Tak terasa sudah sebulan waktu berlalu. Itu artinya, sudah sebulan pula aku menyandang status Nyonya Arman Anggara. Sejak menikah dengan Mas Arman, aku memilki rutinitas tambahan setiap akhir pekan; yaitu berkunjung ke rumah Ibu mertua dan makan bersama.
Seperti yang aku dan Mas Arman lakukan saat ini. Menjelang makan siang, kami tiba di rumah besar ini. Aku dan Naira turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu masuk. Aku jadi teringat kejadian dulu, saat aku menginjakkan kakiku di rumah ini.Beberapa tahun yang lalu, sebagai Indah si penjual gado-gado. Namun kenyatannya sekarang, aku menginjakkan kakiku di rumah ini sebagai menantu tertua Bu Narmi. Aku tidak menyangka jika sekarang, beliau adalah Ibu mertuaku. Rasanya semua itu masih terasa seperti mimpi saja.Tentu saja, kenyataan itu membuatku semakin bahagia. Bu Narmi selain baik juga sangat sayang pada Naira, ia juga tidak pernah membedakan antara Naira dan Kevin. Hingga gadis kecilk"Kamu berani menamparku, Indah! Lancang sekali kamu!" hardik Nina dengan mata yang mulai memerah menahan amarah. Ia Memegang pipinya yang mungkin sekarang terasa panas. Bahkan terdapat cap lima jariku di pipi putihnya."Ada apa ini, ribut-ribut? Suara kalian terdengar hingga ke dalam." suara Mas Arman terdengar mengagetkan kami. Sontak aku dan Nina menoleh. Dari sudut mata aku melihat Nina mulai memasang wajah sedihnya. Pintar sekali ia memainkan ekspresi wajah, bagaikan seorang aktris saja.Mas Arman datang bersama Mas Rio dan juga Mama. Mereka bertiga melihat ke arah kami dengan tatapan bingung."Mbak, kamu kok tega menampar aku mbak! Aku kan bicara baik-baik, Supaya Naira jangan Nakal sama Kevin. Kasihan anak aku kalau dipukul Naira terus. Lihat Mas, Naira tadi mukul Kevin hingga putraku menangis, aku hanya menegur istrimu, tapi istrimu tidak terima dan menampar aku," ucapnya dengan semua kebohongan yang ia ciptakan.Suara N
Setelah kejadian itu, aku memilih hanya duduk di dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil memandang rumput yang bergoyang dari balik jendela.Entahlah, apa yang merasuki aku saat ini. Mulut ini terasa terkunci. Walau hanya sekedar untuk membela diri. Karena bagiku, berdebat dengan manusia bermuka dua tidak akan selesai. Berdebat dengan orang gila, tidak akan selesai. Jika aku ingin menghadapi orang bermuka dua, maka aku harus lebih bermuka dua lagi daripada dia. Jika aku ingin mengahadapi orang gila, maka aku harus lebih gila lagi daripada dia.Sedangkan aku ... aku tidak mau melakukan itu. Semua itu hanya akan membuatku sakit kepala dan menimbulkan masalah baru."Indah, ada apa denganmu? Kenapa kamu diam saja, saat Mas bertanya, tadi?" ujar Mas Arman di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Rupanya ia menyusulku. Aku menoleh sejenak, lalu menatap ke arah jendela kembali.Telingaku mendengar he
Semua yang terjadi antara aku dan Nina, seolah berlalu begitu saja, amarahku juga sudah hilang entah kemana. Setelah aku pikir-pikir, bodoh sekali aku harus melukai hatiku sendiri hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat.Mama, Mas Arlan dan Mas Rio, tidak pernah mengungkit-ungkit tentang kejadian itu. Bahkan saat sarapan tadi wajah mereka biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Entahlah. Namun, bukan berarti, hubunganku dan Nina juga telah membaik. Justru wanita itu sekarang semakin membenciku.Aku memilih duduk di sofa ruang tamu, menemani Naira yang sedang santai menonton kartun kesukaannya. Mas Arman dan Mas Rio asik main catur di taman belakang. Seperti ini lah rutinitas yang kami lakukan di hari minggu. Sekali-sekali jalan jika waktu dan keadaan memungkinkan."Indah, ini Mama buatkan minuman herbal untuk kamu," ujar Mama sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku. Ada segelas minuman di tangannya. Ukuran gelas t
"Kamu ya, Nina! Makin tua, bukannya berubah. Malah semakin menjadi-jadi saja kelakuan!" omel Mama. "Nggak! Bukan begitu Ma. Bukan seperti yang Kevin bilang ...," "Maksud kamu Kevin bohong, gitu?" potong Mama cepat, Membuat Nina glagapan."Kevin gak bohong, kok, Oma. Sumpah!" sahut Kevin polos dengan menaikkan dua jarinya di hadapan Mama, membentuk angka v."Kevin! Kamu ya, hih!" Nina menatap Kevin geram, membuat bocah itu beringsut kedalam dekapan neneknya. Mama kembali menjelitkan matanya ke arah Nina. Membuat Nina menelan ludah. Nina memang sedikit takut dengan Mama. Rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal, melihat ekspresi wajah Nina yang panik, terlihat sangat lucu. "Mama benar-benar gak suka melihat tingkah kamu yang bar-bar begini, Nina. Bisa gak, mulutmu itu di kontrol sedikit di depan anak-anak! Lihat Kevin, jadi bertanya hal yang tidak pantas untuk anak seusianya!" omel Mama lagi. C
"Supplier baru, sayang? Yang lama kemana?" tanyanya. Wajahku merona mendengar kata 'sayang' yang ia ucapkan padaku. Semenjak kami menikah, Mas Arman memang sering menggunakan kata manis itu untuk memanggilku. Hanya saja, aku masih belum terbiasa mendengarnya."Iya, Mas, yang lama sudah aku stop.""Kenapa?"Aku menghela napas. "Kamu ingatkan tentang pembukuan pengeluaran resto yang tiba-tiba membengkak, itu semua karena bahan-bahan yang dikirimkan ke sini oleh supplier lama, dalam keadaan tidak segar. Hingga membuat stok bahan-bahan cepat sekali busuk. Kalau tetap dipertahankan yang ada, aku rugi," jelasku. Mas Arman manggut-manggut tanda mengerti. Tangannya membuka box styrofoam di sebelah kami. Seketika matanya berbinar seperti baru menemukan harta Karun yng berharga. " Tumben ada kepiting, sayang?" "Iya, rencananya aku mau nambah menu baru dengan bahan kepiting. Memangnya kenapa, Mas?" Aku melihat Mas Arman memilih beberapa ekor kepiting laut yang ukuran besar-besar."Mas mau maka
"Benarkah? Aku tak menyangka jika Mas Arman seperti itu?" ujarku kaget, nyaris syok, membuat Vera terkekeh pelan.Sedangkan suamiku menatap ke arah kami berdua dengan cemberut. Lebih tepatnya, ia malu, karena rahasia yang ia simpan selama ini justru dibongkar secara gamblang oleh mantan istrinya itu.Sekarang kami bertiga duduk di gazebo, Mas Arman tidak jadi pergi ke kantor. Ia justru ikut nimbrung di antara kami berdua. Dari cerita Vera aku mengetahui ternyata pernikahan mereka hanyalah sebuah perjodohan. Antar kedua orang tua. Mereka bercerai secara baik-baik setelah empat bulan menikah, itu pun karena Vera tengah hamil dengan kekasihnya. "Tentu saja, karena memang itu lah kenyataannya! Mbak sih ... yang gak peka," jawab Vera. Ia menyeruput secangkir Milo hangat yang kusajikan untuknya. Hatiku masih belum puas dengan jawaban yang ia berikan."Apa kamu tidak pernah mencintai Mas Arman? Maksudku, kalian pernah dekat dan menikah juga, tidak menutup kemungkian cinta itu bisa hadirkan?
Aku menatap bulan purnama dari atas balkon kamar sambil tersenyum mengingat kejadian itu. Memoriku masih mengingat kejadian masa lalu, kejadian betapa polosnya diriku. Sebuah pelukan hangat dari belakang, membuat aku tersadar dari lamunan. "Apa yang kamu lihat, sayang?" tanya Mas Arman sambil menumpukan dagu di bahuku."Bulan purnama," jawabku singkat. Mas Arman semakin mengeratkan pelukannya."Apa yang menarik dari bulan purnama, itu?" ucap Mas Arman yang membuatku terkekeh."Bentuknya yang indah," jawabku mantap. "Karena memang dari dulu aku sangat menyukai bulan purnama. Ia selalu indah walau di tengah kegelapan," "Tapi kamu lebih indah dari bulan purnama," ujar Mas Arman membuatku kembali terkekeh. Aku memutar tubuhku menghadapnya. Aku mengalungkan kedua tanganku ke lehernya."Jangan pasang wajah yang datar saat sedang merayu, Mas!" Kulihat dahi suamiku berkerut."Aku serius sayang!" ujar Mas Arman menyakinkan."Tapi aku masih penasaran, sayang." ujar Mas Arman lagi. Menarik t
Hari ini aku begitu bahagia, karena saking bahagianya, hingga semua yang aku kerjakan menjadi sempurna. Senyum tak pernah lepas dari bibir ini. Hingga beberapa orang karyawan di resto sampai menggodaku."Cie ... Mbak Indah, seperti orang yang lagi kasmaran saja. Dari tadi senyum-senyum sendiri" ujar Bianca padaku, saat aku sedang menulis laporan keuangan resto di ruang kerjaku. Tentu saja membuatku menjadi malu. Apa lagi yang kutulis saat itu bukanlah laporan keuangan, melainkan ukiran namaku dan Mas Arman, dengan lambang hati dan bunga.Inilah yang dinamakan orang, indahnya berpacaran setelah menikah. Memang sungguh indah. Seindah nama yang tersemat di diri ini.Aku duduk di sebelah kasir menemani Dita, sekalian memantau resto yang sedang ramai, karena memang sedang jam makan siang. Sedangkan Mas Arman tidak datang makan siang di resto hari ini. Sebab, sedang menemani Mama untuk check up di rumah sakit. Gula darah Mama akhir-akhir ini naik."Ayo silahkan! Kalian boleh pesan makanan