Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.
“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.
“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.
Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.
“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.
“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.
“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.
Tanaka menghela napas.
“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.
Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.
Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahnya.
“Kalau saja bopeng-bopeng ini berbuah menjadi kulit wajah yang mulus, mungkin aku akan lebih tampak dari Putra Mahkota itu,” gumam Tanaka. “Lihat saja hidungku! Mancung sekali. Lihat saja mataku! Cekolat dan tampak indah.”
Tanaka mencuci wajahnya lalu kembali mengenakan topengnya. Dia pun meraih guci dan hendak mengisinya dengan air. Tak lama kemudian dia mendengar suara teriakan seorang perempuan di atas tebing. Tanaka terbelalak melihat Putra Mahkota hendak mendorong seorang gadis dari atas tebing itu.
“Terima cintaku atau aku dorong tubuhmu ke bawah sana!” ancam Putra Mahkota pada gadis itu.
“Lebih baik aku mati daripada harus menerima cintamu!” teriak gadis itu.
“Ayahmus udah mati! Hidupmu sudah selesai! Kau akan bahagia jika menerima cintaku dan menjadi istriku!” teriak Putra Mahkota.
Gadis itupun meludahi wajah Putra Mahkota. Seketika dia dorong tubuh kurus gadis itu hingga tubuhnya terjatuh ke bawah sana. Gadis itu berteriak ketakutan. Putra Mahkota dan prajuritnya langsung pergi dari sana.
Tanaka langsung meletakkan gucinya kembali ke atas batu lalu menyelam ke dalam sungai saat melihat gadis itu berteriak meminta pertolongan karena tidak bisa berenang. Tanaka pun menarik tangan gadis itu lalu membawanya ke tepi sungai.
Tanaka bingung melihat gadis itu tampak pingsan. Dia panik sendiri lalu mengguncang-guncang tubuh gadis itu.
“Hei, bangun!” teriak Tanaka dengan panik.
Tanaka pun mencoba menekan-nekan dada perempuan itu agar air yang ditelannya keluar. Namun perempuan yang sedang pingsan itu tidak juga memuntahkan air dari perutnya. Tanaka semakin panik. Lalu dia memeriksa napas perempuan itu. Tanaka terkejut mengetahui perempuan itu tidak bernapas lagi. Dia pun langsung mencium gadis itu lalu meniupkan napasnya ke mulut gadis itu. Tak lama kemudian gadis itu bergerak. Tanaka menarik wajahnya. Gadis itu memuntahkan air yang banyak. Tanaka tampak lega melihatnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Tanaka.
Gadis itu berusaha untuk duduk. Namun tubuhnya yang lemah tak bisa digerakkannya. Tanaka pun mencoba membantunya untuk duduk. Seketika Tanaka terpana dengan kecantikan wajah gadis itu. Matanya tidak berkedip lagi. Selama dia tumbuh menjadi sebesar itu, baru ini dia melihat seorang gadis berparas secantik itu.
Gadis itu heran.
“Hei,” panggilnya.
Tanaka terkejut.
“Kau baik-baik saja?” tanya Tanaka menyimpan kegugupannya.
“Aku baik-baik saja,” jawab gadis itu. “Terima kasih telah menyelamatkan aku.”
Tanaka hanya mengangguk.
“Bolehkah kau buka topengmu? Aku ingin melihat wajahmu agar aku tahu siapa pahlawanku ini,” pinta gadis itu.
Tanaka langsung berdiri.
“Namaku Tanaka! Maaf aku harus mengambil air! Ibuku sudah menunggu!” ucap Tanaka bergegas meninggalkannya menuju gucinya.
“Kenapa kau tidak mau membuka topengmu? Apa ada sesuatu yang membuatmu malu menunjukkannya?” tanya gadis itu.
Tanaka tidak menggubris panggilannya. Dia tidak mau terhipnotis lagi akan paras cantikanya.
“Panggil aku Bimala! Putri dari Kepala Wilayah! Jika kau sudah siap menunjukkan wajahmu padaku, datanglah ke kediamanku! Aku akan menyiapkan jamuan sebagai ucapan terima kasihku!” teriak gadis itu.
Tanaka terkejut mendengarnya.
“Putri dari Tuan Kepala Wilayah?” tanya Tanaka dalam hatinya tak percaya.
Seketika dia merasa bersalah karena dialah yang membunuh ayahnya. Tanaka pun buru-buru meraih gucinya yang sudah diisinya dengan air itu lalu secepat kilat dia menghilang dari pandangan Bimala. Bimala terkejut.
“Kemana dia? Kenapa secepat itu dia menghilang?” tanya Bimala dengan heran.
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun
Bimala melangkah sendirian sambil membawa buntalan kain. Matanya begitu awas. Jika mendengar sesuatu yang mencurigakan, dia langsung mencabut pedangnya dan kembali meletakkannya di tempat semula jika tidak menemukan yang ditakutkannya. Dia masih trauma dengan sikap Putra Mahkota selama ini. Ya, saat Putra Mahkota mengadakan pesta di istana, dia mengundang seluruh kepala wilayah di negeri Manggala. Saat itu ayahnya dan dirinya datang ke istana, sejak itulah Putra Mahkota tertarik padanya.Bimala heran, saat Putra Mahkota datang membawa pasukannya. Dia memberikan hadiah yang banyak kepada ayahnya dan juga untuk dirinya. Ayahnya menyambut baik kedatangannya. Dia merasa terhormat melihat Putra Mahkota datang mengunjunginya. Hal yang langka dan untuk pertama kalinya seorang Putra Mahkota mengunjungi Tuan Kepala Wilayah. Dan saat itulah Putra Mahkota terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Bimala.“Aku tidak suka dengannya, Ayah,” ucap Bimala pada Gautam.“Kenapa kau tidak suka padan
Bimala mendekat pada Tanaka dengan haru.“Terima kasih telah menyelamatkanku,” ucap Bimala.Tanak kikuk.“Sudah menjadi kewajiban umat manusia untuk melindungi sesama manusia,” jawab Tanaka gugup.“Katanya kau pergi?” tanya Bimala.Tanaka salah tingkah, dia takut Bimala mengetahui bahwa saat dia menghilang darinya tadi sebenarnya tidak pergi, melainkan mengikutinya diam-diam dari atas pohon dengan jurus Mengibas-Ngibas Angin dalam Kendi. Jurus yang bisa membuatnya seperti berjalan di atas udara. Hingga kakinya yang melompati pohon demi pohon tak terdengar suara pijakannya.“Malam membuat telingaku lebih jeli mendengar suara,” jawab Tanaka gugup. “Makanya aku tahu ada yang menyerangmu.”Bimala tersenyum. “Kau mengikutiku ya?”“Tidak!” jawab Tanaka gugup.“Bilang saja kalau kau diam-diam mengikutiku,” ucap Bimala tersenyum.“Sumpah! Aku tidak mengikutimu!” ucap Tanaka gugup, untung saja dia mengenakan topeng hingga kegugupannya tidak dapat terbaca oleh gadis itu.“Ya sudah,” ucap Bimala
Prajurit itu rubuh di hadapan Yosadana, sang Putra Mahkota di kerajaan Manggala. Yosadana heran. “Mana Bimala?” tanyanya geram. “Kami tidak berhasil membawanya ke sini, Yang Mulia,” ucap prajurit itu memegangi dadanya yang sakit akibat terkena jurus Tendangan Angin Duduk dari Tanaka. Mendengar itu Yosadana malah menginjak dada prajuritnya. “Kenapa kalian tidak bisa membawanya ke sini?!” tanya Yosadana dengan geram. Prajuritnya tak bisa bicara kaki Putra Mahkota terlalu kuat menginjak dadanya. Yosadana pun menujuk kaki Putra Mahkota agar diangkat supaya dia bisa bicara padanya. Putra Mahkota pun mengangkat kakinya. “Ada seorang pendekar bertopeng yang menyelamatkannya,” jawab prajurit itu. Yosadana terbelalak mendengarnya. “Siapa dia?” “Saya tidak tahu, Yang Mulia!” Putra Mahkota kembali menginjak perut prajurit itu hingga dia kesakitan lalu tidak bisa benapas lagi. Putra Mahkota semakin menekan telapak kakinya hingga kini prajuritnya memuntahkan darah lalu tak lagi bernapas.