Share

Bab 4

Wajah Zakir langsung berubah mendengarnya. "Ayah, rasanya kurang patut kalau begini!"

Yoga mengerutkan kening ke arah Zakir dan berkata dengan tidak senang, "Teguh sudah calon yang paling cocok. Apa ada masalah?"

"Aku …"

"Ayah, menurutku, mereka 'kan baru ketemu sekali. Mereka belum saling kenal, apa nggak terlalu cepat kalau langsung menikah?" jelas Zakir dengan ekspresi suram.

"Menikah dulu. Seiring waktu juga bisa saling mengenal!"

Sebagai kepala keluarga, kata-kata Yoga di keluarga Yulianto adalah perintah mutlak. "Sudah Diputuskan!" tukasnya tegas.

Rina tidak mengatakan apa-apa dan melirik Teguh.

Teguh langsung paham maksud Rina. "Pak Yoga ..."

Yoga menyela di tengah kalimat Teguh dan menekankan, "Teguh, kita 'kan keluarga. Panggil aku Kakek!"

"K ... Kakek Yoga."

Teguh merasa tidak berdaya. "Aku juga merasa kurang baik kalau menikah begini. Menikah harus dengan persetujuan satu sama lain."

"Teguh, jangan khawatir!"

Yoga menyela Teguh lagi dan berkata, "Rina adalah anak yang penurut. Asalkan kamu nggak nolak, dia pasti setuju menikah denganmu."

"Ayah, kata yang mau menikah saja ini kurang baik. Sebaiknya jangan dipaksa ..."

"Diam!"

Yoga menatap Zakir tajam, kemudian berkata dengan ramah kepada Teguh, "Teguh, kalau masih ada yang mengganjal, langsung bilang saja!"

"Aku …"

Teguh terbata-bata cukup lama, baru akhirnya terpikir alasan bagus. "Kakek Yoga, menikah perlu persiapan dokumen, lamaran, seserahan, maskawin, tapi aku nggak bawa apa-apa hari ini."

"Semua itu nggak perlu!"

Yoga mengibaskan tangannya. "keluarga Yulianto nggak perlu maskawin darimu. Nggak perlu proses ribet-ribet. Kamu langsung saja menikah dengan Rina."

"Begini saja!"

"Kalau kamu merasa nggak punya kerjaan, biar kuberi kamu lima persen saham Grup Jagaraga, asalkan kamu dan Rina menikah sekarang juga!"

Kata-kata Yoga seperti guntur yang menggelegar di telinga semua orang yang berada di sana, membuat mereka termangu.

Lima persen saham!

Sudah gila!

Setelah tersadar dari rasa terkejut, keluarga Yulianto buru-buru membujuknya, "Kakek, saham Grup Jagaraga nggak bisa buat main-main. Kurang patut kalau dia pegang terlalu banyak!"

Yoga sudah mantap dengan keputusannya. "Tubuh tuaku ini masih hidup. Keputusan keluarga Yulianto masih ada di tanganku," tuturnya tegas.

Melihat kekukuhan Yoga, seketika Teguh tertegun dalam hatinya. Orang mana yang mau menikahkan cucu perempuannya tanpa maskawin atau ritual pernikahan?

Terlebih lagi.

Apa maksudnya melimpahkan saham perusahaan besar-besaran?

Teguh tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

Jika terjadi sebelum ini, mungkin dia akan terkesan dengan kesungguhan hati Yoga. Namun, dia sudah berjanji pada Rina bahwa dia yang akan minta pernikahannya dibatalkan.

Saat Teguh ingin lanjut menolak, suara dingin Rina tiba-tiba terdengar. "Kakek, aku menurut saja."

Teguh yang terpaku langsung menoleh ke arah Rina.

Kenapa dia setuju?

Bukannya barusan dia menolak pernikahan ini?

Yoga terkekeh, "Teguh, lihat sendiri 'kan? Rina sudah setuju untuk menikah denganmu. Apa lagi yang kamu khawatirkan?"

"Aku …"

Teguh tertegun, tak bisa berkata-kata.

Dengan ini, Teguh dan Rina pun menikah.

Teguh tampak tidak berdaya menatap akta nikah di tangannya. "Sudah menikah, begini saja?"

Jika perkara ini dikabarkan ke timur sana, para prajurit Pasukan Serigala pasti akan terkejut mendengar Raja Serigala menikah dengan terburu-buru seperti ini.

Teguh dan Rina berdiri berdampingan. Semakin lama memandangnya, hati Yoga terasa semakin senang. "Rina, karena sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri, bawalah Teguh pulang ke rumahmu!"

"Harapan terbesarku sekarang adalah melihat empat generasi di satu rumah. Kalian harus kerja keras, jangan buat aku menunggu terlalu lama."

Wajah Rina merona mendengar ucapan Yoga.

Setelah meninggalkan kediaman keluarga Yulianto, mereka mendekati mobil Ferrari yang terparkir di gerbang.

Menatap Rina di kursi kemudi, Teguh bertanya, "Nona Rina, kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?"

"Nggak usah berpikir macam-macam, pernikahan ini cuma pura-pura." Suara Rina masih terdengar dingin.

Teguh terbungkam beberapa saat dan memandang akta nikah yang dipegangnya. "Apa karena lima persen saham yang dijanjikan kakekmu itu?"

"Benar."

Rina tidak menyembunyikannya dan berkata blak-blakan, "Ayahku anak pertama. Sudah seharusnya dia mewarisi keluarga Yulianto, tapi paman keduaku selalu mempersulit."

"Kalau keluarga kami dapat lima persen saham Grup Jagaraga, kami bisa punya kekuasaan lebih besar di Grup Jagaraga!"

"Jadi, kamu harus pura-pura jadi suami istri denganku."

Mata jernih Rina menatap Teguh, dia melanjutkan, "Kakekku kurang sehat, kuharap kamu mau kerja sama denganku dan pura-pura sebaik mungkin. Jangan sampai dia tahu yang sebenarnya."

"Paling nggak tiga atau empat bulan, aku pasti bisa cari alasan bagus dan menceraikan kamu."

"Tenang saja, nanti aku akan memberimu uang yang banyak. Kujamin hidupmu nyaman."

Teguh hanya mengedikkan bahu dengan senyuman tak acuh terulas di wajahnya.

Dia hanya mematuhi perintah gurunya untuk balas budi kepada keluarga Yulianto. Tidak masalah apa pun itu keinginan Rina.

Lagi pula, semuanya akan berakhir dalam tiga atau empat bulan.

Teguh mengangguk. "Oke."

Melihat Teguh sangat "patuh", kesan pria itu di hati Rina sedikit berubah dan sikap dinginnya agak mengendur.

Dia menginjak pedal gas. Mobil pun meluncur di jalan menjauh dari kediaman keluarga Yulianto.

Vila milik Rina terletak di Bahari Indah.

Bahari Indah adalah salah satu perumahan termahal di Kota Senggigi. Yang bisa membeli rumah di sana hanyalah kolongmerat kaya.

Di lokasi terbaik di Bahari Indah, terdapat sebuah vila dua lantai seluas 300 meter.

Sebuah Ferrari merah menyala melaju memasuki halaman vila. Rina melangkah keluar dari mobil dengan kaki jenjangnya.

"Ini rumahku!"

Rina langsung berjalan menuju ruang tamu dan duduk santai di sofa, memandang Teguh dengan sepasang mata memikatnya. "Karena kamu harus tinggal di sini beberapa bulan, maka kita harus buat perjanjian!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status