“Di mana? Ini ada mahasiswa mau bikin surat untuk penelitian. Katanya minta sore ini selesai,” jawab Mia.
“Buset, sore ini? Dadakan banget, aku masih harus beresin surat yang lain, Bu,” keluh Irene.
Mia mendesah. “Udah saya bilangin, tapi mereka maksa. Ya udah cepet balik. Jam makan siang juga udah mau selesai,” pungkas Mia yang langsung mematikan panggilan teleponnya.
Irene menghela napas kasar. Dia melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Padahal Irene masih memiliki waktu sepuluh menit lagi untuk istirahat dan menghabiskan capuccino latte miliknya.
Namun, apa boleh buat, Irene pun akhirnya bangkit sembari membawa kopinya yang belum habis. Sambil meminum kopi, Irene melangkah dengan terburu-buru. Dia harus segera sampai ke kampus yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari cafe tersebut.
Brak!
Saking terburu-buru, Irene pun tersandung kursi yang tidak dirapikan oleh pelanggan sebelumnya. Seketika Irene tersungkur ke arah kursi yang ada di depannya. Kopi yang sedang dipegang Irene pun langsung tumpah. Sialnya, kopi itu tumpah membasahi seorang pelanggan yang sedang duduk manis di kursinya.
“Ah, maaf,” kata Irene sambil berjongkok di depan korbannya. Ia menggigit bibir bawahnya, ketika melihat minumannya membasahi pakaian dari seorang laki-laki.
“Eh, Mbak, kalau jalan lihat-lihat!” sentak seorang perempuan yang sedang bersama dengan laki-laki itu.
“I-iya, Mbak, maaf.” Irene hanya bisa mengucapkan kata maaf. Namun, pandangannya tak menoleh pada perempuan yang baru saja menyentaknya.
Dengan terlihat panik, mata Irene tertuju pada tisu yang ada tepat di atas meja. Secepat kilat dia mengambil beberapa tisu dan langsung membersihkan baju juga celana milik laki-laki itu.
‘Ah, ini pasti baju mahal,’ batin Irene. Melihat laki-laki yang menjadi korbannya itu mengenakan setelan kemeja yang sangat rapi. Selain itu, terlihat dari model dan juga bahannya, Irene bisa tahu kalau harga kemeja ini bukan 100.000 dapat 3.
Tangannya terus membersihkan pakaian laki-laki tersebut. Ia mencoba mengeringkan bagian yang terkena tumpahan kopi—dari bagian perut sampai bagian paha.
“Irene, stop!” seru laki-laki itu.
Seketika Irene tersentak. Laki-laki itu memanggil namanya? Perlahan ia mengangkat kepalanya. Sejurus kemudian, pupil hitam milik Irene membulat.
“P-pak J-juna?” gagapnya.
Oh, God! Dari ratusan, bahkan jutaan laki-laki yang ada di dunia ini. Kenapa harus Juna Atmadjadarma yang menjadi korbannya sekarang? Lagi-lagi Irene harus berurusan dengan laki-laki yang membuatnya selalu medapat masalah.
“Juna, kamu kenal dia?” tanya perempuan yang ada di hadapan Juna.
“Udah, stop! Biar saya yang bersihkan sendiri,” kata Juna yang langsung mengambil tisu yang sudah basah dari tangan Irene. Dia membuang tisu tersebut dan langsung mengeluarkan sapu tangan miliknya dari saku kemeja. “Lebih baik kamu pergi dari sini!” perintahnya dengan tegas.
Deg.
Jantung Irene seolah berhenti berdetak. Memang di sini Irene yang salah. Namun, kenapa Juna malah mengusirnya? Padahal niat Irene baik, ingin bertanggung jawab. Poin kekesalan Irene pada Juna pun bertambah.
“Jun, dia siapa?” tanya perempuan itu lagi.
“Staff di kampus,” jawab Juna dingin sembari membersihkan pakaiannya. Kemudian dia melirik ke arah Irene yang masih diam di tempat. “Kamu dengar saya tidak? Pergi dari sini!” tegas Juna.
Irene memicingkan matanya. Ia pun beranjak– tanpa melepaskan tatapan tajam pada Juna.
“Dasar, laki-laki tidak tahu terima kasih!” desis Irene. “Udah untung, saya bantu bersihkan. Padahal tadi saya mau tanggung jawab, tapi melihat sikap Anda seperti itu. Rasanya saya malas untuk bertanggung jawab!” tandas Irene.
Karena tak ingin diusir untuk ketiga kalinya, Irene pun langsung melangkahkan kakinya pergi dari cafe tersebut.
Dadanya naik turun, wajahnya pun terlihat sangat kecut. Irene benar-benar tidak suka dengan laki-laki yang bersikap seenaknya. Tak peduli tua atau muda, kaya atau miskin–tetapi, kalau sikapnya angkuh seperti itu, Irene tidak akan pernah menaruh simpati sama sekali!
***
Malam hari, Juna sedang menyiapkan bahan ajar untuk minggu depan. Dia memang selalu mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Namun, tiba-tiba saja pikirannya terdistraksi. Dia memikirkan tragedi yang baru saja ia alami siang tadi di sebuah cafe.
“Ah, mungkin cuman kebetulan saja,” ucap Juna yang mencoba menampik sebauh fakta yang mengejutkan.
Tadi siang, Juna bertemu dengan teman lamanya, Rachel. Sebenarnya Juna tidak berniat untuk menemui perempuan itu hari ini. Namun, sang ibu meminta Juna untuk menemui Rachel, karena dia sedang ada pekerjaan di kota kembang.
Demi menghormati permintaan sang ibu, akhirnya Juna pun bersedia untuk bertemu Rachel dan melakukan makan siang dengannya.
Akan tetapi, sebuah tragedi yang mengejutkan terjadi. Saat makan siang, seorang gadis yang Juna sudah kenal hampir satu minggu ini, tak sengaja tersandung. Hal itu mengakibatkan kopi yang sedang dipegang perempuan itu tumpah dan mengenai Juna.
Irene memang saat itu bertanggung jawab. Membersihkan tumpahan kopi yang mengenai pakaian Juna. Dengan cara mengelapnya menggunakan tisu.
Namun, Juna tiba-tiba terkejut. Saat Irene mebersihkan tumpahan kopi di celananya-dan mengenai paha. Tiba-tiba saja Juna bisa merasakan rasa geli pada pusaka miliknya. Apalagi saat—entah sadar atau tidak, Irene hampir saja mengarah ke daerah selangkangan Juna.
Sontak Juna tersentak, karena miliknya benar-benar merespon. Dengan cepat kilat, dia menghentikan Irene dan mengusirnya. Khawatir jika hal itu diteruskan, miliknya malah bisa terlihat oleh Irene.
“Sudahlah, Juna. Jangan dipikirkan, itu cuman perasaanmu saja. Lagian mana mungkin disentuh begitu saja merespon,” tampiknya.
Karena sudah tidak fokus, Juna pun memutuskan untuk mematikan laptop dan beristirahat.
Baru saja Juna merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tiba-tiba terdengar suara dering telepon yang tidak biasa. Suara itu bukan nada dering milik ponsel yang sering digunakan oleh Juna sehari-hari.
Kemudian Juna pun melirikkan matanya ke arah meja kerjanya. Dengan cepat, Juna beranjak dan langsung mengambil ponsel dari dalam laci.
Juna melihat deretan angka yang tertera di layar ponsel pintrarnya itu. Keningnya mengkerut sembari memperhatikan dua belas angka yang nampak pada layar.
“Siapa ini?” gumamnya.
Tak ingin dilanda rasa penasaran, Juna pun memberanikan diri mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Jun?”
Suara itu nampak tak asing di telinga Juna. Seketika, laki-laki itu pun menarik sudut bibirnya sebelah.
“Ya, Bella?”
BERSAMBUNG ….
“Apa? Ada anak laki-laki yang menggoda anak perempuan Papa?” Tiba-tiba saja Juna datang dengan pakaian yang sudah lengkap. Dia langsung menghampiri anak dan istrinya. “Siapa dia, Nathan?” tanya Juna lagi. Nathan menoleh ke arah sang ayah, dia merasa memiliki teman sekarang. “Ada, Pa. Dia anak laki-laki di kelas sebelah. Nathan tidak suka Freya dekat dengan Farrel, karena laki-laki itu sering kali memberikan anak perempuan ikat rambut. Sudah jelas dia bukan laki-laki baik, kan, Pa?” ucap Nathan. “Wah, jelas. Dia bukan laki-laki yang baik. Dia dekat dengan semua perempuan. Bagus, Sayang, kamu harus melindungi adikmu.” Juna langsung mengelus puncak kepala Nathan. Sedangkan anak laki-lakinya itu tersenyum penuh kemenangan. Berbeda dengan Nathan yang merasa dibela oleh sang ayah. Freya terlihat matanya berkaca. “Papa kok membela Kak Nathan?” ucap Freya dengan suaranya yang bergetar, “padahal Papa bilang kalau kita harus menerima pemberian dan niat baik dari orang lain. Freya tahu kal
“Pa, sebaiknya Papa di rumah saja. Nanti Jessica akan mengirim kabar secepatnya,” ucap Jessica pada ayah mertuanya.Kini mereka sedang di rumah sakit. Tidak, tidak ada yang sakit, hanya saja ada seseorang yang hendak melahirkan.“Tidak, Papa tidak bisa menunggu di rumah dengan tenang. Papa sudah sangat menantikan cicit dari Juna,” jawab Jodi yang sedang duduk di kursi roda dan di temani dengan asisten pribadinya.Kesehatan Jodi tidak seprima sebelumnya. Namun, begitu dia sangat mengayomi Irene. Bahkan hampir setiap minggu Jodi selalu mendatangi kediaman Jessica. Karena selama Irene hamil, perempuan itu tinggal dengan ibu mertuanya.Kehadiran anak Juna dan Irene sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang, bukan hanya ibu bapaknya saja. Hampir seluruh keluarga besar Juna dan Irene menantikan kelahiran mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang bertaruh, anaknya akan mirip seperti Juna atau Irene.“Suami Bu Irene apa sudah
“Good evening, My Honey.”Irene masih diam bagaikan patung. Dia merasa sangat sangat terkejut dengan kedatangan Juna. Ya, benar Juna suaminya, kini ada di hadapan Irene.“Kaget, ya?” goda Juna.“Kamu kok ada di sini? Kapan berangkatnya?” tanya Irene dengan mulut sedikit menganga.“Kemarin kalau waktu Indonesia,” jawab Juna cepat, “aku nggak dipersilakan masuk?” tanyanya lagi.Irene mengerejap, dia benar-benar dibuat ternganga oleh kedatangan Juna yang sangat tiba-tiba.“Ah, iya. Ayok masuk, tapi kamar apartemenku kecil. Cuman tipe studio,” ucap Irene.Juna menggeleng. “Tidak apa. Asal bersamamu, tempat sekecil lemari pun aku merasa nyaman,” gombalnya.Irene mendengus, lalu sedikit mendelik. Karena tak banyak bahan makanan yang tersedia. Irene hanya memasak mie instan untuk suaminya.“Maaf aku cuman bisa kasih ini. Kalau kamu bilang, aku bisa prepare,” ucap Irene.“No problem, Honey. Kalau aku bilang, bukan surprise namanya.”Irene menghela napas, lalu memberikan semangkuk mie instan p
Atmosfer di kamar itu terasa sangat panas. Bahkan peluh dua insan manusia itu sudah melebur menjadi satu. Suara napas mereka saling berderu satu sama lain. Tak ketinggalan suara desahan demi desahan terdengar jelas keluar dari mulut sang perempuan muda.“Tahan, ini akan terasa sakit di awal,” ucap Juna sambil menatap kedua mata cokelat milik istrinya.Setelah pemanasan di kamar mandi, mereka pun kembali ke kamar, sesuai dengan permintaan Irene. Pasalnya Irene merasa tidak nyaman dan tidak leluasa. Apalagi dengan nol pengalaman yang dimiliki Irene.“Jun, aku takut,” rintih Irene. Namun, begitu rintihan itu terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati nikmatnya dunia.“Tenang, kamu percayakan saja padaku,” kata Juna meyakinkannya. Kemudian dia mengecup kening istrinya.Irene pun mengangguk, walau perasaan takut kini mulai bisa ia rasakan. Dia sedikit ngeri ketika membayangkan sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi milik Juna terlihat sangat besar dan juga gagah. Apa bisa miliknya
“Silakan, Mas Juna kita sudah sampai,” ucap seorang sopir yang duduk di balik kemudi. Setelah acara pesta selesai, Juna dan Irene menuju sebuah hotel mewah di ibu kota. Mereka belum sempat menyusun acara bulan madu, karena besok Juna ada agenda penting yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya, wajarlah, mereka menikah itu the power of dadakan. Ketika Irene sudah mengatakan bahwa dia akan kembali pada Juna. Hanya berselang satu minggu, Juna langsung mempersunting Irene. Bahkan untuk momen tunangan saja mereka melewati hal tersebut. Juna merasa sedikit khawatir, kalau saja Irene kembali berubah pikiran. Atau sebenarnya memang Juna sendiri sudah merasa tidak tahan dengan statusnya sebagai duda loyo? Tak hanya Juna yang memiliki agenda penting, Irene pun sama demikian. Dia harus kembali ke Inggris untuk sementara waktu. Menyelesaikan apa yang seharusnya dia selesaikan terlebih dahulu. “Selamat datang Pak Juna Atmadjadarma dan juga istri,” sambut seorang pria jangkung dan mempunyai tubuh gagah
Juna merasa gelisah, karena dirinya khawatir tidak sempat untuk bertemu dengan Irene. Dirinya langsung keluar dari mobil SUV hitam dan langsung berlari memasuki bandara. Beberapa kali Juna harus menyalip beberapa kerumunan, dan dia terus meminta maaf. “Please, Tuhan. Semoga sempat,” batin Juna, yang tak pernah memperlambat langkahnya. Sampai di suatu titik di mana Juna melihat gadis yang sedang dicarinya sedang berlari dari arah yang berlawanan. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, tapi Juna merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya. Juna rela meninggalkan rapat penting demi menyusul Irene. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya. Juna tidak bisa membiarkan Irene pergi meninggalkannya sendiri. Walau Juna siap menunggu Irene sampai kapan pun, tapi jika masih bisa untuk menahannya maka akan Juna lakukan. Gadis itu semakin dekat dengannya. Juna bisa melihat kalau Irene pun ikut memandangnya. Sedetik kemudian, Juna melihat kalau