"Arez tunggu!"
Seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian khasnya, berjalan tegesa untuk menghampiri pria yang ia panggil sejak tadi. Gadis itu adalah Leah, satu-satunya putri dari kediaman keluarga Count Kris. Meskipun ia memiliki tubuh yang tidak bisa dibilang mungil, namun mengejar Arez tentu saja membutuhkan usaha lebih. "Ku bilang tunggu!" teriak Leah yang mulai kesal karna tak kunjung bisa menyamakan langkahnya. "Lihatlah apa yang ku temukan!" teriaknya sekali lagi berharap agar berhasil menarik perhatian Arez. Namun usahanya gagal. Bahkan tanpa menoleh, Arez hanya berkata "Cepat kembalikan jika kau mencurinya." lalu ia kembali melanjutkan langkahnya dan mengabaikan Leah yang masih tertinggal di belakang. Count Kris adalah paman Arez, dan Leah adalah putrinya. Usia mereka pun hanya berjarak satu tahun Leah lebih muda, membuat keduanya menjadi sangat mudah untuk akrab. "Apa kau sungguh tak mau memelankan sedikit langkahmu itu, Arez?!" Seketika Arez memelankan langkah kakinya. Namun bukan karna Leah, melainkan karena dirinya teringat akan suatu hal dan membutuhkan bantuan Leah untuk itu. "Akhirnya kau mendengar ku," kata Leah sarkas saat dirinya kini sudah berjalan sejajar dengan sepupunya itu. Namun Arez tak memperdulikan sindiran Leah. "Leah." "Ya?" "Kapan kau menemui Dante?" Leah sempat terdiam saat mendengar pertanyaan Arez. Ia kini mengerti alasan sepupunya itu memelankan langkahnya. "Jadwalku dengannya masih besok. Ada apa." jawabnya sedikit ketus. "Tanyakan padanya, kapan ia akan kembali?" Dante adalah putra sulung keluarga Hans, kakak tertua Arez. Keluarga mereka tidaklah buruk namun juga tidak bisa dibilang harmonis. Hans dan Dante memang tidaklah akrab, keduanya seakan menyimpan rahasia satu sama lain. Setiap Hans kembali dari perang, saat itu lah Dante menyibukkan diri di rumah penelitiannya. "Arez.." panggil Leah ragu-ragu. "Apa besok paman telah kembali dari misinya?sambungnya. "Entahlah, aku belum mendengar kabar dari Duke." Duke Hans terkenal dengan julukannya pahlawan perang. Tidak ada yang berani dengannya kecuali Lilyana, ibunda Arez. Percakapan keduanya pun terhenti. Mereka sempat berjalan berdampingan dalam keheningan. "Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi kau juga harus mengabulkan satu permintaan ku." Arez sontak mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Leah. "Hei kau tahu kan, kakakmu itu sangatlah mengerikan ketika ada yang mengajaknya membicarakan hal 'begini' bukan. Jadi, aku tidak mau mempertaruhkan nyawaku dengan sia-sia, oke!" "Ya sudah kalau kau tak mau. Padahal jika kau mau, nanti sore pun aku akan menemuinya," kata Leah mengejek saat mendengar Arez menghembuskan nafasnya jengkel. "Baiklah. Jadi cepat sebutkan apa yang kau mau." Mendengar jawaban Arez, tanpa sadar raut wajah Leah berubah menyeringai puas. Ekspresinya seperti seseorang yang sedang menjalankan ide jahil. "Besok siang datanglah ke sini. Aku membutuhkan bantuanmu sebagai laki-laki." "Apa yang akan kau- hmp?!" Leah lebih dulu membungkam mulut Arez sebelum selesai bertanya. "Sudah, datang saja ke sini besok dan kau akan mengetahuinya," ujar Leah sembari menepuk-nepuk bahu Arez. "Bagaimana, apa kau setuju?" tanya Leah sekali lagi yang kemudian disusul anggukan dari Arez. "Oke, deal!" teriak Leah. Dirinya bersorak kecil mengetahui jawaban Arez dan segera melepaskan tangannya dari sepupunya itu. "Apa yang membuat mu sesenang itu, putriku?" Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing bagi Arez dan Leah. Siapa lagi jika bukan count Kris. "Ayah!" teriak Leah sembari memeluk ayahnya. Ia adalah Count Kris, ayahanda Leah dan pemimpin para ksatria A. "Kau datang lebih awal hari ini, Arez?" ucap count Kris menyapa Arez. Enggan menganggu percakapan ayahnya, sontak Leah pun segera melepaskan pelukan dari Count Kris. "Iya paman, tadi pagi Max terus memaksa ingin memakan rumput di danau bukit istana." Max adalah kuda hitam milik Arez, hadiah dari ayahnya karena telah berhasil menunggangi kuda. Sama seperti Leah, kuda milik Arez telah menemani Arez sejak masih berusia kanak-kanak. "Wow, sepertinya kau sangat memperhatikan kudamu itu ya daripada saudara mu sendiri." cibir Leah. Hal itu justru memancing tawa dari paman Kris dan juga Arez, meskipun dirinya hanya tertawa tipis. "Memiliki peliharaan itu menyenangkan, putriku. Cobalah memilih salah satu hewan dan jadikan peliharaan milikmu. Setelah itu kau akan mengerti apa yang dirasakan oleh Arez," ujar paman Kris. "Aku tak mau memelihara kuda, ayah. Aku ingin memelihara sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat adrenalin ku tertantang!" jawab Leah. "Hahahaha, mana ada yang seperti itu." Ayahnya bukan menertawakan keinginan Leah, namun ia menertawakan tingkah gemas putri satu-satunya itu. "Beri tahu ayah jika kau sudah menemukannya. Ayah bersumpah akan mengizinkan keinginan mu." "Sungguh!" tanya Leah yang dibalas anggukan dari ayahnya. "Wow! Ayah terbaik!!" teriak Leah sekali lagi sembari memeluk ayahnya kembali. Namun ia segera melepaskan pelukannya saat seorang Ksatria tiba-tiba datang menghampiri. Mengalihkan pandangan Count kepadanya. "Kapten, semua sudah siap." Ia adalah salah satu anggota ksatria di sana. Mereka adalah ksatria kediaman Count Kris dan beberapa di antara mereka banyak yang terpilih sebagai Ksatria Kerajaan tim A. Ksatria Kerajaan terbagi menjadi 2 tim, yaitu tim A dan B. Ksatria tim A bertugas menjaga wilayah Brigstone. Sementara ksatria kerajaan tim B memiliki tugas untuk berjaga di perbatasan, yaitu Murloc. Brigstone adalah sebuah pusat kota di wilayah negeri Bumera, dengan luas area yang cukup besar dan dipimpin langsung oleh Emperor Rashzan. Berbeda dengan wilayah yang dipimpin oleh Raja Eiridis, area yang kerap disebut dengan perbatasan Murloc itu berada di ujung negeri dan tidak seluas Brigstone karena tertutup hutan. "Baiklah, ayo latihan segera kita mulai!" "Baik, kapten!" Seluruh ksatria termasuk Arez mulai sibuk dengan latihan mereka masing-masing. Sedangkan Leah, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan kegiatannya sebelum pergi ke tempat penelitian. Latihan Arez dan para ksatria dilakukan di kediaman Count. Tempat tujuan di mana Arez dan Leah melangkah. Sore itu berjalan seperti biasa. Para anggota di tempat latihan itu, semuanya berlatih dengan sungguh-sungguh. Hingga tanpa sadar, matahari sudah mulai menyembunyikan dirinya. "Latihan cukup sampai di sini. Kalian boleh beristirahat." Count mengakhiri latihan sore itu dan mempersilahkan mereka untuk beristirahat termasuk Arez. "Arez." Mendengar namanya dipanggil, sang pemilik nama pun menoleh ke sumber suara bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. "Iya paman?" Ternyata Count Kris lah pemilik suara yang memanggil Arez. Ia datang dengan keranjang cokelat yang berada di tangan kanannya. "Ini, berikan ini pada ibumu. Bibimu yang menyuruhku memberikannya," ucapnya sembari memberikan sebuah keranjang yang berisikan buah-buahan segar. Bibi Lannie adalah nama dari istri paman Kris. Ia adalah adik kandung Lilyana, ibunda Arez. "Ucapkan salam dan terimakasihku pada bibi Lannie, paman." ucap Arez yang dibalas anggukan pamannya. "Kalau begitu, aku pamit pulang paman," lanjut Arez. "Berhati-hatilah." Bersamaan dengan keranjang buah yang Arez bawa pergi, count juga turut pergi meninggalkan tempat latihan. Menyisakan peralatan latihan yang memang telah terpasang di sana. Hari itu sudah cukup gelap untuk Arez berjalan kembali ke rumahnya. Namun dirinya justru menikmati menyusuri malam hari di kota Brigstone bersama kuda di sebelahnya. "Bukankah ini kota yang sangat nyaman, Max?" Seakan mengerti ucapan tuannya, Max mengeluarkan suara miliknya hingga membuat Arez terkekeh. "Aku ingin berterimakasih kasih ke paduka raja karena telah menciptakan suasana kota senyaman ini." Kota Brigstone adalah kota yang nyaman bagi penduduknya. Rakyatnya satu sama lain hidup damai dan tenang, tidak ada penjahat ataupun pengemis di sana. Semuanya satu sama lain saling bahu membahu. Termasuk membantu menciptakan lingkungan yang asri dengan banyaknya tanaman dan melarang sampah berserakan sembarang. Bahkan air sungai dapat diminum karena sangat bersih dan segar. Sungguh kota yang menakjubkan bagi Arez, kala itu.Ketika para Raja sedang berdiskusi di ruangan mereka, sebuah diskusi kecil juga tengah terjadi di antara para Guardian. Mereka saling terhubung satu sama lain, sesuai dengan ikatan dan ingatan pemilik mereka. Seperti saat ini, meskipun tak ada Trisha di sisi mereka, namun para Guardian tetap mengkhawatirkan keadaannya dan mencari tahu keberadaannya. "Sudah pasti semua ini ulah Joanna" ucap Pegi memulai percakapan mereka. Hanya ada Pegi, Sierra dan Rvo di sana. Mereka tidak berbicara, kecuali melalui isi kepala dan berbagai gerakan tubuhnya. Salah satunya Rvo yang terus berjalan mondar-mandir dan mengepakkan sayapnya namun tidak terbang. "Joanna, siapa dia?" balas Sierra. "Ia adalah seorang penyihir yang tadi menyerang Raja Eiridis dan teman-teman Blair" balas Pegi. "Oh jadi dia pelakunya. Lain kali jika aku melihatnya akan aku hancurkan wajahnya" ucap Rvo sembari memperlihatkan taringnya yang tajam. "Tenanglah, Rvo. Sebaiknya kita fokus mencari tahu keberadaan Trisha dan menye
"Putra mahkota, apakah kami bebas memilihnya?" "Tentu saja Countess. Temukan kuda yang kau sukai."Lianne memang sangat mencintai kuda. Salah satu kegiatan yang paling ia sering lakukan adalah berkuda. Tentu saja berada di antara belasan kuda kerajaan membuatnya begitu senang. Ia langsung berlari mendekati kuda-kuda yang berjejer di kandangnya, mengabaikan Karzian dan Lilyana yang tertinggal di belakang."Semua kuda ini dulu milik Empress" ucap Karzian kepada Lilyana."Lantas belasan kuda itu sekarang siapa yang merawatnya?""Mereka adalah aset kerajaan dan menjadi tanggungjawab kami. Siapapun bangsawan yang ingin meminjamnya kami persilahkan."Empress mulai menyukai kuda semenjak sahabatnya, Eliza yang melatihnya."Kau tidak memilih kudamu sepertinya?" ujar Karzian seraya melirik Lianne."Haha, tidak perlu. Saya menerima kuda mana saja yang dipilih untuk saya, putra mahkota.""Aku kira kau juga sama menyukai kuda seperti Countess.""Sejak kecil hanya Lianne dan Eliza yang tertarik d
Setelah melalui perjalanan panjang di tempat kumuh dan gelap, akhirnya Karzian bersama Duchess serta Countess, mereka telah berhasil menuju pintu rahasia yang menghubungkan langsung ke ruangan milik Empress. Sebuah ruangan bernuansa hijau yang dipenuhi oleh lemari buku menjulang tinggi. Karena lemari-lemari buku itulah, pintu rahasia yang tadi mereka lewati dapat tersembunyi dengan baik. "Akhirnya! aku terbebas dari bau busuk itu.." kata Lianne. Begitu masuk ke dalam ruangan Empress, Lianne cepat-cepat menghirup nafas lega untuk mengobati paru-parunya yang hampir terkontaminasi aroma busuk. "Putra mahkota, setelah ini kita tak perlu melewati gorong-gorong seperti barusan, bukan?" tanyanya. Karzian pun menoleh padanya. "Tenanglah Countess, tak ada lagi jalanan bau dan kotor seperti tadi." "Hah.. syukurlah" ucap Lianne lega. Countess segera membenamkan dirinya di salah satu sofa b
"Mengapa hanya kalian. Kemana Lilyana dan Lianne?" ujar Raja Eldof sesaat setelah menemui Duke dan Count.Ia mengira bahwa kedua putrinya telah tiba di istana dan tengah pergi ke suatu tempat. Awalnya raut wajah Raja Eldof nampak senang, seperti seorang ayah yang menunggu putrinya. Tetapi ekspresi senangnya pudar perlahan, tergantikan dengan kekecewaan saat melihat Duke yang justru membungkuk padanya."Rupanya aku salah paham ya?" Raja Eldof pun sadar. Lantas ia hanya terkekeh kecil, dengan bibir yang hanya terangkat di salah satu sisinya. "Tenanglah Yang Mulia. Lilyana dan Lianne baik-baik saja" ungkap Duke.Eiridis kemudian menepuk pelan bahu Eldof, bermaksud menguatkannya."Mereka ada di mana sekarang?" tanya Eiridis."Kenapa mereka tak ikut denganmu, Duke?" sahut Archmage turut menimpali."Lilyana dan Lianne saat ini tengah menjalankan tugas bersama putra mahkota Karzian, Yang Mulia. Putra Mahkota memecah
"Pegi, bisakah kau memberitahu para Guardian tentang kejadian hari ini. Aku butuh bantuanmu untuk memanggil para Raja kemari." Raja Eiridis meminta bantuan Pegi untuk menggunakan kemampuan telepatinya. "Kau tak perlu memanggil Trisha, karena berada cukup jauh dari kita" sambungnya. Pegi kemudian memejamkan matanya untuk beberapa saat. Raja Eiridis menggunakan waktu tersebut untuk berbicara dengan Raja Eldof. "Eldof, terimakasih bantuanmu." Raja Eldof hanya mengangguk, kemudian ia berkata "Bagaimana dengan keadaanmu, Eiridis." "Aku sudah jauh lebih lebih baik. Ucapkan terimakasih pada Mage muda itu." Mage muda yang dimaksud adalah Skye. Ia telah menceritakan semuanya kepada Eldof saat dirinya dalam perawatan medis. "Akan aku sampaikan nanti." Mereka sempat terdiam sejenak, memastikan Pegi yang ter
"Kakak, apa kalian baik-baik saja" ucap Galen. Ia menunggangi Pegi bersama Abigail di depannya. Lalu setelah mereka turun, Abigail menyerahkan Pegi kepada Blair. "Terimakasih sudah membawa Pegi kemari." Abigail hanya mengangguk, tetapi wajahnya nampak letih. Mungkin membawa Pegi kemari bukanlah hal yang mudah untuk mereka, para manusia tanpa sihir. "Ayo kita selamatkan Leah" ujar Arez. Mereka berbondong-bondong menghampiri bibir tebing dan saling sahut memanggil nama Leah meski tak ada balasan. "Cepat kita harus turun." "Skye, biarkan aku saja yang turun bersama Pegi." Mereka pun mengangguk menyetujui keputusan Blair. Karena hanya Blair yang sudah cukup akrab dengan Pegi. "Berhati-hatilah, Blair." Blair segera menunggangi Pegi dan membisikannya sebuah kalimat.