Lare Angon ingin menampar mulutnya sendiri. Ia sudah salah bicara. Harusnya ia tak perlu menyinggung tentang anjing hutan itu.
"Kang Sukra tahu jika aku pintar menggunakan cambuk bukan? Selama ini hewan-hewan buas tak berani mendekat karena ledakan cambukku. Jadi aku berhasil menggunakannya untuk mengusir anjing-anjing itu." Kata Lare Angon. Ia tak sepenuhnya berbohong. Meski bagian bagaimana anjing-anjing hutan itu pergi tak seperti yang sebenarnya. Ia bahkan masih tak tahu apa yang membuat kawanan ajag itu ketakutan. "Hmmm... sepertinya Yang Maha Kuasa masih menyayangimu!" Kata Sukra. Saat itu seekor kuda terdengar meringkik. Membuat Lare Angon merasa lega karena perhatian Sukra teralihkan. Lare Angon menjalani sisa hari itu dengan hati gelisah. Ia menjadi penasaran pada isi tabung itu. Terlebih karena lelaki yang baru datang tadi tidak mengatakan tentang sebuah tabung, tetapi menyebut gulungan lontar. Tak ada lagi yang terjadi hingga hari menjelang malam dan Lare Angon memasuki biliknya di gandhok. Rasa tak sabar ingin segera melihat isi tabung membuatnya lupa pada niatan menemui Juragan Prana untuk berterima kasih. Lare Angon makan malam sedikit terburu-buru. Memasuki bilik lebih awal dan berpura-pura sudah tidur sambil memeluk tabung kecil itu. saat Sukra menyusulnya. Membuat lelaki itu mengira jika Lare Angon begitu kelelahan dengan kegiatan hari ini. Suara dengkur Sukra menjadi isyarat bagi Lare Angon. Ia bangun perlahan dan memastikan Sukra sudah benar-benar lelap. Perlahan ia melangkah keluar dari bilik. Keluar ke halaman samping. Sekilas ia melihat dua orang lelaki dewasa duduk di pendapa. Namun pandangan kedua orang itu lebih sering tertuju ke arah regol dan halaman. Tak menyadari keberadaan Lare Angon yang memang mengatur langkah kakinya sepelan mungkin agar tak bersuara. Mereka adalah pengawal bayaran yang disewa Juragan Prana untuk menjaga rumahnya setiap malam. Orang-orang yang juga biasa disewa untuk mengawal Juragan Prana ketika perjalanan luar kota. Lare Angon duduk di bawah pohon sawo tempatnya biasa menggantung cambuk dan caping. Ia membuka tabung itu. Menimangnya dengan ragu. Ia memang merasa penasaran, tetapi ia juga merasa bersalah. Jika ia membukanya bukankah ia sudah menyalahi kepercayaan orang? Meski ia tak tahu mungkin lelaki itu memilihnya hanya karena tak ada pilihan lain. Kresek!! Dada Lare Angon berdebar keras. Sebuah suara berisik halus membuatnya mendongak. Terbelalak saat melihat satu sosok hitam meloncat dari atas tembok pagar yang tinggi ke atas pohon sawo. Hebatnya pohon sawo tersebut sama sekali tak bergoyang. Seolah dihinggapi serangga yang ringan. Suara tadi berasal dari gesekan daun yang tersenggol. Andai Lare Angon tak berada begitu dekat, maka ia pun tak akan mendengarnya. Lare Angon menoleh pada dua pengawal di pendapa. Tak ada tanda mereka tahu kehadiran orang tersebut. Sementara orang di atas pohon tampaknya juga belum menyadari keberadaannya. Lare Angon menyimpan tabung kecil di tangannya ke balik pakaian. Lalu mendadak berlari dengan cepat ke arah para pengawal. Membuat kedua orang itu terkejut. Kedua pengawal meloncat berdiri dengan waspada. Menggenggam pedang yang terhunus di tangan. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini di sini?" Tegur salah satu pengawal begitu mengenali Lare Angon. "A.. ada ma... ling, Paman!" Kata Lare Angon terengah. "Apa maksudmu? Jangan mengada-ada! Sedari tadi kami tak melihat siapa pun." Bantah pengawal yang lain. "Orang itu ada di atas pohon!" Lare Angon yang telah kembali mendapatkan napasnya menunjuk ke atas pohon sawo. Setengah tak percaya kedua pengawal itu melangkah maju. Wutt!! Keduanya terkejut hingga meloncat mundur saat satu sosok bayangan melesat turun. Satu sosok berpakaian serba hitam dan bercadar kini berdiri di depan mereka. "Beraninya kau menyusup ke tempat ini! Apa kau bosan hidup?" Bentak salah satu pengawal. Sebenarnya hati pengawal itu sedikit gentar. Tidak sembarang orang bisa melewati tembok rumah itu dan meloncat ke atas pohon sawo tanpa alat apa pun. Untuk menutupinya ia berusaha tetap terlihat garang. Dalam pekerjaannya ia harus siap bertemu dengan lawan seperti apa pun. Orang bercadar tak menjawab. Ia justru menerjang melepas satu pukulan ke arah pengawal yang baru bicara. Saat pengawal itu menghindar dengan bergerak ke samping, ia berganti melepas tendangan paa pengawal yang lain. Kedua pengawal itu segera mengerti jika lawan punya kempampuan di atas mereka. Tak menahan diri lagi mereka menyerang dengan mengayunkan pedang bersamaan. Satu menyambar ke arah leher, sementara satu lagi menyasar pinggang. Dengan serangan berbareng dari dua arah berbeda maka gerak lawan menjadi sangat terbatas. Terlebih orang itu tak memegang senjata. Wutt!! Orang bercadar itu menghentakan kaki dan mendorong tubuhnya ke belakang. Membuatnya melenting tinggi menjauh beberapa langkah sekaligus. Dua pengawal hendak memburunya lagi. Tetapi ia berbalik dengan cepat, meloncat ke atas tembok yang tinggi dan lalu turun dan menghilang ke sebaliknya. Kedua pengawal yang kehilangan lawan itu saling pandang. Dengan kemampuan meringankan tubuh sehebat itu jelas mereka tak akan sempat mengejarnya jika harus keluar melalui regol. Sementara mereka juga tak punya cukup kemampuan untuk melompati tembok dengan cara yang sama. "Ada apa ini?" Sukra yang rupanya terbangun karena keributan di samping gandhok bertanya sambil mengusap matanya. Terkejut mendapati Lare Angon yang berada di luar bersama dua pengawal. "Ada maling yang berusaha masuk! Untung bocah ini melihatnya. Sekarang maling itu sudah melarikan diri. Sayang kami tak sempat menangkapnya!" Jawab salah satu pengawal. "Kami akan melapor pada Juragan Prana sekaligus meminta ijin untuk memanggil bantuan. Kalian kembalilah tidur. Tak perlu khawatir, kami akan memperketat penjagaan." Imbuh pengawal yang lain. Sukra mengangguk dan kembali masuk ke dalam bilik diiikuti oleh Lare Angon. "Apa yang kau lakukan di luar sana malam-malam begini? Sepertinya akhir-akhri ini kau senang membahayakan diri!" Tegur Sukra terdengar khawatir. "Aku kebelet kencing, Kang. Tadi mau ke pakiwan lalu tak sengaja melihat maling itu." Lare Angon terpaksa berbohong. "Besok lagi kalau mau ke pakiwan malam-malam bangunkan aku. Sekarang kembalilah tidur. Aku akan ikut berjaga-jaga." Kata Sukra sambil meraih golok yang tergantung di dinding. Menaruhnya di samping tempat ia duduk sambil menyandar di dinding bilik. Sepertinya ia berniat untuk tidak tidur lagi sampai pagi. Meski tak merasa mengantuk, Lare Angon tak membantah. Ia berbaring miring. Membelakangi Sukra. Memegangi pinggang tempat tabung itu ia selipkan. Saat membayangkan bagaimana mudahnya maling itu meloncati tembok, Lare Angon kembali ingat pada orang yang ia temui di hutan Larangan. Orang yang bisa melewati tebing dengan begitu mudahnya. Tetapi rasanya aneh jika orang itu datang kemari. Bukankah ia telah meminta Lare Angon untuk datang ke Gunung Alit menjelang purnama nanti? Lebih dari itu dengan kemampuan bertarungnya, orang itu seharusnya mudah saja menghadapi para pengawal. Alih-alih melarikan diri seperti tadi."Hitam putih, semua ada dalam pikiranmu. Kendalikan pikiranmu maka kau mengendalikan duniamu." Suara kembali bergema.Lare Angon memejamkan mata. Melenyapkan segala pikiran dan prasangka tentang apa yang baru ia lihat. Lalu perlahan mengerjap dan membuka mata kembali. Kini ia ada di dalam goa. Tempatnya berada sebelum samadi. Di depannya seorang lelaki tua duduk bersila. Ia mengenalnya sebagai Ki Dharmaja. Guru dari Sambu. Orang yang mengalihkan perhatian Ki Walang Sungsang dan Pangeran Rekatama. Entah sejak kapan Ki Dharmaja tiba.Lelaki tua itu perlahan membuka mata. Tersenyum pada Lare Angon yang mendadak menjadi gugup. Mengangguk dengan penuh hormat.Meski sudah sangat tua, mata Ki Dharmaja masih terlihat begitu jernih. Tubuhnya juga masih tegap. Hanya kulit keriput dan rambut memutih yang menjadi penanda usia."Lare Angon, tak aku sangka kau akan berhasil secepat ini. Kau telah berhasil memasuki alam pikiranmu sendiri. Lalu mengendalikannya. Jika kau g
"Kita mulai dengan berlatih mengosongkan pikiran." Kata Sambu. Kini keduanya sudah duduk bersila di atas batu. Saling berseberangan dan berhadap-hadapan."Saat aku pertama belajar, Guruku Ki Dharmaja mengatakan jika ilmu bisa diibaratkan sebagai benda dan kita adalah wadahnya. Agar bisa menampung benda itu sebanyak mungkin, maka kita harus mengosongkan wadah itu. Singkirkan apa pun pikiran yang bisa menghambat. Termasuk jika kita memiliki pemahaman pada ilmu lain sebelumnya. Lupakan semua. Lupakan apa yang membuatmu ada di sini. Buang ingatanmu untuk sementara. Kesedihan atau pun kesenangan. Kosongkan pikiranmu hingga benar-benar tak bersisa." Lanjut Sambu."Kenapa pikiran? Karena apa pun yang dilakukan dan dirasakan oleh tubuhmu sebetulnya dimulai dari pikiran. Kulitmu menyentuh api, namun pikiranlah yang menyuruhmu berteriak karena panas. Kendalikan pikiranmu, maka kau mengendalikan seluruh tubuhmu." Pungkas pemuda itu.Lare Angon mengangguk meski tak sepenuhnya menger
Sambu menoleh ke arah lubang tempat mereka datang. Lalu mengangguk-ngangguk. Lare Angon baru sadar jika Putut Pangestu tak mengikuti mereka."Sepertinya ia ingin menunjukkan niat baiknya dengan tak mengikuti kita sampai persembunyian ini. Tetapi dunia itu kejam. Kita tak pernah tahu apakah ia tulus atau ini hanya bagian dari tipu daya saja. Tetaplah waspada." Ucap Sambu.Lare Angon mengangguk. Lagipula setelah semua kekacauan yang terjadi, ia tak lagi begitu percaya pada Putut Pangestu."Duduklah! Aku yakin kau masih belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa oran-orang itu tetap memburumu meski kau tak lagi membawa Kitab Mustika Jagad." Kembali Sambu berkata.Lare Angon lagi-lagi mengangguk. Di pinggir ruangan itu ada empat buah batu bulat menyerupai tempat duduk. Lare Angon meletakkan tubuhnya pada batu yang paling dekat.Sambu ikut duduk di seberangnya."Apa yang kau dengar sekilas tadi benar adanya. Gulungan yang sempat kau bawa adalah Kitab Mustika Jagad. Kitab it
"Tapak Geledek!" Putut Pangestu berseru terkejut. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Tangan Halilintar?" Tanya lelaki itu kemudian. "Apakah itu penting?" Tanya Sambu. "Tentu saja penting! Aku harus tahu kau ada di golongan mana. Aku dengar jika Ki Dharmaja adalah orang yang lurus. Aku yakin ia tidak menginginkan Kitab Mustika Jagad untuk dirinya sendiri!" Ucap Putut Pangestu. "Memang tidak. Guru hanya memastikan kitab itu tak jatuh ke tangan orang yang bisa menghancurkan tatanan dunia itu. Karena kitab itu sudah jatuh ke tangan Lare Angon, maka kami akan melindunginya bagaimana pun caranya." Jawab Sambu. "Begitukah? Sebenarnya aku mendapat tugas yang sama. Gusti Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankan kitab tersebut. Kerajaan tak mau kekacauan besar terjadi jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru. Jadi Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankannya. Bertahun-tahun aku b
Lare Angon akhirnya mengikuti pemuda itu. Berlari menembus semak belukar. Sesekali berjalan melingkar. Sesekali penolong Lare Angon itu menaburkan semacam serbuk tipis yang berbau wangi.Namun langkah Lare Angin terhenti saat melihat pemuda tersebut meloncat ke atas pohon."Kenapa? Jangan katakan kau tak bisa menyusulku kemari! Kami sudah melihatmu melakukannya sebelum ini!" Kata pemuda itu.Lare Angon menggeleng. Ia ingat memang perkataan penolongnya benar. Ia sempat meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Hanya saja ia tak ingat bagaimana bisa melakukannya. Seolah hanya mengikuti naluri saja. Ketika sekarang ia harus melakukannya dengan sengaja, maka ia menjadi kebingungan. Tak tahu dari mana harus mememulai.Pemuda di atas pohon menoleh ke belakang. Wajahnya sedikit tegang. Lalu meluncur turun."Berpegangan yang erat!" Ucapnya sambil meraih tubuh Lare Angon.Terkejut, tetapi bocah itu tak menolak. Entah kenapa ia merasa pemuda itu benar-benar tulus ingin menolongnya. Ada rasa aman
Kangsa dan Leksana berteriak tertahan. Asap hitam merambat dengan cepat melalui ujung senjata mereka. Leksana cukup beruntung. Senjatanya cukup panjang. Masih memiliki waktu untuk melepas senjata hingga asap itu tak merayapi tangan. Dengan terburu-buru ia meloncat menjauh.Kangsa tak seberuntung itu. Tombaknya yang pendek membuat ia tak memiliki kesempatan menngelak. Asap itu merayapi lengan. Meski sudah berusaha mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang kesetanan, sama sekali tak berpengaruh. Asap itu melilit tubuhnya. Lalu merayap ke arah lubang-lubang di tubuhnya.Mata Kangsa melotot. Antara marah dan putus asa. Lalu sesaat setelah asap hitam merasuki tubuhnya, ia mengejang. Lalu jatuh tersungkur tak bergerak lagi.Ki Dharmaja melangkah mundur. "Mau kemana kau, Dharmaja? Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri lagi. Hari ini akan menjadi akhir hidupmu di tanganku!" Seru Ki Walang Sungsang yang tampaknya sudah membaca gelagat lawan.Ki Dharmaja tak menjawab. Terus melangkah mundu