“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.”
Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa aku harus percaya?” Pemuda itu menatapnya lurus. “Namaku Han Ji-hoon. Dan aku kenal ayahmu.” Dewi terdiam. “Ayahku?” “Rizal Rahman,” Ji-hoon mengangguk cepat. “Dia menolong keluargaku bertahun-tahun lalu. Kalau kau memang putrinya, aku wajib melindungimu.” “Bisa saja kau bohong. Siapa pun bisa mengaku kenal Ayah.” Ji-hoon mendekat, menurunkan suaranya. “Ayahmu selalu menandai pesan rahasia dengan simbol bintang kecil di pojok kanan bawah. Betul?” Mata Dewi melebar. Ia baru saja melihat simbol itu pada foto lama dan logam misterius. Mustahil orang lain tahu. Suara langkah dari tangga makin keras. Ji-hoon meraih lengan Dewi lagi. “Kita tidak punya waktu. Mau tetap di sini dan ditangkap, atau ikut aku?” Dewi menggigit bibir. Nalurinya berkata pemuda ini jujur. “Baik. Tapi kalau kau berbohong, aku akan melawan.” Senyum tipis muncul di wajah Ji-hoon. “Kau keras kepala, persis seperti Ayahmu.” Mereka berlari melewati lorong kargo hingga mencapai pintu ke area parkir belakang. Hujan tipis turun, membasahi aspal hitam. Mobil van putih terparkir di sudut. Ji-hoon menekan tombol kunci. “Masuk.” Dewi menatap interior gelap mobil itu dengan ragu. Bagaimana kalau ini jebakan? Tapi suara pintu darurat dibanting keras dari belakang membuatnya tak punya pilihan. Ia segera melompat masuk. Ji-hoon menutup pintu dan menyalakan mesin. Van melaju menembus jalan basah, meninggalkan bandara. Dewi memeluk ranselnya erat. “Sejak kapan mereka memburuku?” “Sejak pesawatmu masih di udara,” jawab Ji-hoon cepat. “Mereka punya akses daftar penumpang. Kau target utama begitu nama Rizal Rahman muncul.” “Siapa mereka sebenarnya?” “Organisasi bayangan. Mereka bisa masuk ke mana saja—bahkan sistem pemerintah. Kalau bertemu mereka tanpa perlindungan, kau tidak akan pulang hidup-hidup.” Dewi menelan ludah. “Kenapa kamu repot-repot menolongku?” Ji-hoon menarik nafas dalam. “Karena aku berhutang nyawa pada ayahmu. Waktu keluargaku hampir hancur, dia datang, menghentikan semuanya. Kalau bukan dia, aku tidak akan ada di sini.” Dewi menunduk. Air matanya menggenang. Ayah… bahkan jauh di negeri asing, jejakmu masih hidup. Namun ia masih ragu. “Kalau kau benar kenal Ayah, sebutkan sesuatu yang hanya dia yang tahu.” Ji-hoon tersenyum samar. “Dia selalu membawa pena hitam di saku jas. Kelihatannya biasa, tapi di dalamnya ada jarum kecil berisi racun tidur. Dia pernah menggunakannya di depan mataku.” Ingatan samar masa kecil Dewi muncul—ia pernah melihat pena hitam itu di meja kerja ayahnya. Lututnya lemas. “Jadi Ayahku benar-benar… seorang agen.” “Bukan sembarang agen,” balas Ji-hoon datar. “Dia salah satu yang terbaik.” Hening menyelimuti mobil. Hanya suara wiper mengusir hujan. Akhirnya Dewi berkata pelan, “Kalau begitu… kenapa dia meninggalkan kami?” Ji-hoon menatap jalan, suaranya berat. “Kadang, untuk melindungi keluarga, seorang pria harus menghilang dari keluarganya sendiri.” Dewi terdiam. Kata-kata itu menusuk, pahit tapi masuk akal. Ia mengepalkan tangan. Jika Ayah berkorban sejauh itu, ia tak boleh mundur. Ji-hoon meliriknya. “Kau membawa logam itu, kan?” Dewi mengeluarkan benda bundar dari sakunya. Cahaya lampu kota memantul di permukaannya. “Itu kunci identifikasi agen,” jelas Ji-hoon. “Tapi tidak lengkap. Masih ada bagian lain yang harus dicari. Dan selama benda ini bersamamu, mereka tidak akan berhenti memburu.” Tiba-tiba ponsel Dewi bergetar. Layar menampilkan pesan dari nomor asing: “Kami tahu kau bersama Ji-hoon.” Dewi membeku. Ji-hoon meraih ponsel itu, wajahnya menegang. “Mereka bukan hanya tahu siapa kau, tapi juga siapa aku. Artinya…” ia menoleh cepat ke kaca spion. Beberapa lampu mobil terlihat mengikuti dari kejauhan di jalan tol yang basah. Ji-hoon mengumpat pelan, lalu meraih setir lebih erat. Dan saat sebuah mobil hitam tiba-tiba menyalip ke samping dengan kecepatan penuh—Dewi sadar, mereka tak lagi punya waktu.“Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p
“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou
“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa
“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara
“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan
“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B