"Kenapa kau tidak menaiki kudamu, Arez."
"Tidak, ibu. Cuaca hari ini sangat bagus untuk berjalan kaki." "Begitu ya?" ucap seorang wanita paruh baya yang sedang merapikan tanaman hiasnya. Wanita itu adalah ibunda Arez, Duchess Lilyana. "Iya, ibu juga seharusnya sering-seringlah berjalan kaki di luar." sahut Dante tiba-tiba yang muncul dari pintu utama, lalu menarik kursinya untuk duduk di meja makan. "Putraku, bagaimana penelitian mu sayang?" Duchess pun mengikuti Dante yang duduk di bangku meja makan, lalu menginstruksikan para pelayan untuk menghidangkan makanan. "Semuanya berjalan lancar ibu, hanya kurang beberapa untuk segera diselesaikan." "Apa yang kau teliti, Dante?" "..Nanti jika sudah selesai, ibu pasti akan tahu. Tunggulah sebentar lagi, ibu." "Jangan paksakan dirimu. Tetap perhatikan kesehatanmu, nak. " "Iya ibu. Kembali ke rumah dan makan bersama ibu adalah hal terbaik untuk kesehatanku" ucap Dante lembut. "Kau ini bisa saja merayu ibumu. Ayo cepat dimankan.. Eh- buah-buahan dari mana ini?" tanya Duchess saat melihat keranjang buat di meja mereka. "Oh, itu dari bibi Lannie. Tadi sore paman menitipkannya padaku untuk ibu" Kata Arez. "Wah, Lianne memang terbaik. Aku akan pergi mengupasnya terlebih dahulu. Kalian tunggu di sini saja" ucap Duchess lalu beranjak pegi mengambil pisau dan diikuti para pelayannya. Dante pun mulai menyantap hidangan di depannya. Diikuti Arez yang kembali menikmati makanannya yang sudah lebih dulu ia makan. Ruang makan berubah menjadi sunyi. Tidak ada percakapan antara keduanya. Kedua kakak beradik itu hanya makan, hingga Duchess kembali dengan buah-buahan manis di tangannya. "Wow hasil kebun keluarga Kris memang selalu memuaskan. Lihatlah buah-buahan ini, terlihat sangat menggoda!" kata Lilyana. "Kalian mau yang mana sayang?" tanya ibunya sambil sibuk memilih-milih buah. Namun belum sempat pertanyaan Duchess terjawab, tiba-tiba datanglah seorang pelayan wanita yang menghampiri meja makan lalu sedikit membungkuk. "Maaf, permisi Duchess." Tanpa menoleh ke pelayannya, Duchess hanya berkata "Ada apa?" sembari terus menyibukkan diri dengan buah-buahan. "Maaf Duchess, di luar ada tamu yang sedang menunggu anda." Terkejut dengan berita tersebut, duchess secara reflek meletakkan buah-buahannya kembali ke keranjang. Ia melipat kedua tangannya dan bertanya "Tamu?" dengan raut wajah kesal miliknya. "Iya. Saat ini beliau berada di depan pintu ruang makan." "Tidak sopan sekali dia. Katakan untuk datang esok pagi," ujar Lilyana dengan suaranya yang mulai meninggi. "Tapi, nyonya.." Ceklek! Satu ruangan saat itu terdiam secara bersamaan ketika melihat pintu ruangan yang terbuka dan menampakkan seseorang yang mereka kenal. "Kau tidak bermaksud mengusir suamimu dari rumahnya sendiri, bukan?" Tak disangka, ternyata tamu itu adalah Duke Hans. Melihat keluarganya sangat terkejut, duke justru tertawa "Apa aku berhasil membuat kejutan?". Lilyana sontak segera datang menghampiri dan memeluknya. "Kau bilang baru akan tiba besok, sayang," tanya Duchess. Hanya ibu mereka yang tahu akan kepulangan Duke. Tidak ada yang tahu, bahkan Felix, asisten kediaman Duke sekalipun. "Ayah pasti meninggalkan ksatria lainnya di belakang," kata Arez menjawab pertanyaan ibunya. Sementara duke yang terkejut dengan ucapan anaknya, ia hanya tertawa. "Bgaimana kabar kalian putraku. Tentu saja pasti sehat selama ibu kalian tidak marah-marah, bukan." "Aku anggap itu pujian darimu, sayang." Berbeda dengan Lilyana dan Arez yang senang melihat kedatangan Duke. Dante nampakcanggung dengan kedatangan ayahnya. Bukan tidak suka, namun tidak nyaman. Malam itu berlalu cukup panjang dan hangat. Meskipun udara sudah mulai memasuki musim dingin, namun malam itu Arez terlelap dengan kehangatan di sekitarnya. Begitu hangat hingga matahari pagi mulai ikut menghangatkan dirinya. "Hari ini cuacanya sangat bagus, bukan," ujar Duke sembari mengayunkan pedangnya di hadapan Arez. Pagi itu Duke menghampiri Arez yang tengah berolahraga di tempat latihan. Tidak ada orang lain di sana kecuali ayah dan anak laki-lakinya. "Apa ayah hari ini tidak ke istana?" Duke hanya menggelengkan kepala. "Ibumu pasti akan marah jika aku ke istana. Tunggulah beberapa hari lagi sampai ibumu mengizinkannya." Arez hanya mengangguk kecil sembari terus mengasah pedang di tangannya. Ia paham betul dengan maksud ayahnya. "Hari ini, apa kau pergi latihan?" "Tidak, ayah. Latihanku besok pagi." "Kalau begitu, mau menjadi partner latihan dengan ayah?" Arez sangat terkejut dengan permintaan ayahnya. Seorang ksatria ternama di negeri mengajaknya berduel tentu menjadi hal yang patut untuk dibanggakan. "Hahaha, tidakkah pamanmu ingin menyombongkanmu. Ayo, bertandinglah dengan ayah." Kalimat duke berhasil menyentuh Arez dan segera kembali kesadarannya. "Baik, ayah!" jawabnya antusias Kabar akan duel antara duke dan Arez pun dengan cepat menyebar ke seluruh telinga penghuni kediaman duke. Menurut mereka pertandingan antara keduanya sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan sudah ada dua kubu, antara kubu yang mendukung duke untuk menang dan kubu Arez. "Sejak kapan jadi seramai ini.." gumam Arez melihat ke sekitar. "Hahahaha, apa kau gugup, Arez?" tanya ayahnya. "Tidak, Ayah." "Kalau begitu, ayo kita mulai." Setelah pemeran utamanya selesai bersiap, pertandingan pun dimulai. Klang! Klang! Suara pedang terdengar memenuhi arena. Menyita ketegangan seluruh penonton, tidak seperti duke danArez yang justru nampak menikmati. Bahkan keduanya masih bisa mengobrol satu sama lain. "Sepertinya ayah harus berterimakasih pada pamanmu," ujar Duke sambil terkekeh. "Akan ku sampaikan." Keduanya terlihat santai,berbanding terbalik dengan para penonton di sana. Klang!! Akhirnya ada pedang yang terjatuh. Pertandingan antara keduanya diakhiri dengan pedang milik duke yang terjatuh. Kubu yang mendukung Arez bersorak kegirangan, tidak seperti para pendukung duke. Mereka tidak tahu bahwa pedang yang terjatuh bukanlah yang sebenarnya terjadi. Arez mendekati ayahnya dengan kesal, menghiraukan sorak ramai di belakangnya dan berkata "Apa ayah sengaja melakukannya." Duke sempat terdiam. Ia terkejut mengetahui anaknya akan berkata seperti itu. "Sepertinya kelihatan sekali ya." Mendengar jawaban ayahnya, Arez mengerutkan dahinya. "Mengapa." "Karena aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan." "Apa maksud ayah?" "Ayah ingin lihat, bagaimana jika ayah berpura-pura kalah. Apa kau akan merasa puas begitu saja atau sebaliknya. Ternyata dugaan ayah salah." "..Kau menyebalkan, ayah." Duke sedikit merasa bersalah karena niatnya terbongkar oleh Arez. Namun Duke tak menyangka jika putranya justru akan menyikapi kecurangan ayahnya dengan fara yang bijak. "Aku ingin kau tunjukan kemampuanmu padaku, ayah," sambung Arez. Sorot mata yang Arez tunjukan pada duke membuatnya merasa tertantang. Tajam dan penuh rasa ingin tahu. Duke Hans pun kini mulai mengerti. Ia kembali mengangkat pedang miliknya dan mengarahkannya ke hadapan Arez lalu berkata "Baiklah, ayo kita ulangi pertandingan ini." Arez bergegas menghampiri salah seorang ksatria di sana dan memberitahukan tentang pertandingan kedua kepadanya. Barulah pertandingan kedua pun dimulai. Meskipun seluruh penonton terheran dengan pertandingan kedua ini, tetapi mereka hanya bergumam dan tetap duduk untuk menyaksikan kembali. Klang! Berbeda dengan sebelumnya, kini Arez dan Duke benar-benar bertanding seperti berada di medan perang sungguhan. Seluruh penonton terhanyut dengan perasaan cemas melihat keduanya. Terutama Duchess yang takut jika salah satu di antara keduanya terluka. "Klang!" Setelah beberapa menit dihimpit oleh udara yang mencekam, pertandingan pun usai. Dan.. pertandingan kali ini dimenangkan oleh Duke. "Hah..hah..aku lebih suka begini." ucap Arez dengan nafas yang terengah-engah, sembari menatap pedangnya yang terlempar jauh darinya. "Apa kau tahu, Arez." Berbeda dengan anaknya yang terengah-engah, Duke masih dengan nafas yang sangat stabil saat memanggil namanya. Hal itu membuat Arez semakin kesal karena lawannya masih sangat sempurna. "Selama aku menjadi seorang kapten. Baru kali ini ada yang bisa menggores bajuku." "!!" Tak disangka ternyata baju pada lengan kanan duke terlihat sobek. Bahkan ada sedikit noda darah di sana. Arez mulai tersenyum puas. Ia bangga karena setidaknya ia masih mampu menyentuh sang ksatria terkuat di negeri. Pertandingan pun usai. Ditutup dengan sorak ramai para penonton dan perintah dari Duchess untuk segera kembali ke aktivitasnya masing-masing.Ketika para Raja sedang berdiskusi di ruangan mereka, sebuah diskusi kecil juga tengah terjadi di antara para Guardian. Mereka saling terhubung satu sama lain, sesuai dengan ikatan dan ingatan pemilik mereka. Seperti saat ini, meskipun tak ada Trisha di sisi mereka, namun para Guardian tetap mengkhawatirkan keadaannya dan mencari tahu keberadaannya. "Sudah pasti semua ini ulah Joanna" ucap Pegi memulai percakapan mereka. Hanya ada Pegi, Sierra dan Rvo di sana. Mereka tidak berbicara, kecuali melalui isi kepala dan berbagai gerakan tubuhnya. Salah satunya Rvo yang terus berjalan mondar-mandir dan mengepakkan sayapnya namun tidak terbang. "Joanna, siapa dia?" balas Sierra. "Ia adalah seorang penyihir yang tadi menyerang Raja Eiridis dan teman-teman Blair" balas Pegi. "Oh jadi dia pelakunya. Lain kali jika aku melihatnya akan aku hancurkan wajahnya" ucap Rvo sembari memperlihatkan taringnya yang tajam. "Tenanglah, Rvo. Sebaiknya kita fokus mencari tahu keberadaan Trisha dan menye
"Putra mahkota, apakah kami bebas memilihnya?" "Tentu saja Countess. Temukan kuda yang kau sukai."Lianne memang sangat mencintai kuda. Salah satu kegiatan yang paling ia sering lakukan adalah berkuda. Tentu saja berada di antara belasan kuda kerajaan membuatnya begitu senang. Ia langsung berlari mendekati kuda-kuda yang berjejer di kandangnya, mengabaikan Karzian dan Lilyana yang tertinggal di belakang."Semua kuda ini dulu milik Empress" ucap Karzian kepada Lilyana."Lantas belasan kuda itu sekarang siapa yang merawatnya?""Mereka adalah aset kerajaan dan menjadi tanggungjawab kami. Siapapun bangsawan yang ingin meminjamnya kami persilahkan."Empress mulai menyukai kuda semenjak sahabatnya, Eliza yang melatihnya."Kau tidak memilih kudamu sepertinya?" ujar Karzian seraya melirik Lianne."Haha, tidak perlu. Saya menerima kuda mana saja yang dipilih untuk saya, putra mahkota.""Aku kira kau juga sama menyukai kuda seperti Countess.""Sejak kecil hanya Lianne dan Eliza yang tertarik d
Setelah melalui perjalanan panjang di tempat kumuh dan gelap, akhirnya Karzian bersama Duchess serta Countess, mereka telah berhasil menuju pintu rahasia yang menghubungkan langsung ke ruangan milik Empress. Sebuah ruangan bernuansa hijau yang dipenuhi oleh lemari buku menjulang tinggi. Karena lemari-lemari buku itulah, pintu rahasia yang tadi mereka lewati dapat tersembunyi dengan baik. "Akhirnya! aku terbebas dari bau busuk itu.." kata Lianne. Begitu masuk ke dalam ruangan Empress, Lianne cepat-cepat menghirup nafas lega untuk mengobati paru-parunya yang hampir terkontaminasi aroma busuk. "Putra mahkota, setelah ini kita tak perlu melewati gorong-gorong seperti barusan, bukan?" tanyanya. Karzian pun menoleh padanya. "Tenanglah Countess, tak ada lagi jalanan bau dan kotor seperti tadi." "Hah.. syukurlah" ucap Lianne lega. Countess segera membenamkan dirinya di salah satu sofa b
"Mengapa hanya kalian. Kemana Lilyana dan Lianne?" ujar Raja Eldof sesaat setelah menemui Duke dan Count.Ia mengira bahwa kedua putrinya telah tiba di istana dan tengah pergi ke suatu tempat. Awalnya raut wajah Raja Eldof nampak senang, seperti seorang ayah yang menunggu putrinya. Tetapi ekspresi senangnya pudar perlahan, tergantikan dengan kekecewaan saat melihat Duke yang justru membungkuk padanya."Rupanya aku salah paham ya?" Raja Eldof pun sadar. Lantas ia hanya terkekeh kecil, dengan bibir yang hanya terangkat di salah satu sisinya. "Tenanglah Yang Mulia. Lilyana dan Lianne baik-baik saja" ungkap Duke.Eiridis kemudian menepuk pelan bahu Eldof, bermaksud menguatkannya."Mereka ada di mana sekarang?" tanya Eiridis."Kenapa mereka tak ikut denganmu, Duke?" sahut Archmage turut menimpali."Lilyana dan Lianne saat ini tengah menjalankan tugas bersama putra mahkota Karzian, Yang Mulia. Putra Mahkota memecah
"Pegi, bisakah kau memberitahu para Guardian tentang kejadian hari ini. Aku butuh bantuanmu untuk memanggil para Raja kemari." Raja Eiridis meminta bantuan Pegi untuk menggunakan kemampuan telepatinya. "Kau tak perlu memanggil Trisha, karena berada cukup jauh dari kita" sambungnya. Pegi kemudian memejamkan matanya untuk beberapa saat. Raja Eiridis menggunakan waktu tersebut untuk berbicara dengan Raja Eldof. "Eldof, terimakasih bantuanmu." Raja Eldof hanya mengangguk, kemudian ia berkata "Bagaimana dengan keadaanmu, Eiridis." "Aku sudah jauh lebih lebih baik. Ucapkan terimakasih pada Mage muda itu." Mage muda yang dimaksud adalah Skye. Ia telah menceritakan semuanya kepada Eldof saat dirinya dalam perawatan medis. "Akan aku sampaikan nanti." Mereka sempat terdiam sejenak, memastikan Pegi yang ter
"Kakak, apa kalian baik-baik saja" ucap Galen. Ia menunggangi Pegi bersama Abigail di depannya. Lalu setelah mereka turun, Abigail menyerahkan Pegi kepada Blair. "Terimakasih sudah membawa Pegi kemari." Abigail hanya mengangguk, tetapi wajahnya nampak letih. Mungkin membawa Pegi kemari bukanlah hal yang mudah untuk mereka, para manusia tanpa sihir. "Ayo kita selamatkan Leah" ujar Arez. Mereka berbondong-bondong menghampiri bibir tebing dan saling sahut memanggil nama Leah meski tak ada balasan. "Cepat kita harus turun." "Skye, biarkan aku saja yang turun bersama Pegi." Mereka pun mengangguk menyetujui keputusan Blair. Karena hanya Blair yang sudah cukup akrab dengan Pegi. "Berhati-hatilah, Blair." Blair segera menunggangi Pegi dan membisikannya sebuah kalimat.