Pagi itu tubuh Lare Angon terasa lesu. Ia hampir tak tidur semalaman. Meski penjagaan telah diperketat, tetap saja sulit baginya untuk memejamkan mata. Sempat telelap sebentur menjelang pagi. Namun terbangun tak lama kemudian.
Lare Angon membasuh wajahnya untuk menyegarkan diri. Lalu berjalan menuju ke pawon untuk mencari pengganjal perut. Hik! Langkah Lare Angon terhenti. Ada isak tersamar. Ia menelengkan kepala memastikan sumber suara. Lalu menempelkan telinganya ke dinding sentong yang menyatu dengan rumah utama. Terpisah dari pawon dan gadri atau gudang. Lare Angon memberanikan diri mengintip melalui jendela. Benar dugaannya, ia melihat gadis kecil sebaya dengan dirinya sedang menangis. Kemala, putri tunggal Juragan Prana. Sikapnya sering membuat Lare Angon bingung. Saat hanya berdua akan terlihat akrab dan hangat. Bahkan kadang gadis itu sendiri yang mengirim makan siang untuknya saat ngangon. Namun ketika di depan orang lain sikap gadis cantik tersebut tampak angkuh dan acuh tak acuh padanya. "Ssshh!!" Lare Angon memberi isyarat. Kemala menoleh dan buru-buru mengelap air matanya dengan punggung tangan. "Kenapa Kemala menangis?" Tanya Lare Angon lirih. Biasanya Kang Sukra dan yang lain tak suka jika melihatnya berbincang terlalu akrab dengan Kemala. Mereka akan selalu berkata agar ia tahu diri. Harus menjaga jarak dengan majikan. "Kalungku hilang. Sepertinya jatuh saat pulang dari kunjungan ke rumah Ki Demang. Ibu pasti akan sangat marah kalau tahu aku menjatuhkannya." Jawab Kemala. Dada Lare Angon berdesir. Entah kenapa ia merasa tak suka mendengar Kemala datang ke rumah Sewaka. "Bopo yang mengajakku. Sepertinya mereka ada urusan dagang." Melihat perubahan wajah Lare Angon, Kemala menjelaskan tanpa diminta. "Oh tentu saja!" Lare Angon buru-buru mengangguk dengan wajah menghangat. Malu karena Kemala bisa menebak pikirannya. "Aku akan membantumu mencoba mencarinya. Aku bisa menyusuri jalan yang kalian lalui. Semoga saja belum ada orang lain yang menemukannya." Lare Angon berlari tanpa menunggu tanggapan Kemala. Ia bahkan lupa pada niat awalnya untuk mengisi perut. Kemala tersenyum. Air matanya mengering. Semangat Lare Angon membuat harapannya tumbuh. "Kang Sukra, aku keluar sebentar! Ada yang harus aku cari!" Lare Angon berteriak saat melewati kandang kuda. Sukra melengak. Hendak berteriak mencegah. Tetapi Lare Angon berlari begitu cepat. "Dasar bocah nakal! Awas saja kalau kau hilang lagi, aku tak akan mau mencarimu!" Sukra hanya bisa menggerendeng sambil melanjutkan mengeruk kotoran kuda di lantai kandang. Sementara itu Lare Angon mulai menekuri jalan yang ia lalui. Dari rumah Juragan Prana ke tempat Ki Demang cukup jauh untuk ditempuh berjalan kaki. Sebenarnya ia tak yakin jika kalung Kemala belum ada yang menemukan karena meski bukan jalan utama, tetapi lumayan sering dilalui orang-orang. Namun Lare Angon merasa harus melakukan sesuatu demi Kemala. Seandainya sudah diambil orang lain, setidaknya ia berharap orang itu mau mengembalikan padanya. Beberapa kali Lare Angon bertemu dengan penduduk desa. Mereka semua tentu saja mengenalnya. Namun Lare Angon hanya menjawab setiap sapaan dengan sekedarnya. Perhatiannya terpusat pada setiap jengkal tanah yang ia lewati. Keringat sudah membasahi punggung dan dahi Lare Angon. Satu tikungan lagi, maka rumah Ki Demang akan mulai terlihat. Bocah itu mulai putus asa. Satu kerlip pantulan cahaya membuat semangatnya bangkit seketika. Ia mengusap mata memastikan tak salah lihat. Berjongkok dan tak sadar berseru senang. Kalung itu tergeletak di bawah rumput tebal. Agak jauh di pinggir jalan. Tampaknya terlempar dari atas kereta kala pengaitnya terlepas. Rumput membuat keberadaan kalung tersamar. Kemungkinan kecil ditemukan kecuali oleh orang yang memang sungguh-sungguh mencarinya. Lare Angon berdiri sambil tersenyum puas. Kemala pasti sangat senang. "Hei Lare Angon! Apa yang kau lakukan di sini?" Suara yang tak asing menegur tiba-tiba. Kaki Lare Angon yang sudah terangkat kembali turun. Ia berbalik. Menemukan Sewaka menatapnya penasaran. "Tidak apa-apa Sewaka! Aku hanya kebetulan lewat! Ini juga sudah mau pulang!" Jawab Lare Angon sambil buru-buru menyimpan kalung Kemala ke balik bajunya. Sayangnya Sewaka masih sempat melihat gerakannya. Putra Demang itu semakin penasaran. "Jangkrik! Kau berani memanggil namaku saja?" Seru Sewaka tak terima. Bahkan orang-orang dewasa saja selalu memanggilnya dengan sebutan Denmas. Lare Angon menyesal karena tidak menjaga mulutnya. Rasa kesal karena sering diganggu membuatnya engggan menyebut Sewaka dengan gelar kehormatan. Tetapi hal itu kini membuatnya kesulitan. Sewaka tak akan melepasnya dengan mudah. "Apa yang kau sembunyikan? Tunjukkan padaku!" Kata Sewaka sambil berjalan mendekat. Lare Angon menelan ludah. Saat ini suasana sepi. Orang-orang sedang sibuk bekerja. Tak banyak yang berkeliaran di jalan. "Aku penasaran sebenarnya apa yang kau simpan sampai prajurit kerajaan datang mencarimu!" Ucapan Sewaka berikutnya membuat Lare Angon mendongak keheranan. "Prajurit kerajaan?" Lare Angon tak sadar bertanya. "Kakang Citraguna. Orang yang datang ke tempatmu bersamaku!" Terang Sewaka. Deg! Jantung Lare Angon sesaat berhenti berdetak. Ia ingat jika orang itu bertanya tentang hutan Larangan. Seketika pikirannya melayang pada tabung hitam yang ia sembunyikan di sela atap pakiwan. Ia masih belum sempat melihat isinya. "Aku rasa tidak ada hubungannya denganku! Aku hanya mencari kalung Kemala yang terjatuh!" Lare Angon terpaksa berterus terang. Tak mau Sewaka mendesaknya lebih jauh tentang Hutan Larangan. Lare Angon menunjukkan kalung Kemala yang baru saja ia temukan. Terkejut ketika Sewaka merebutnya begitu saja. "Apa yang kau lakukan? Aku sudah berjanji untuk menemukan dan mengembalikannya pada Kemana. Ia terus menangis karenanya." Lare Angon mencoba mendapatkan kembali kalung itu. Sewaka meloncat menjauh. Tangan Lare Angon menggapai angin. "Aku yang akan mengembalikannya pada Kemala!" Ucap Sewaka tersenyum licik.Darr!!Kretakk!!Batu di tengah goa yang biasa menjadi tempat duduk itu retak. Asap mengepul dari sana. Lare Angon menatap telapak tangannya sendiri dengan takjub. "Bagus! Akhirnya kau bisa juga menguasai tingkat dasar dari Tapak Gledek." Ki Dharmaja berkata di belakangnya.Lare Angon mengulum senyum. Menghela napas lega. Tak kurang dari dua pekan ia habiskan untuk terus mencoba sampai akhirnya sampai di titik ini. Waktu di dalam goa itu terasa berjalan lamban. Mungkin karena kegagalan yang terus berulang. Meski baru tingkat dasar, keberhasilan ini adalah satu langkah besar.Dari Ki Dharmaja ia akhirnya mengerti, selain masalah pemusatan pikiran, pernapasan juga penting dalam pengendalian pikiran. Lalu kuda-kuda juga akan sangat menentukan dalam pertarungan."Kau sudah bisa menguasai dasar ilmu yang aku ajarkan. Namun Mustika Jagad memberimu kekuatan yang luar biasa. Jika orang lain harus berusaha keras untuk meningkatkan kekuatan mereka, maka tant
"Hitam putih, semua ada dalam pikiranmu. Kendalikan pikiranmu maka kau mengendalikan duniamu." Suara kembali bergema.Lare Angon memejamkan mata. Melenyapkan segala pikiran dan prasangka tentang apa yang baru ia lihat. Lalu perlahan mengerjap dan membuka mata kembali. Kini ia ada di dalam goa. Tempatnya berada sebelum samadi. Di depannya seorang lelaki tua duduk bersila. Ia mengenalnya sebagai Ki Dharmaja. Guru dari Sambu. Orang yang mengalihkan perhatian Ki Walang Sungsang dan Pangeran Rekatama. Entah sejak kapan Ki Dharmaja tiba.Lelaki tua itu perlahan membuka mata. Tersenyum pada Lare Angon yang mendadak menjadi gugup. Mengangguk dengan penuh hormat.Meski sudah sangat tua, mata Ki Dharmaja masih terlihat begitu jernih. Tubuhnya juga masih tegap. Hanya kulit keriput dan rambut memutih yang menjadi penanda usia."Lare Angon, tak aku sangka kau akan berhasil secepat ini. Kau telah berhasil memasuki alam pikiranmu sendiri. Lalu mengendalikannya. Jika kau g
"Kita mulai dengan berlatih mengosongkan pikiran." Kata Sambu. Kini keduanya sudah duduk bersila di atas batu. Saling berseberangan dan berhadap-hadapan."Saat aku pertama belajar, Guruku Ki Dharmaja mengatakan jika ilmu bisa diibaratkan sebagai benda dan kita adalah wadahnya. Agar bisa menampung benda itu sebanyak mungkin, maka kita harus mengosongkan wadah itu. Singkirkan apa pun pikiran yang bisa menghambat. Termasuk jika kita memiliki pemahaman pada ilmu lain sebelumnya. Lupakan semua. Lupakan apa yang membuatmu ada di sini. Buang ingatanmu untuk sementara. Kesedihan atau pun kesenangan. Kosongkan pikiranmu hingga benar-benar tak bersisa." Lanjut Sambu."Kenapa pikiran? Karena apa pun yang dilakukan dan dirasakan oleh tubuhmu sebetulnya dimulai dari pikiran. Kulitmu menyentuh api, namun pikiranlah yang menyuruhmu berteriak karena panas. Kendalikan pikiranmu, maka kau mengendalikan seluruh tubuhmu." Pungkas pemuda itu.Lare Angon mengangguk meski tak sepenuhnya menger
Sambu menoleh ke arah lubang tempat mereka datang. Lalu mengangguk-ngangguk. Lare Angon baru sadar jika Putut Pangestu tak mengikuti mereka."Sepertinya ia ingin menunjukkan niat baiknya dengan tak mengikuti kita sampai persembunyian ini. Tetapi dunia itu kejam. Kita tak pernah tahu apakah ia tulus atau ini hanya bagian dari tipu daya saja. Tetaplah waspada." Ucap Sambu.Lare Angon mengangguk. Lagipula setelah semua kekacauan yang terjadi, ia tak lagi begitu percaya pada Putut Pangestu."Duduklah! Aku yakin kau masih belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa oran-orang itu tetap memburumu meski kau tak lagi membawa Kitab Mustika Jagad." Kembali Sambu berkata.Lare Angon lagi-lagi mengangguk. Di pinggir ruangan itu ada empat buah batu bulat menyerupai tempat duduk. Lare Angon meletakkan tubuhnya pada batu yang paling dekat.Sambu ikut duduk di seberangnya."Apa yang kau dengar sekilas tadi benar adanya. Gulungan yang sempat kau bawa adalah Kitab Mustika Jagad. Kitab it
"Tapak Geledek!" Putut Pangestu berseru terkejut. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Tangan Halilintar?" Tanya lelaki itu kemudian. "Apakah itu penting?" Tanya Sambu. "Tentu saja penting! Aku harus tahu kau ada di golongan mana. Aku dengar jika Ki Dharmaja adalah orang yang lurus. Aku yakin ia tidak menginginkan Kitab Mustika Jagad untuk dirinya sendiri!" Ucap Putut Pangestu. "Memang tidak. Guru hanya memastikan kitab itu tak jatuh ke tangan orang yang bisa menghancurkan tatanan dunia itu. Karena kitab itu sudah jatuh ke tangan Lare Angon, maka kami akan melindunginya bagaimana pun caranya." Jawab Sambu. "Begitukah? Sebenarnya aku mendapat tugas yang sama. Gusti Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankan kitab tersebut. Kerajaan tak mau kekacauan besar terjadi jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru. Jadi Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankannya. Bertahun-tahun aku b
Lare Angon akhirnya mengikuti pemuda itu. Berlari menembus semak belukar. Sesekali berjalan melingkar. Sesekali penolong Lare Angon itu menaburkan semacam serbuk tipis yang berbau wangi.Namun langkah Lare Angin terhenti saat melihat pemuda tersebut meloncat ke atas pohon."Kenapa? Jangan katakan kau tak bisa menyusulku kemari! Kami sudah melihatmu melakukannya sebelum ini!" Kata pemuda itu.Lare Angon menggeleng. Ia ingat memang perkataan penolongnya benar. Ia sempat meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Hanya saja ia tak ingat bagaimana bisa melakukannya. Seolah hanya mengikuti naluri saja. Ketika sekarang ia harus melakukannya dengan sengaja, maka ia menjadi kebingungan. Tak tahu dari mana harus mememulai.Pemuda di atas pohon menoleh ke belakang. Wajahnya sedikit tegang. Lalu meluncur turun."Berpegangan yang erat!" Ucapnya sambil meraih tubuh Lare Angon.Terkejut, tetapi bocah itu tak menolak. Entah kenapa ia merasa pemuda itu benar-benar tulus ingin menolongnya. Ada rasa aman