"Nak, Indah gado-gadonya masih ada? Ibu pesan gado-gadonya dua, dibungkus, ya! Dan jangan terlalu pedas, juga!" ujar Bu'de Narmi, tetanggaku yang rumahnya berada di ujung gang sana."Masih, Bu, tunggu sebentar Indah buatkan," Bu Narmi mengangguk dan mengambil posisi, duduk di bangku panjang yang sudah kusediakan untuk para pembeliku. Jika mereka ingin makan di tempatku.Kebetulan hari ini, Alhamdulillah jualanku laris manis. Hari masih pagi, jam juga baru menunjukkan pukul sembilan, tapi jualanku sudah hampir habis.Tanganku dengan lihai menggoyang batu giling untuk menghaluskan kacang goreng, dan meraciknya menjadi bumbu gado-gado yang enak. Dari sudut mataku, aku menangkap pandangan mata Bu Narmi fokus menatapku.Sambil sekali-sekali senyum terukir diwajahnya, entah apa yang sedang ia pikirkan tentangku saat ini."Indah, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu? Tapi jika kamu gak mau jawab, juga gak apa-apa, Nak." ujar Bu Narmi dengan raut wajah segan. Mungkin ia takut pertanyaan yang aka
"Seratus ... dua ratus ... tiga ratus ..." jemari ini lincah menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berwarna-warni itu. Merah, biru, hijau, ungu, coklat, serta abu-abu. Makin kebawah, semakin gelap warna lembaran uang kertas di tanganku ini, seakan gambar Bapak Mohammad Husni Thamrin itu merengut padaku, padahal apa salahku padanya? "Ah ... hanya satu juta dua ratus enam ribu," gumamku lirih, aku menghembus napas berat. Bukannya tak bersyukur, hanya saja, aku merasa sedih. Uang yang kukumpulkan dari hasil jualan selama dua bulan ini, hanya satu juta dua ratusan saja. Itu belum termasuk untuk beli susu dan keperluan Naira yang lainnya, jikaku belanjakan mungkin uang yang tersisa tidak akan sampai satu juta. Dengan lemas kumasukkan kembali uang yang ada di tanganku kedalam dompet, lalu meletakkannya kedalam laci nakas yang ada di sebelah ranjangku.Aku jadi teringat dengan apa yang ditawarkan Bu Narmi tadi pagi, apa aku terima saja tawaran itu, ya? Siapa tahu itu memang jalan rezeki
🍀🍀🍀🍀🍀Sehabis jualan, aku bersiap untuk pergi kerumah Bu Narmi. Juragan kontrakan di kampung ini. Dengan pakaian seadanya yang cukup layak dan bersih, aku melangkahkan kaki dengan santai hingga kerumahnya. Sebenarnya jarak tempuh yang kulalui cukup jauh, sekitar dua puluh menit perjalanan. Tidak ada ojek atau angkot yang lewat di sini, sedangkan motor atau sepeda aku tak punya. Jadi hanya bisa mengandalkan kakiku saja.Dengan tubuh yang sedikit berkeringat karena panasnya cuaca, aku memasuki gerbang yang menjulang tinggi ini. Sebagai juragan kontrakan, tentu rumah Bu Narmi adalah rumah yang paling mewah di kampung ini. Bangunan tingkat dua yang berdiri kokoh, itu membuat siapa saja yang melihat sudah mengetahui jika yang memilikinya adalah orang kaya.Ahh ... beruntung sekali nasib Nina, menikah dengan anak orang kaya, dan memiliki mertua yang baik seperti Bu Narmi. Aku tidak kebayang jika aku berada di posisinya, pasti hidupku akan sangat bahagia saat ini.Setelah berbicara pada
Tak terasa sudah satu Minggu waktu berlalu sejak grend opening restoran ini. Jenggalu Resto namanya, karena terletak di Jl. Jenggalu. Suasana resto saat ini begitu ramai, membuat aku sangat bahagia, atas respon dan antusias para pengunjung yang tak henti-hentinya datang ke restoran ini.Semoga saja menjadi berkah untuk keluarga kecilku. Semoga pengorbananku membangun resto ini nanti, hingga jauh dari anakku dan meninggalkannya bersama ibu tidak akan sia-sia. Aku yakin selalu ada pelangi habis terang, dan untuk Mas Dito, aku tidak tahu kabarnya dan tidak mau tahu.Semoga saja ia bisa hidup bahagia dengan keluarganya, agar tidak mengganggu hidupku dan Naira nantinya. Aku masih asik berkutat dengan kuali dan kompor, karena resto ini masih baru, dan semua karyawan tentunya belum pada paham. Jadi akulah yang harus turun tangan langsung ke dapur untuk menyiapkan masakan. Walaupun badanku terasa lelah, tapi aku ikhlas demi masa depan anakku nanti. Beberapa menu sudah kusiapkan dengan cepa
Dengan kecepatan sedang aku mengendarai mobilku membelah keramaian kota, menuju rumah sakit Ibu dan Anak. Beberapa menit yang lalu, Mama meneleponku dan mengatakan, jika Retno mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan dokter. Sesampainya mobilku di parkiran rumah sakit, aku memarkirkan mobilku lalu turun dengan cepat dari mobil, melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Aku sudah tidak sabar menyambut kehadiran bayi laki-lakiku ke dunia ini. Aku yakin kali ini aku akan mendapatkan bayi laki-laki, karena beberapa kali USG, dokternya selalu mengatakan jika bayi kami laki-laki. Sungguh aku sangat bahagia mendengarnya.Setelah mendapat informasi dari resepsionis, aku langsung menuju tempat di mana Retno ditangani oleh dokter, dari kejauhan aku melihat Mama dan Mbak Rini sedang duduk dengan gelisah di depan sebuah ruangan. Melihat dari raut wajahnya, sepertinya bayi lelakiku belum lahir."Ma, Mbak, bagaimana keadaan Retno? Apa bayiku sudah lahir?" tanyaku tak sabar.Mama dan Mbak Rin
🍀🍀🍀🍀🍀"Mas, maafkan aku. Maafkan aku!" pinta Retno dengan air mata yang tak henti terurai. Rasa penyesalan itu bergelayut di dadanya. Sunggu menyesakkan dada. Tubuhnya gemetar dengan raut wajah emmohon belas kasihan.Aku menemuinya setelah beberapa saat ia sadar dan emosinya sedikit membaik. Entah sudah berapa kali wanita ini tak sadarkan diri. Saat mengetahui putra kami meninggal, wanita itu mengamuk dan berteriak histeris. Menunjuk-nunjuk wajah Mbak Rini dengan garang.Seakan semuanya adalah salah wanita itu. Entah ala yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Selaam ini mereka berdua selalu nerusaha tampak akur.Di ruangan ini hanya ada kami berempat, aku, Retno, Mama, dan Mbak Rini. Suasana tegang, bahkan dinginnya AC di ruangan ini membuat pelipis kedua wanita itu banjir dengan keringat dingin. "Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku padanya. Mulai menyelidik. Aku memperhatikan wajah Retno dan Mbak Rini secara bergantian. Aku merasa seperti ada sesuatu yang
"Tidak! Jangan laporkan Mbak pada polisi, Dito! Jangan ..." Mbak Rini langsung berlutut di kakiku. Ia memeluk kakiku erat seraya memohon, tak kupedulikan isak tangisnya yang terdengar pilu menyayat hati. Aku tahu dia takut dan merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada calon anakku. Tapi rasa bersalahnya tak mampu mengobati kepedihanku yang kehilangan buah hati. Sungguh tega ia melukai bayiku yang masih berada di dalam kandungan. Bayi yang aku harapkan kehadirannya dengan sepenuh hati."Itu memang pantas Mbak dapatkan! Tega sekali Mbak melakukan hal keji itu pada anak dan istriku!" Aku menyentak kakiku kasar, mendorong tubuh wanita itu menjauh dariku. Hingga dia terjerembak ke belakang. Masih dalam keadaan terduduk di lantai, Mbak Rini kembali memohon padaku. "Mbak mohon, Dito. Kasihan anak-anak Mbak, jika Mbak kamu kirim ke penjara, siapa yang akan mengurus mereka? Mereka masih kecil-kecil. Mbak khilaf, Dito. Ini semua juga karena istrimu yang memprovokasi Mbak, jika tidak ...
Setelah Mbak Rini dan Mama keluar, aku pun juga ikut melangkahkan kaki untuk pergi keluar. Dadaku terasa sesak dengan semua prahara yang terjadi. Aku butuh menghirup udara segar untuk menjernihkan pikiranku yang kusut saat ini. "Mas, Kamu mau ke mana? Mas tolong dengarkan aku dulu Mas!" teriak Retno.Aku menghentikan langkah kakiku, berbalik dan menatap tajam ke arahnya. "Apa lagi yang harus aku dengarkan, Retno? Menjaga anakku yang ada di dalam kandunganmu saja, kamu tidak becus! Tidak berguna!" sungutku padanya. Aku keluarkan juga uneg-uneg yang sedari tadi aku tahan agar tak meledak dan menyakiti hatinya. Namun setelah mendengar penjelasan dari Mbak Rini. Kebencianku padanya mulai terbit di hati ini."Tapi, Mas, ini semua bukan salahku, tapi salah kakak iparmu itu. Dia yang membuat anak kita ...," "Cukup Retno! Semua ini juga tidak akan terjadi jika kamu tidak membuat masalah sama Mbak Rini. Apa kamu mau aku usir juga seperti Mbak Rini, atau aku ceraikan seperti Indah?!" hardikk