Satu purnama berlalu dengan cepat, dantian di dalam tubuh Abinawa sudah terbuka dengan sempurna. Bukan hanya dantian, tetapi beberapa Meridian kecil di dalam tubuhnya ikut terbuka.
Satu hal yang paling mengejutkan, yaitu Abinawa langsung memiliki tenaga dalam berjumlah besar di dalam tubuhnya. Abinawa juga merasakan jika tubuhnya terasa begitu ringan dan bertenaga.
Tidak lama setelah itu, sosok yang di tunggu Abinawa akhirnya tiba. Dia adalah Girih Fatih yang datang untuk menjemput dirinya. Namun sosok Girih Fatih langsung menghentikan langkah kakinya saat merasakan aura dan tenaga dalam milik Abinawa.
"Mustahil, bagaimana mungkin kau sudah memiliki satu jule tenaga dalam." Girih Fatih langsung di buat terkejut dan berdecak kagum saat menyadari jika saat ini Abinawa sudah berada di tingkatan pendekar ahli dan tidak terlalu jauh dari pendekar raja.
"Apakah ada yang salah denganku guru?" Tanya Abinawa saat melihat gurunya berdiri kaku.
Girih Fatih segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Meskipun benar-benar terkejut dengan kemajuan yang di tunjukkan oleh Abinawa, dia tidak boleh terlalu berlebih-lebihan memuji dan menyanjungnya atau hal itu akan berdampak buruk bagi Abinawa ke depannya.
"Aku ucapkan selamat atas keberhasilanmu Abinawa, tapi ini masih sangat jauh dari hasil yang aku bayangkan." Girih Fatih tampak sengaja mengatakan jika Lanting Damar gagal memenuhi ekspektasinya.
Hal itu tentu di karenakan dia tidak ingin sosok yang berpuas diri dan menjadikan dirinya sosok yang angkuh dan sombong.
"Aku akan berusaha keras lagi guru, aku tidak akan mengecewakan dirimu." Abinawa menundukkan kepalanya.
Girih Fatih yang mendengar jawaban dari Abinawa tersenyum puas. Dia semakin yakin dengan bakat dan kerendahan diri dari Abinawa akan membawa dirinya menjadi salah satu yang terkuat di generasinya.
Setelah itu, Girih Fatih langsung mengajak Abinawa untuk segera kembali ke kediaman. Dia ingin Abinawa memulihkan diri dan kondisinya, agar saat memasuki fase latihan jurus, Lanting dapat berkonsentrasi dengan penuh dan baik.
***
Tidak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Tiga tahun sudah berlalu dengan sangat cepat dan tidak terasa.
Sosok pemuda gagah dan perkasa berdiri dengan tegap menghadap kepada seorang pria sepuh.
"Guru." Kata Abinawa.
"Kau sudah menyempurnakan semua ilmu kanuragan dan bela diri yang ku miliki, sudah saatnya kau menunjukkan dirimu pada dunia persilatan. Aku hanya berpesan satu hal, jangan gunakan apa yang ku ajarkan untuk menumpahkan darah membela kebatilan, akan tetapi gunakanlah untuk membela kebenaran sekalipun nyawa menjadi taruhannya." Jawab Girih Fatih.
"Aku mengerti guru, aku bersumpah demi langit dan bumi, aku tidak akan menggunakan ilmu kanuragan dan bela diri ini untuk menjadi penumpah darah dan pendekar haus darah." Abinawa bersujud di hadapan Girih Fatih untuk beberapa menit.
"Aku pamit guru." Lanjut Abinawa.
Abinawa memeluk gurunya dengan erat, sebelum melangkahkan kakinya berjalan menjauh dari gua gubuk sederhana yang menjadi kediaman dan tempat tinggalnya dalam beberapa tahun silam.
Dengan ilmu meringan tubuh dan petunjuk jalan yang di berikan oleh Girih Fatih, dalam beberapa jam saja sosok Abinawa sudah berhasil keluar dari hutan Tambahulu, salah satu hutan yang tersembunyi di balik Barisan Bukit Juvi. Hanya segelintir saja orang yang mengetahui keberadaan hutan tersebut.
Tempat pertama yang di temui oleh Abinawa saat pertama kali keluar dari hutan adalah sebuah desa kecil yang berada di balik kaki Bukit Juvi.
"Tuan, jikalau aku boleh bertanya, apakah di desa ini menyediakan penginapan?" Tanya Abinawa.
"Tuan bisa menemukan sebuah penginapan di tengah desa, tapi aku sarankan lanjutan perjalanan anda saja tuan, karena desa sedang dalam keadaan tidak baik." Jawab pria itu.
Abinawa yang mendengar perkataan jawaban dari pria itu mengernyitkan dahinya, "Apa sedang terjadi di desa ini?"
Pria itu tidak menjawab, dia hanya mengingatkan jika sayang dengan nyawa, maka segera tinggalkan desa ini. Setelah itu pria itu langsung berlalu meninggalkan Abinawa yang masih belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Merasa penasaran dan tidak puas dengan jawaban pria tadi, Abinawa akhirnya tetap melanjutkan langkah kakinya memasuki desa dan mencari penginapan yang di maksud oleh pria tadi.
Benar saja, sebuah penginapan sederhana berdiri dengan megah di antara bangunan lainnya.
"Aku rasa tidak ada yang salah dengan penginapan ini." Abinawa bergumam dengan pelan.
Setelah itu, Abinawa langsung melangkahkan kakinya memasuki bangunan penginapan tersebut. Tidak ada pelayan yang menyambut dirinya, bahkan penginapan ini terlihat sangat sepi dengan tamu dan pendatang. Tidak ada orang lain, kecuali seorang wanita paruh baya di meja tamu (Resepsionis).
"Aku ingin satu kamar, serta air beberapa mangkuk sup panas." Pinta Abinawa kepada wanita paruh baya itu.
Wanita paruh baya itu hanya diam, dia tampak ragu untuk menerima kedatangan dari Abinawa.
"Anak muda, apakah tidak ada orang yang memberimu peringatan untuk meninggalkan desa ini?" Tanya wanita paruh baya itu.
Abinawa yang mendengar hal itu, hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal untuk beberapa saat. "Tadi ada seseorang yang sama seperti dirimu yang menyuruhku untuk pergi, akan tetapi lihatlah langit begitu hitam dan sebentar lagi akan terjadi hujan besar, aku tidak mungkin melanjutkan perjalanan."
"Anak muda, terkadang hujan mungkin akan menjadi lebih baik, dari pada kau memilih untuk berteduh." Wanita paruh baya itu memberi peringatan kepada Abinawa untuk segera pergi.
Abinawa semakin kian bingung dan penasaran, sebenarnya apa yang terjadi di desa ini. Bahkan pemilik penginapan ini saja seakan mengusir dirinya untuk segera pergi.
"Nyonya, aku hanya ingin menginap satu malam saja ... Esok pagi aku akan lekas meninggalkan desa ini secepat yang aku bisa." Jelas Abinawa.
Wanita paruh baya hanya bisa tersenyum getir dan memberikan satu kunci kamar kepada Abinawa, "Aku sudah memberikan peringatan, tapi kau mengabaikannya ... Jadi jika terjadi yang tidak kau inginkan jangan menyalakan diriku."
Abinawa menganggukkan kepalanya dan langsung berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua. Dia tidak terlalu khawatir, selama bahaya yang datang tidak terlalu kuat, maka dia merasa masih bisa untuk mengatasinya.
Sebuah kamar sederhana, lengkap dengan dipan menjadi tempat istirahat bagi Abinawa.
"Sudah lama sekali rasanya tidak merasakan kenikmatan tempat tidur."
Sebelum menutup matanya, Abinawa memilih untuk melakukan olah pernafasan terlebih dahulu untuk menstabilkan tubuhnya.
Abinawa melakukan olah pernafasan selama kurang lebih 2 jam. Konsentrasi Abinawa terganggu saat merasakan beberapa aura menyebar tidak terlalu jauh dari tempat dirinya menginap.
"Aura hitam, kenapa terasa begitu dekat ... Apa mungkin hal inilah yang membuat warga desa ini mengusir diriku." Abinawa bergumam dengan kecil.
Karena merasa penasaran, Abinawa memilih untuk berjalan keluar dan melihat apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Abinawa cukup terkejut saat menemukan beberapa arwah atau hantu berkeliaran di desa ini. Dia merasakan aura jahat yang kuat dari dalam tubuh para hantu itu."Jadi ini yang membuat banyak warga desa mengusir diriku." Abinawa saat ini berada di atas genteng dan di tengah gelapnya malam, sehingga kehadirannya tidak di ketahui oleh para hantu tersebut.Selain itu, Abinawa juga menekan hawa kehadirannya dengan tenaga dalam. Mata Lanting Damar terus berusaha mengamati dan mengukur batas kemampuan, serta kekuatan yang di miliki oleh para hantu itu. "Mereka bukan masalah, aku yakin mampu mengalahkan mereka semua, tapi aku tidak menemukan siapa pengendali dari para hantu ini." Kata Abinawa dengan pelan.Abinawa tentu tidak ingin gegabah, dia ingin mengamati situasi terlebih dahulu agar tidak masuk dalam permainan yang sedang di mainkan oleh musuh.Abinawa menemukan jika terdapat dua orang yang berada di atas pohon yang sedang mengendalikan para hantu yang berkeliaran di desa."Dua orang pende
Ketika pertama kali masuk ke dalam gua, Abinawa menemukan banyak tanaman merambat memenuhi dinding gua. Beberapa batu juga di sudah tertutup rapat dengan lumut.Kondisi gua sendiri sangat lembab, karena sinar matahari tidak masuk hingga ke dalam gua."Gua ini benar-benar tidak pernah di masuki dalam waktu yang sangat lama." Abinawa bergumam sambil terus melangkahkan kakinya memasuki gua semakin dalam.Tidak ada jebakan ataupun halangan yang menghambat langkah kakinya. Hal ini tentu membuat Abinawa merasa aneh, tidak mungkin rasanya tempat sebuah penyimpanan pusaka tidak ada jebakan ataupun pelindung tertentu yang menjadi rintangan untuk memiliki pusaka tersebut.Walaupun merasa aneh, akan tetapi Abinawa tidak menghentikan langkah kakinya. Dia tetap melanjutkan perjalannya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Abinawa menemukan sebuah sumur tua dan jalan yang buntu."Tidak ada jalan? Ini tidak mungkin, apa ini hanya pengecoh agar semua pendekar menganggap senjata pusaka itu s
Abinawa dengan cepat kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan itu. Tidak ada halangan yang terlalu berat yang temukan oleh Abinawa, hanya beberapa jebakan kecil saja.Setelah menempuh perjalanan jauh di bawah tanah, Abinawa baru berhenti saat berada di dalam sebuah ruangan persegi empat. Tidak sama seperti sebelumnya, di dalam ruangan itu tidak ada patung batu, hanya sebuah ruangan persegi empat yang bersih dan di terangi oleh sebuah cahaya yang di hasilkan dari batu berlian."Ruangan ini sangat berbeda sekali dengan ruangan sebelumnya." Abinawa bergumam dengan pelan.Abinawa menemukan sebuah batu berbentuk pedang yang tertancap di batu besar yang berada di tengah ruangan persegi empat tersebut.Cukup lama Abinawa berpikir, sebelum menyentuh batu berbentuk pedang itu. Seketika saja tanah bergetar beberapa saat dan terjadi gempa bumi.Namun, hal itu tidak membuat Abinawa melepaskan genggamannya pada batu berbentuk pedang itu. Dia berusaha menarik paksa batu itu, karena hatinya y
Abinawa bergerak dengan cepat, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Dia melesat menuju markas sementara bagi kelompok Elang Hitam yang sedang melaksanakan misi.Jarak antara desa dan markas tidak cukup jauh untuk ukuran seorang pendekar. Keadaan markas masih sama seperti pertama kali Abinawa pantau, sepertinya kematian dari dua orang anggota mereka tidak mereka ketahui, artinya tidak ada ilmu yang mengikat mereka sehingga kematian mereka akan segera di ketahui oleh komandan.Ilmu pengikat sukma sudah cukup terkenal di dunia persilatan, namun ilmu ini di katakan sudah punah ratusan tahun silam. Keistimewaan dari ilmu ini sendiri yaitu dapat mengikat sukma seseorang untuk setia kepada pemilik ilmu tersebut, selain itu ilmu ini juga dapat mengetahui seseorang sudah mati atau masih hidup."Aku akan memulai dari yang lemah, hingga komandan pasukan ini." Abinawa kembali menarik pedang di punggungnya, dia melesat dengan cepat ke arah dua orang yang sedang berjaga. Hanya dalam beberapa
Markas sementara Elang Hitam benar-benar di buat porak-poranda oleh Abinawa. Beberapa anggota Elang Hitam sudah berjatuhan dan bersimbah darah.Ankara yang menjadi komandan pasukan ini hanya bisa tersenyum getir. Dia memutar otaknya berusaha mencari celah Abinawa untuk menyelamatkan diri."Ingin melarikan diri, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Tidak ada jawaban dari Ankara, dia mulai menyadari jika sosok Abinawa tidak sederhana, sosok yang haus darah. "Kita tidak pernah bertemu sebelumnya saudaraku, aku rasa kita juga tidak pernah terlibat masalah."Ankara berusaha mencari celah untuk berdamai dengan sosok Abinawa, karena dia menyadari jika dia tidak akan mungkin mampu menang jika pertarungan kembali di mulai."Haha, ingin berdamai setelah kau mengetahui batas kemampuan yang kau miliki? Apakah seperti ini mental anggota Elang Hitam, sungguh memalukan sekali."Ankara akhirnya memilih menggenggam erat pedangnya, dia sadar tidak ada tawar-menawar dari Lanting Damar. Oleh seba
Gerbang Kota Bandar Agung terlihat begitu ramai hari ini, antrian di depan gerbang terlihat sangat panjang. Terlihat berbagai kalangan berada di dalam antrian tersebut."Antrian yang sangat panjang." "Sebaiknya kita mencari tempat istirahat terlebih dahulu Lanting." Ajak Tuk Hawi.Abinawa memang memilih untuk terus bersama dengan Tuk Hawi, paling menimal sampai mereka berada di dalam Kota Bandar Agung. Hal itu tentu karena Lanting Damar sudah tidak memiliki identitas diri dan akan membuat dirinya sulit untuk masuk ke dalam kota."Terimakasih atas kebaikan Tuk Hawi, jika tidak bersama dengan Tuk Hawi mungkin saya akan kebingungan mencari jalan untuk masuk ke dalam Kota Bandar Agung ini." Sekali lagi Abinawa mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Tuk Hawi atas kebaikannya."Haha, tidak usah terlalu kau pikirkan, kau juga sudah menjaga keselamatan diriku dengan baik selama perjalanan tadi, sudah sepantasnya bukan aku juga membantumu sekali lagi." Balas Tuk Hawi.Abinawa yang mendengar
Sayembara Pendekar Muda benar-benar menjadi ajang yang di minati oleh banyak pendekar muda, bahkan hampir semua pendekar muda berhasrat untuk dapat ambil bagian dalam Sayembara.Beruntung bagi mereka yang berasal dari sekte besar dan ternama, karena tidak harus melalui babak uji kelayakan. Bagi mereka yang berasal dari sekte kecil ataupun pendekar tanpa sekte, harus melalui babak uji kelayakan jika ingin ambil bagian dalam Sayembara."Kau pendekar tanpa sekte? Apa kau yakin akan tetap ikut andil setelah melihat sekte besar ikut ambil bagian?" Tanya petugas itu dengan pelan."Tentu, aku semakin bersemangat. Sangat jarang berkesempatan beruji tanding dengan mereka yang berasal dari sekte besar. Aku tentu tidak akan melewatkan momen seperti ini." Abinawa menjawab dengan semangat.Petugas yang mendengar jawaban dari Abinawa hanya menganggukkan kepalanya. Dia merasa kagum dengan kepercayaan diri yang di miliki oleh Abinawa, tidak banyak pendekar yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi s
Suasana kedai dengan cepat menjadi gaduh dan tegang saat tiga orang berbadan besar dan berwajah seram menghampiri meja dua orang pemuda pemudi.Bahkan salah satu dari tiga orang pria itu sudah menarik pedang dari selongsongnya, "Duduk kembali atau kepalamu akan berpisah dari badan."Abinawa hanya tersenyum tipis, lantas berkata, "Lakukan, jika kau memiliki kekuatan untuk melakukannya?"Abinawa melemparkan tantangannya kepada pria yang menarik senjata itu, tidak ada rasa takut yang menyelimuti tubuhnya."Kau menantang diriku? Benar-benar sudah bosan hidup." Pria itu dengan cepat mengayunkan pedangnya mengincar batang leher Abinawa.Namun gerakan dari Abinawa jauh lebih cepat dari ayunan pedang pria itu. Satu pukulan keras mendarat tiga detik lebih cepat di bagian pergelangan tangan pria itu, hingga pegangannya pada pedangnya terlepas."Bagaimana bisa? Kau seorang pendekar!!" Pria itu mengumpat dengan keras, dia tidak menduga jika Abinawa merupakan pendekar yang memiliki kemampuan di at