat. Pintu mulai digedor keras, dan Dewi sadar—pengkhianat bukan di luar sana, tapi mungkin duduk di ruangan yang sama bersamanya. Pintu apartemen berguncang keras. Suara dentuman sepatu di koridor kian mendekat. “Ji-hoon…” bisik Dewi, suaranya nyaris tak terdengar. “Berapa lama sebelum pintu itu jebol?” “Kurang dari satu menit.” Ji-hoon bergerak cepat, menyalakan mode senyap di laptopnya lalu meraih tas hitam di bawah meja. Ia membuka resleting, memperlihatkan senjata, peralatan kecil, dan beberapa paspor palsu. Dewi menelan ludah. “Kau benar-benar sudah mempersiapkan ini?” “Di dunia ini, hanya orang bodoh yang tidak menyiapkan jalan keluar,” balas Ji-hoon cepat. Ia menoleh tajam padanya. “Kau siap?” Belum sempat Dewi menjawab, suara gedoran makin keras. Seseorang di luar berteriak dengan bahasa Korea kasar. “Kalau pintu itu terbuka, kita selesai.” Ji-hoon meraih pistol, lalu menatap Dewi. “Kau ambil jalur ventilasi. Aku tahan mereka.” “Tidak!” Dewi memprotes, matanya melebar. “Aku tidak akan meninggalkanmu.” “Ini bukan soal pilihan,” Ji-hoon mendesis. “Ayahmu pernah lakukan hal sama padaku. Sekarang giliran aku.” Detik itu juga, terdengar suara logam patah. Gembok pintu terkunci terhempas ke lantai. Dewi refleks mengangkat busurnya. Ji-hoon bersiap menembak. Pintu pun terbuka perlahan. Tapi bukan musuh yang muncul lebih dulu—melainkan seorang pria kurus dengan topi usang. Nafasnya ngos-ngosan, wajahnya panik. “Ji-hoon! Mereka sudah di bawah!” teriaknya. Ji-hoon menajamkan mata. “Park… bagaimana kau bisa tahu?” Pria bernama Park itu menutup pintu lagi dengan cepat. “Aku lihat mobil hitam di depan gedung. Mereka bawa empat orang, lengkap bersenjata. Kalau kalian tetap di sini, kalian mati.” Dewi menatap tajam. “Kenapa aku harus percaya padamu?” Park menoleh, matanya penuh ketakutan. “Karena aku juga diburu. Dan kalau kalian jatuh, aku pasti ikut jatuh.” Ji-hoon menggertakkan gigi, lalu menarik Dewi ke sudut ruangan. “Kita tak punya waktu berdebat. Jalan satu-satunya: keluar lewat atap.” Tangga besi di dalam gedung tua itu berderit saat mereka bertiga berlari ke atas. Nafas Dewi memburu, kakinya gemetar, tapi ia terus menggenggam busurnya. Di bawah, suara sepatu semakin riuh. Mereka sudah menembus lantai dua. “Cepat!” Ji-hoon mendorong pintu menuju atap. Angin malam Seoul menerpa wajah mereka, dingin menusuk. Lampu kota berkedip sejauh mata memandang. Park menunjuk gedung di seberang. “Ada jembatan servis kecil. Kita bisa lompat ke sana.” Dewi menelan ludah. “Itu… terlalu jauh.” “Kalau kau tidak lompat, kau mati ditembak.” Ji-hoon menatapnya keras. “Pilih sekarang, Dewi!” Dewi memandang sekeliling. Suara sepatu terdengar semakin dekat. Dari balik pintu atap, bayangan senjata mulai muncul. Ia mengepalkan tangan. “Baik. Kita lompat.” Ji-hoon maju lebih dulu. Tubuhnya melayang singkat lalu mendarat dengan keras di atap seberang. Park menyusul, hampir terpeleset, tapi berhasil meraih besi pengaman. Kini giliran Dewi. Dadanya berdegup kencang. Kakinya gemetar. Tapi ia tahu, tak ada jalan kembali. Dengan busur di punggung, ia berlari kencang lalu melompat. Udara malam menyapu tubuhnya. Satu detik terasa seperti selamanya. Tangannya meraih tepian atap seberang. Jemarinya nyaris tergelincir, tapi Ji-hoon segera menarik tangannya. “Tarik napas! Aku pegang kau!” Dengan sisa tenaga, Dewi berhasil naik. Ia jatuh terduduk, nafasnya tersengal, jantungnya berdegup seperti ingin meledak. Namun belum sempat mereka lega, suara tembakan terdengar dari belakang. Peluru memercikkan beton hanya beberapa senti dari kepala Dewi. “Mereka sudah di atap!” Park berteriak panik. Ji-hoon menarik Dewi berdiri. “Kita harus terus bergerak. Kalau berhenti, selesai sudah.” Lampu sorot helikopter menyapu atap, menyilaukan mata Dewi. Suara dari pengeras menggema lagi: “DEWI RAHMAN! BERHENTI DI TEMPAT!” Dewi menahan napas, busur di tangannya bergetar. Ji-hoon sudah menarik pistolnya, Park terlihat panik setengah mati. Angin baling-baling menghempas keras, membuat tubuh Dewi hampir terhuyung. Dan tepat saat ia hendak mundur selangkah… sebuah peluru menancap di lantai beton, hanya sejengkal dari kakinya. Ji-hoon menoleh cepat, wajahnya pucat. “Mereka tidak berniat menangkapmu hidup-hidup lagi…” Sebelum Dewi sempat menjawab, suara lain terdengar lewat alat komunikasi di telinga musuh: “JANGAN BUNUH. PERINTAH BARU: BAWA DIA LANGSUNG KE MARKAS.” Dewi membeku. Hatinya mencelos. Siapa yang cukup berkuasa untuk mengubah perintah pembunuhan jadi penangkapan dalam hitungan detik? Ji-hoon memeluk bahunya erat. “Dewi… ada pengkhianat di lingkaran kita.” Helikopter merendah, lampunya menyorot langsung ke wajahnya. Dan di detik terakhir sebelum pintu atap jebol, suara itu kembali bergema dari pengeras: “KAMI SUDAH TAHU SIAPA AYAHMU. DAN KAMI TAHU KAU MEMBAWA KUNCI.” Dewi tertegun, darahnya membeku. Suara angin, tembakan, dan teriakan bercampur jadi satu. Dan saat pintu atap didobrak, ia sadar—tidak ada lagi tempat untuk lari.“Terkadang, bahaya terbesar bukan yang mengejarmu…tetapi yang berdiri tepat di belakangmu saat kau memilih.”Dewi membeku.Tangan dingin itu menggenggam pergelangannya—kokoh, tenang, dan terasa… nyata. Bukan seperti ilusi cahaya di ruang lingkaran. Semua suara cahaya, semua kesadaran digital, bahkan gema ayahnya—mendadak redup. Seolah sosok yang memegangnya memiliki otoritas lebih tinggi di ruang ini.Dewi berbalik perlahan.Dan nafasnya hampir patah.Seorang pria berdiri di sana. Tinggi, berwajah teduh namun misterius, tubuhnya memantulkan cahaya seolah ia bukan manusia… tapi bukan pula entitas data. Matanya hitam pekat, tanpa bayangan, seakan menelan seluruh cahaya ruang itu.Kesadaran Ayah Dewi bereaksi pertama kali.“Kau… tidak seharusnya ada di sini.”Suara Rizal retak, terdistorsi seolah ruangan menolak kehadiran pria itu.Sosok itu tidak menoleh.Ia hanya menatap Dewi.“Jika kau memilih salah satu dari tiga takdir itu… dunia akan hancur lebih cepat dari yang mereka rancang.”D
“Setiap badai punya pusat.Dan di pusat itulah… kebenaran berhenti bersembunyi.”Cahaya hijau keemasan memeluk tubuh Dewi seperti kabut hidup saat ia melangkah ke dalam lingkaran itu. Angin berhenti. Waktu seolah terbelah. Di luar, markas NURANI seperti dunia yang terjebak dalam jeda, membeku antara teriakan dan kepanikan.Namun di dalam lingkaran itu, Dewi merasa seperti memasuki ruang yang tak tunduk pada hukum bumi.Hanya ada bisikan.Hanya ada gema masa depan.Dan suara yang sama—suara yang memanggilnya sejak badai pecah.Dewi membuka mata. Ia berdiri di sebuah ruang lingkaran luas yang tampak seperti perpustakaan hampa dengan dinding berisi aliran cahaya data. Ribuan angka berlari di udara, seolah GENESIS, BLACK LOTUS, dan seluruh jaringan bumi diperas menjadi titik tunggal informasi.Namun yang paling mencolok adalah tiga lingkaran cahaya di depannya—masing-masing menampilkan kemungkinan masa depan:🔸 Masa depan pertama:Bumi stabil, lautan tenang, Indonesia menjadi pusat energ
“Badai tidak tercipta untuk menghancurkan. Kadang… ia datang untuk memanggil seseorang.”Suara itu datang entah dari mana—entah dari Qadr, entah dari ingatan ayahnya, atau dari bumi yang kini bergetar tepat di bawah kaki mereka. Tapi Dewi merasakannya seperti bisikan yang menyentuh tulang belakangnya.Markas NURANI bergetar keras.Lampu-lampu berkedip, alarm melolong, dan layar utama menunjukkan spiral badai raksasa yang sedang turun dari langit seperti makhluk hidup yang marah.Rin menatap angka-angka tekanan udara yang anjlok.“Ini bukan badai biasa! Tekanannya… gila, Dewi! Ini badai kategori yang bahkan belum pernah dicatat NOAA!”Arka berdiri tak stabil, memegangi layar agar tidak jatuh.“Tidak ada model cuaca yang bisa menjelaskan ini!”Damar menarik Dewi ke belakang meja besi, matanya tegang penuh proteksi.“Dewi, katakan apa yang kau lihat. Jangan tahan lagi.”Dewi menatap langit yang retak melalui kaca markas.Retakan halus itu seperti mengintip dunia ke dunia lain—ke masa dep
“Kalau seorang anak autis dari Swedia saja bisa mengguncang dunia… kenapa kita tidak?”Kalimat itu muncul begitu saja di benak Dewi ketika hologram terakhir padam.Ruang markas hening, tapi di dalam kepala Dewi, suara-suara bumi masih bergema:suara angin puting beliung yang memotong kota, suara banjir bandang menerjang Padang, suara Sumatra retak perlahan dari selatan ke utara.Damar menatapnya gelisah.“Dewi, kau pucat. Apa lagi yang kau lihat?”Dewi menarik napas berat.“Aku melihat sesuatu yang… jauh lebih besar dari kita.”Rin mendekat, membawa grafik cuaca yang naik seperti jantung planet yang sedang panik.“Ini… ini bukan cuaca normal lagi, Dewi. Ini chaos.”Arka menimpali, “Seperti dunia sedang diaduk dari bawah. Suhu laut naik mendadak. Arah angin berbalik. Dan tekanan udara—ya Tuhan…”Ia menatap Dewi.“Ini bukan kebetulan. Ada pola yang sama dengan keruntuhan penyangga bumi.”Dewi memejamkan mata.Dalam sekejap—ia melihat hutan Papua dipreteli seperti kulit buah.Gunung Moro
“Empat kampung hilang dalam semalam, Dewi. Dan kali ini bukan bencana. Ini… pembunuhan yang dilegalkan.”Rin melempar layar hologram ke tengah meja. Gambar-gambar berganti cepat: seorang gubernur Aceh menangis di depan kamera; tanah longsor menelan rumah-rumah; sungai berubah warna seperti tinta gelap; anak kecil berdiri sendirian di antara lumpur yang masih panas.Dewi menatapnya tanpa berkedip.Ada sesuatu di dadanya yang retak pelan—seolah bumi sendiri meminjam suaranya.Damar mendekatkan tubuhnya, membisik pelan, “Ini yang mereka sembunyikan dari data Genesis. Semua laporan itu ditenggelamkan, disensor oleh izin tambang kelas kakap.”Hologram memperbesar citra hutan yang terkelupas, membentuk luka besar di punggung Sumatra.Helikopter-helikopter kecil terbang rendah membawa alat pengeboran. Sungai berubah jalur. Gunung yang dulu hijau, kini berlubang seperti paru-paru yang dipaksa berhenti bernapas.“Ini bukan salah alam,” kata Dewi, suaranya rendah.“Ini salah manusia.”Rin mengg
“Kau bukan orang yang sama lagi, Dewi.”Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Damar begitu ia berhasil menangkap tubuh Dewi sebelum jatuh menyentuh tanah.Dewi mengerjap, napasnya pendek dan panas. Aura cahaya yang tadi mengelilinginya kini meresap ke kulit, menyisakan kilau tipis yang hanya terlihat ketika Damar berdiri sangat dekat.“Aku masih aku,” bisik Dewi. “Tapi… ada sesuatu yang dibangunkan.”Drone asing masih membeku di udara, seolah dunia menahan napas menunggu perintah. Damar memandang ke langit dengan waspada.“Apa yang mereka lakukan padamu di dalam gerbang itu?”Dewi menutup mata sejenak—mengumpulkan memori—tetapi yang muncul justru tumpang tindih: Sudan berdarah, Afrika bangkit bersama Ibrahim Tidore, ruang rapat para elit migas dunia yang sedang menandatangani kontrak untuk masa depan manusia, dan wajah-wajah orang Indonesia yang kehilangan hak atas tanah mereka sendiri.“Mereka tidak memberiku kekuatan,” katanya pelan.“Mereka memberiku… pilihan.”Damar menegang.







