“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun
Bimala melangkah sendirian sambil membawa buntalan kain. Matanya begitu awas. Jika mendengar sesuatu yang mencurigakan, dia langsung mencabut pedangnya dan kembali meletakkannya di tempat semula jika tidak menemukan yang ditakutkannya. Dia masih trauma dengan sikap Putra Mahkota selama ini. Ya, saat Putra Mahkota mengadakan pesta di istana, dia mengundang seluruh kepala wilayah di negeri Manggala. Saat itu ayahnya dan dirinya datang ke istana, sejak itulah Putra Mahkota tertarik padanya.Bimala heran, saat Putra Mahkota datang membawa pasukannya. Dia memberikan hadiah yang banyak kepada ayahnya dan juga untuk dirinya. Ayahnya menyambut baik kedatangannya. Dia merasa terhormat melihat Putra Mahkota datang mengunjunginya. Hal yang langka dan untuk pertama kalinya seorang Putra Mahkota mengunjungi Tuan Kepala Wilayah. Dan saat itulah Putra Mahkota terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Bimala.“Aku tidak suka dengannya, Ayah,” ucap Bimala pada Gautam.“Kenapa kau tidak suka padan
Bimala mendekat pada Tanaka dengan haru.“Terima kasih telah menyelamatkanku,” ucap Bimala.Tanak kikuk.“Sudah menjadi kewajiban umat manusia untuk melindungi sesama manusia,” jawab Tanaka gugup.“Katanya kau pergi?” tanya Bimala.Tanaka salah tingkah, dia takut Bimala mengetahui bahwa saat dia menghilang darinya tadi sebenarnya tidak pergi, melainkan mengikutinya diam-diam dari atas pohon dengan jurus Mengibas-Ngibas Angin dalam Kendi. Jurus yang bisa membuatnya seperti berjalan di atas udara. Hingga kakinya yang melompati pohon demi pohon tak terdengar suara pijakannya.“Malam membuat telingaku lebih jeli mendengar suara,” jawab Tanaka gugup. “Makanya aku tahu ada yang menyerangmu.”Bimala tersenyum. “Kau mengikutiku ya?”“Tidak!” jawab Tanaka gugup.“Bilang saja kalau kau diam-diam mengikutiku,” ucap Bimala tersenyum.“Sumpah! Aku tidak mengikutimu!” ucap Tanaka gugup, untung saja dia mengenakan topeng hingga kegugupannya tidak dapat terbaca oleh gadis itu.“Ya sudah,” ucap Bimala
Prajurit itu rubuh di hadapan Yosadana, sang Putra Mahkota di kerajaan Manggala. Yosadana heran. “Mana Bimala?” tanyanya geram. “Kami tidak berhasil membawanya ke sini, Yang Mulia,” ucap prajurit itu memegangi dadanya yang sakit akibat terkena jurus Tendangan Angin Duduk dari Tanaka. Mendengar itu Yosadana malah menginjak dada prajuritnya. “Kenapa kalian tidak bisa membawanya ke sini?!” tanya Yosadana dengan geram. Prajuritnya tak bisa bicara kaki Putra Mahkota terlalu kuat menginjak dadanya. Yosadana pun menujuk kaki Putra Mahkota agar diangkat supaya dia bisa bicara padanya. Putra Mahkota pun mengangkat kakinya. “Ada seorang pendekar bertopeng yang menyelamatkannya,” jawab prajurit itu. Yosadana terbelalak mendengarnya. “Siapa dia?” “Saya tidak tahu, Yang Mulia!” Putra Mahkota kembali menginjak perut prajurit itu hingga dia kesakitan lalu tidak bisa benapas lagi. Putra Mahkota semakin menekan telapak kakinya hingga kini prajuritnya memuntahkan darah lalu tak lagi bernapas.
Istana Kerajaan Banggala tampak megah. Bagunan-bangunan tinggi terbuat dari kayu dan bambu begitu tinggi menjulang. Di alasi bebatuan pipih yang dijadikan sebagai lantainya. Pagar istana terbuat dari bebatuan yang diukir dan dikunci dengan memasukkan paku batu dengan cara melubangi bagian batu untuk penguncunyinya. Atap-atapnya terbuat dari anyaman jerami yang menghitam. Tahan dari panas dan hujan. Istana itu begitu luas. Dikelilingi pagar batu yang tinggi. Untuk memasuki istana itu harus memasuki tujuh gerbang berlapis-lapis. Pagar istana juga dibuat berlapis-lapis agar menjadi pertahanan yang kuat dan tidak gampang dimasuki penyusup. Setiap gerbangnya dijaga ketat oleh para prajurit terbaik kerajaan itu.Bagunan yang paling tengah adalah bangunan utama. Tempat Raja berkumpul dengan para pembesar istana untuk berunding atau memberikan titah pada para pejabat istana. Bagunan itu adalah bangunan yang paling besar dari bangunan lainnya. Di sebelah kanannya adalah kediaman Raja dan Perma