Masuk“Bangun!”
Suara itu menggelegar seperti guntur yang meledak tepat di samping telinga Shu Jin. Suara Kaisar Pedang Abadi… suara yang sejak tiga hari terakhir tak kunjung memberi tanda kehidupan.
Tiga hari.
Shu Jin bahkan tidak tahu bagaimana ia mampu bertahan selama itu—bersujud di tanah lembab, dingin menusuk tulang, perut melilit kosong. Bibirnya pecah, kulitnya kering, tetapi ia tidak bergerak sedikit pun dari posisinya.
Maka ketika suara itu datang, meski lemah dan nyaris kehabisan tenaga, ia berhasil menegakkan tubuhnya.
“Terima kasih… Locianpwe,” ucapnya dengan suara serak, namun mata yang redup itu bersinar penuh tekad.
Dari dalam tugu nisan raksasa itu, suara Kaisar Pedang Abadi terdengar lebih jernih, lebih hidup—seakan ia akhirnya mengakui keteguhan hati Shu Jin.
“Keluarga Shu,” ujar Luo Fei pelan namun menggetarkan, “telah melahirkan banyak Dewa Pedang terhebat. Untuk menghormati garis keturunan itu… aku akan memberimu satu kesempatan.”
Kata-kata itu membuat jantung Shu Jin berdetak lebih cepat.
“Aku telah menyegel Darah Pedang Spiritual milikku,” lanjut Luo Fei, “di dalam tubuh seekor naga purba yang hidup di dasar Lembah Makam Dewa Pedang ini.”
Shu Jin membeku.
“Darah Pedang Spiritual itu akan mengembalikan kemampuanmu sebagai pendekar pedang. Sedangkan darah naga itu… akan memperbaiki dantian-mu yang hancur.”
Bayangan akan tubuhnya yang remuk, dantian yang rusak, kekuatan pedang yang hilang—semua muncul sekejap dalam benaknya. Tapi kini, secercah harapan melintas.
Namun harapan itu cepat padam ketika kenyataan menghantam pikirannya.
“Locianpwe…” ia menelan ludah. “Bagaimana aku bisa melakukannya tanpa memiliki energi Qi? Bahkan tenaga dalam pun aku tidak punya.”
Suara Luo Fei tak menunjukkan simpati sedikit pun.
Shu Jin terdiam.
“Itu belum semuanya,” lanjut Kaisar Pedang Abadi. “Jika kau ingin aku menurunkan seluruh ilmu pedangku… ada syarat lainnya.”
Syarat itu mengalir seperti hukuman.
“Aku memiliki tiga istri yang paling menakjubkan selama hidupku sebagai Kaisar Pedang.”
Shu Jin mengernyit.
“Kau harus menaklukkan mereka,” ujar Luo Fei tegas. “Mempelajari ilmu mereka masing-masing. Barulah kau layak menerima pedangku seutuhnya. Barulah kau layak menuntut balas.”
Napas Shu Jin terguncang. Jalan yang diberikan bukan sekadar sulit—itu gila. Mustahil.
Tapi... tidak ada lagi pilihan.
“Baik, Locianpwe.”
Untuk pertama kalinya, suara Luo Fei terdengar seperti tertawa tipis.
“Bagus,” katanya. “Kalau begitu… kau membutuhkan ini.”
Dari langit kegelapan di atas tugu, cahaya hijau-biru memecah kegelapan. Cahaya itu turun perlahan, memanjang, berubah bentuk… hingga akhirnya menjadi sebuah pedang.
Pedang yang bilahnya berwarna biru kehijauan, memancarkan aura dingin namun agung, seperti es kuno yang menyimpan nyala petir.
“Pedang Dewa Ilahi,” ujar Luo Fei.
Pedang itu berhenti tepat di depan Shu Jin, mengambang seperti makhluk hidup yang menunggu pemiliknya.
Ketika Shu Jin mengulurkan tangan dan menggenggam gagangnya—
Sebuah energi liar mengalir ke seluruh tubuhnya.
Tubuhnya tersentak. Napasnya terhenti sesaat.
Namun untuk pertama kalinya sejak kehancurannya—
Ia merasakan… kekuatan yang cukup besar.
Shu Jin menatap ke dalam kegelapan lembah—tempat naga purba menunggu
*****
Jurang itu tampak seperti pintu menuju dunia lain—gelap, dingin, dan seakan tidak memiliki dasar. Lembah terdalam di Makam Dewa Pedang ini tidak memantulkan cahaya apa pun, seolah menelan setiap sinar yang jatuh ke dalamnya.
Namun begitu Pedang Dewa Ilahi berada dalam genggaman Shu Jin…
Bilahnya melepaskan cahaya kehijauan, berdenyut seperti napas makhluk hidup. Aura pedang itu merambat ke sekujur tubuh Shu Jin, memperkuat otot lemahnya dan menerangi kegelapan jurang seperti obor kuno yang bangkit kembali setelah ribuan tahun.
Setiap langkah yang ia turuni terasa seperti bergerak di antara kabut gelap yang tak berujung.
Jauh di bawah, suara gemuruh aneh mengguncang dinding-dinding batu.
Itu dia… pikir Shu Jin.
Ketika cahaya pedang bersinar lebih terang, suara itu akhirnya terdengar dengan jelas—
ROOOAAARRRRR!
Suara tersebut menggema naik, begitu kuat hingga batu-batu dinding jurang bergetar. Napas Shu Jin tercekat, bukan karena ketakutan—melainkan karena semangatnya bangkit mendadak.
“Akhirnya…” ucapnya sambil mengatur napas. “Aku berhasil menemukannya.”
Ia melompat turun, mendarat di hamparan tanah yang luas di dasar jurang.
Di hadapannya berdiri seekor naga purba—kulitnya hitam kebiruan, tertutup sisik sebesar tameng perang. Panas api memancar dari celah napasnya, dan setiap langkah gergasi itu mengguncang tanah.
Meskipun tubuhnya besar, sayap naga itu tampak rusak dan mengecil—jelas ia tidak mampu terbang tinggi. Namun taring raksasa dan lidah apinya cukup untuk membunuh puluhan cultivator dalam hitungan detik.
Shu Jin menggenggam Pedang Dewa Ilahi lebih erat. Qi dari pedang mengalir ke meridiannya, membangkitkan memori tubuhnya tentang seni bela diri keluarga Shu. Teknik-teknik pedang yang dulu pernah ia kuasai bergerak sendiri—mengalir kembali dalam instingnya.
Naga itu maju, mengaum hingga tanah retak.
Shu Jin tidak mundur.
Ia bergerak cepat, tubuhnya melesat seperti bayangan. Serangan-serangan naga menghantam tanah di kiri dan kanannya, meledakkan debu dan api. Namun setiap kali naga itu mencoba menjepitnya dengan cakar atau semburan api, Shu Jin selalu berada selangkah lebih cepat.
Bilah hijau kebiruan Pedang Dewa Ilahi membelah udara—whisshh!—meninggalkan jejak cahaya.
“Mati kau…!” desis Shu Jin.
Pertarungan berlangsung cepat, brutal, dan berbahaya. Tapi bagi Shu Jin—yang pernah menjadi jenius pedang—gerakan naga tersebut masih masuk akal dan bisa diprediksi, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Ketika naga itu membuka rahangnya lebar untuk melontarkan api terakhirnya—
Shu Jin melompat ke udara, memusatkan semua kekuatan dari pedang ke ujung bilah.
“Ini akhirmu!”
CREEEP!!!
Pedang itu menusuk tepat ke kepala naga. Tubuh raksasa itu terguncang hebat, sebelum akhirnya roboh dengan gemuruh panjang yang menggema di seluruh lembah.
Asap mengepul dari luka besar di kepala naga.
Kemudian, dari dada naga itu, cahaya biru berdenyut keluar—membentuk sebuah mutiara bersinar.
Mutiara itu melayang perlahan keluar dari tubuh naga, menyebarkan aroma energi kuno yang begitu kuat hingga tanah di bawahnya retak.
“Mutiara darah naga…”
Sebelum Shu Jin sempat mengulurkan tangan, mutiara itu terbang dan menembus dadanya.
Ia terkejut—namun bukan karena sakit.
Ketika energi naga menyebar ke seluruh tubuhnya, ia merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dari dirinya.
Darah biru naga purba itu berpadu dengan tubuhnya, memperkuat meridiannya dan memperbaiki dantian yang pernah hancur.
Ia menatap tangannya, merasakan kekuatan yang mengalir di dalamnya.
“Aku…tidak perlu minum darah naga purba ini karena sudah disedot oleh Mutiara darah Naga ini” napasnya terhenti karena emosinya yang meluap.
Darah pedang spiritualnya yang hilang terasa kembali menyala. Ototnya terasa lebih kuat, langkahnya lebih ringan, dan ia dapat merasakan Qi mengalir di tubuhnya dengan teratur.
Shu Jin mengangkat pedangnya ke atas kemudian ia melompat, menjejak dinding jurang, lalu melesat ke atas seperti panah ditembakkan ke langit.
“Akhirnya…” teriaknya, suaranya menggema di seluruh lembah.
Ia menembus kabut gelap, memecah udara, dan melesat menuju permukaan Makam Dewa Pedang—seakan ia sedang terbang.
Perjalanan balas dendamnya baru saja dimulai.
Angin pagi melintas seperti hembusan napas terakhir dari rumah besar keluarga Shu. Udara itu membawa bau lembab yang menusuk hidung, bercampur abu tipis yang beterbangan dari bangunan yang pernah berdiri megah—kini tinggal kerangka hitam yang mencakar langit kelabu. Di pasir puing dan kayu yang terbelah, seorang pemuda bertopeng berdiri tegak. Ia tidak menoleh sedikit pun. Tidak ada alasan untuk melihat ke belakang; masa lalunya sudah terkubur bersama genangan darah yang membeku tiga hari lalu.Nama Shu Jin telah mati untuk saat ini.Kaisar Pedang sudah memerintahkannya... jika ingin hidup, ia harus terlahir kembali sebagai seseorang yang bukan dirinya sampai ia berhasil menguasai ilmu pedang terhebat sepanjang masa.Pemuda itu—belum lagi terbiasa dengan wajah barunya—menunduk pada kilauan samar dari pecahan pedang tua yang tergeletak. Permukaan logam yang retak memantulkan sosok asing... topeng artefak membentuk rahang lebih tegas, garis wajah lebih keras, dan mata yang memantulkan d
“Locianpwe… aku berhasil!” Suara Shu Jin menggema di antara tugu-tugu batu raksasa itu. Napasnya masih terengah, namun sorot matanya memancarkan cahaya baru—cahaya seseorang yang baru saja kembali dari kematian.Tugu nisan Kaisar Pedang Abadi yang menjulang tinggi memancarkan kilatan cahaya api. Dari dalamnya, suara yang dalam dan menggetarkan kembali terdengar.“HA-HA-HA! Aku tidak salah menilaimu, anak muda!” Suara Luo Fei terdengar bukan sekadar puas, tapi bangga—sebuah kebanggaan yang jarang dimiliki seorang kaisar pedang abadi. “Kau benar-benar jenius pedang yang hanya muncul sekali dalam ribuan tahun. Sebagai hadiah… Pedang Dewa Ilahi itu akan menjadi pedangmu mulai sekarang!”Cahaya kehijauan dari pedang di tangan Shu Jin berdenyut, seakan menyambut pemiliknya yang baru.“Kau bisa memanggil pedang itu kapan saja,” lanjut Luo Fei. “Ketika pedang itu kau arahkan ke langit… kau bisa kembali ke Makam Dewa Pedang dan meneruskan pelajaranmu. Aku akan menurunkan Jurus Pedang Naga S
“Bangun!”Suara itu menggelegar seperti guntur yang meledak tepat di samping telinga Shu Jin. Suara Kaisar Pedang Abadi… suara yang sejak tiga hari terakhir tak kunjung memberi tanda kehidupan.Tiga hari.Shu Jin bahkan tidak tahu bagaimana ia mampu bertahan selama itu—bersujud di tanah lembab, dingin menusuk tulang, perut melilit kosong. Bibirnya pecah, kulitnya kering, tetapi ia tidak bergerak sedikit pun dari posisinya.Maka ketika suara itu datang, meski lemah dan nyaris kehabisan tenaga, ia berhasil menegakkan tubuhnya.“Terima kasih… Locianpwe,” ucapnya dengan suara serak, namun mata yang redup itu bersinar penuh tekad.Dari dalam tugu nisan raksasa itu, suara Kaisar Pedang Abadi terdengar lebih jernih, lebih hidup—seakan ia akhirnya mengakui keteguhan hati Shu Jin.“Keluarga Shu,” ujar Luo Fei pelan namun menggetarkan, “telah melahirkan banyak Dewa Pedang terhebat. Untuk menghormati garis keturunan itu… aku akan memberimu satu kesempatan.”Kata-kata itu membuat jantung Shu Jin
PLAAAK!Suara tamparan itu menghantam udara dengan keras, memantul di antara pilar-pilar paviliun yang berlumuran darah. Tepukan telapak tangan Wu Chao-Xing begitu kuat hingga kepala Shu Jin terpelanting ke samping. Debu dan serpihan tanah beterbangan dari pipinya ketika wajahnya menghantam tanah.Sayup-sayup pandangannya terbuka. Suara-suaranya kembali, namun tidak membawa kelegaan—hanya kengerian yang membakar dadanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah genangan darah pekat milik keluarganya yang mulai mengering di tanah. Bau amis yang menyengat masuk ke hidungnya, membuat perutnya teraduk-aduk.Kesadaran yang baru kembali seketika menusuk jantungnya seperti pedang.Wu Chao-Xing menyeringai tepat di depannya, rambut hitamnya berkilau tertiup angin. Mata wanita itu berkilat puas.“Sekarang kau lihat, Shu Jin…” katanya sambil tertawa terbahak-bahak, suaranya memantul seperti gema iblis. “Keluarga kebanggaanmu… sudah musnah!”Tawa itu mengiris telinga Shu Jin, merontokkan sisa-
Shu Jin seketika duduk tegak, rasa lelah dan sakitnya seolah lenyap ditelan gelombang kecemasan. “Apa yang sedang terjadi? Katakan!”“Nona Wu… dia... datang menemui Tuan Besar. Dia datang bersama begitu banyak Tetua Keluarga Wu yang berilmu tinggi! Sepertinya Tuan Besar marah besar dengan pembatalan sepihak pertunangan Tuan Muda! Tuan Besar juga sudah tahu semua yang dilakukan Nona Wu terhadapmu, Tuan Muda!”“Tuan Muda harus menghentikan Nona Wu sebelum semuanya terlambat! Sudah lama Keluarga Wu hendak menghancurkan Keluarga Shu yang menjadi keluarga nomor satu di Kota Lin’an ini agar keluarga mereka bisa naik,” jelas Lian Hua.“Maksudmu... semua kejadian ini adalah rencana besar dari Chao-Xing, iblis betina itu? Ia mencuri Darah Pedang Spiritual Keluarga Shu, mempermalukanku di hadapan seluruh cultivator ierutama di depan Patriark Wang Chengtian saat seleksi di Sekte Pedang Surgawi?” tanya Shu Jin.Tanpa menunggu jawaban Lian Hua, Shu Jin langsung berlari keluar ke halaman utama temp
"Argh!" Shu Jin terbatuk keras, tubuhnya terpental beberapa langkah sebelum jatuh berlutut di tanah berbatu.Sebuah pukulan yang tak terduga dari kekasihnya, Wu Chao-Xing dengan telak mendarat tepat di perutnya, tepat di bawah pusar—dantian, inti kekuatan spiritual seorang cultivator.Rasa sakit yang menusuk menjalar dari pusat tubuhnya, membuatnya menggigil. Napasnya memburu, tangannya refleks meraba perutnya, seolah berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi kenyataan lebih kejam dari yang bisa ia bayangkan.Dantian-nya… hancur.Mata Shu Jin melebar tak percaya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat ia mendongak menatap Wu Chao-Xing. "Xing'er… apa yang telah kau lakukan...?"Namun, gadis yang selama ini ia anggap sebagai belahan jiwanya kini berdiri dengan tatapan yang berbeda."Shu Jin!" Wu Chao-Xing mendengus, melipat tangannya dengan ekspresi jijik. "Aku sudah bersabar selama tiga tahun ini hanya demi hari ini!"Shu Jin terhuyung, matanya masih mencari secercah harapan bahwa ini







