"Toako, kamu sudah keterlaluan!" suara Tetua Wang meledak di dalam aula utama, menggema di antara pilar-pilar batu yang menjulang seperti penjaga bisu. Matanya yang biasanya tenang kini menyala penuh amarah, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana mungkin kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?! Tian’er masih muda! Masih ada harapan untuknya! Kau tahu sendiri, jika segel-segel dalam tubuhnya berhasil terbuka, siapa tahu nasibnya bisa berubah!"
Udara seketika terasa berat. Aroma dupa yang menyala di sudut ruangan mendadak menusuk hidung, seolah turut merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
Shin Long menyilangkan tangan di dadanya, sorot matanya dingin seperti es yang tak mencair meski di hadapan bara api. Ia melirik Shin Tian dengan tatapan kosong yang bahkan lebih menyakitkan daripada kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya.
Tidak ada rasa peduli dan rasa hangat dari seorang ayah yang terpancar dari dalam tubuhnya. Bahkan menganggap Shin Tian sekedar murid perguruan Keluarga Besar Shin saja tidak pernah terlintas dalam benaknya. Baginya, Shin Tian adalah aib yang harus disembunyikan atau dilenyapkan agar tidak membuat keluarga Besar Shin mau di hadapan dua keluarga besar lainnya di Kota Xian Jin.
"Jangan naif, Tetua Wang," katanya dengan suara rendah namun tajam, seperti pisau yang mengiris pelan-pelan. Bahkan Shin Long tidak menganggap Shin Wang sebagai adik kandungnya karena telah melindungi Shin Tian.
"Sudah berapa banyak ahli mencoba membuka segel kultivasinya sejak dia kecil? Dan apa hasilnya? Luka-luka, kehancuran. Energi dalam tubuhnya bukan sesuatu yang bisa dikendalikan oleh manusia biasa. Itu bukan kekuatan... itu kutukan. Itu milik iblis."
Sejenak, waktu terasa berhenti bagi Shin Tian.
Kata-kata itu menghantamnya lebih kuat dari serangan jurus apa pun. Tubuhnya berguncang. Tangan remajanya yang kurus mengepal kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih. Dadanya naik turun dengan cepat, matanya berkaca-kaca meski ia mencoba sekuat tenaga menahannya.
"Dari orang lain aku bisa menerima hinaan..." pikirnya, napasnya tercekat di tenggorokan. "Tapi dari ayahku sendiri... orang yang paling aku kagumi..."
Shin Long, sang kultivator agung kota Xian Jin—sosok yang dielu-elukan, dihormati bahkan oleh dua keluarga besar lainnya—telah menjadi bayangan gelap bagi hatinya sendiri.
Shin Tian pernah bermimpi... berdiri di samping ayahnya, mengenakan jubah kultivator, disambut sorak warga kota, menjadi kebanggaan keluarga. Tapi kenyataan kini seperti pisau yang menusuk perlahan.Harapan itu menjadi sirna begitu mendengar kata-kata kejam dari ayahnya.
Dan akhirnya... ia tak bisa menahan gejolak itu lagi.
"Ayah!!" serunya, suaranya pecah oleh amarah dan kepedihan yang selama ini terpendam. "Tega sekali ayah bilang aku punya kekuatan iblis! Selama ini aku sudah berusaha! Aku ingin ayah bangga... tapi segel ini... aku bahkan tidak tahu bagaimana cara membukanya! Aku juga tidak mau terlahir begini!! Apakah itu salahku?!"
Nada tangis di suaranya menggema di seluruh aula. Wajahnya memerah, air mata mulai membasahi pipinya. Setiap kata yang keluar terasa seperti tetes darah dari luka yang sudah lama menganga.
Tetua-tetua lain yang berdatangan juga menunduk, sebagian menghela napas panjang, sebagian menghindari tatapan—seolah tak kuasa menahan rasa bersalah.
Shin Tian berdiri terpaku, matanya menatap sosok ayahnya yang tetap membatu, tanpa sedikit pun ekspresi empati.
"Mungkin... mungkin benar kata Ayah," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Aku ini hanya jenius yang tak berguna..."
Tangannya meremas kain jubahnya sendiri. Ia ingat berapa banyak waktu ia habiskan mempelajari teknologi kuno, menciptakan alat-alat canggih yang bahkan para tetua tidak pahami. Tapi semua itu... tidak ada artinya di dunia yang hanya menghargai kekuatan kultivasi.
"Siapa peduli kalau aku bisa membuat alat terbang, atau menstabilkan formasi pelindung desa? Yang mereka inginkan hanyalah... kekuatan bela diri."
Angin pagi yang masuk dari celah-celah jendela kayu terasa lebih dingin dari biasanya, menyentuh kulitnya yang basah oleh air mata.
Dalam diamnya, harapannya luruh. Bukan karena ia tak bisa membuka segel, tapi karena orang yang seharusnya percaya padanya... bahkan sejak awal tidak pernah melakukannya.
Shin Tian masih terduduk di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. Jantungnya berdegup keras, seperti genderang perang yang belum berhenti ditabuh. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menusuk kulit seperti tetesan es. Tangannya yang sempat bergetar perlahan terangkat, menyeka pelipisnya dengan punggung tangan—gerakan kecil, tapi penuh tekad untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris lenyap.Nafasnya belum stabil. Tapi ia memaksa dirinya berdiri.Lantai batu di bawahnya terasa kasar, dan debu dupa serta lingkaran garam masih memancarkan aroma hangus dan pahit yang menggantung di udara, seolah mencoba menahan siapa pun yang hendak melangkah keluar dari ruangan setengah lingkaran itu.***Langkah mereka bertiga menggema di lorong batu yang sunyi, hanya ditemani oleh bunyi lembut kain jubah yang bergesekan dan napas mereka yang mulai berat. Dinding-dinding tua Biara terasa dingin, seolah menyerap ketegangan yang mulai menggumpal di udara. Saat mereka tiba di aula depan B
Seketika udara di dalam Biara terasa berubah. Tenang yang sebelumnya mendominasi berubah menjadi tegang dan penuh antisipasi. Angin tipis masuk dari lorong, membawa serta aroma asing—seperti asap logam dan debu kuno.Tabib Tao menurunkan botol ramuan dengan hati-hati. Cairan di dalamnya tiba-tiba berhenti mendidih, seolah ikut membeku oleh ketegangan situasi.“Kau yakin?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun terasa berat.Shin Lin tak menjawab. Ia melangkah maju, pelan tapi pasti, pedangnya terangkat setengah. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Di matanya, ada kilau bahaya. Ia tahu ... siapa pun yang bisa membuka gerbang Biara bukanlah orang biasa.Dan kunci dari masa yang sama—itu bukan sekadar benda. Itu adalah pengetahuan. Warisan. Sebuah bagian dari rahasia besar yang telah lama terkubur.Sebuah langkah terdengar dari kegelapan lorong. Satu. Dua. Pelan. Penuh keyakinan.Shin Lin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jari menggenggam gagang pedang lebi
Kabut laut turun lebih tebal dari biasanya malam itu.Seperti selimut hantu yang menjulur dari langit ke laut, kabut itu menggulung perlahan, membungkus Biara Senja Laut dengan keheningan yang menggigit hingga ke tulang. Bau asin laut tercampur samar dengan aroma garam basah dan sesuatu yang lebih tua—bau waktu yang meluruh, seperti lembaran naskah tua yang terbakar perlahan.Biasanya, lentera biru yang tergantung di sepanjang dinding batu Biara akan berkelip riang, seolah menari mengikuti angin malam. Namun malam ini, cahaya mereka bergetar, surut dan redup seperti napas terakhir lilin yang kehabisan udara.Di kejauhan, suara kayuhan kayu pelan tapi mantap menyentuh permukaan air. Cekkk... cekkk... Suara itu datang dari arah laut terbuka, terdengar jelas di antara dengung ombak yang murung. Gelombang kecil menggulung perlahan, membawa bayangan hitam pekat—sebuah perahu kecil, ramping, dan tak bercahaya.Seolah ia tidak menantang malam, tetapi adalah bagian darinya.Seseorang berdiri
Langit Kota Quilin dipenuhi awan berat ketika Shin Tian, Shin Lin, dan Tabib Tao meninggalkan rumah yang telah hancur malam sebelumnya. Tidak ada waktu untuk pemulihan penuh. Jejak mereka sudah terendus. Sekte Ular Berkepala Dua takkan menyerah setelah gagal dua kali.“Biara Senja Laut,” ucap Tabib Tao sambil memberikan peta dari gulungan kulit rusa. “Tersembunyi di balik tebing kabut di selatan. Hanya bisa dicapai melalui jalur rahasia. Mereka bukan sekte, tapi mereka menampung para pelarian berbakat—selama kau tidak membawa masalah ke dalam dinding mereka.”Shin Lin menerima peta itu dengan sorot mata serius. “Kalau mereka bisa menyembunyikan aura Shin Tian, kita harus ke sana.”Mereka bergerak cepat. Tanpa kereta, tanpa tanda. Hanya langkah kaki di jalur belakang pasar Quilin, melalui gang-gang tua yang bau besi, jelaga, dan masa lalu.Sepanjang perjalanan, Shin Tian lebih banyak diam. Tatapannya kosong ke depan, kadang memandangi telapak tangannya sendiri seolah ingin mengingat se
Langit Kota Quilin malam itu tampak muram, seolah mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar hujan yang tertunda. Di luar rumah Tabib Tao, angin membawa aroma debu dan kematian yang samar. Lentera-lentera jalan bergoyang pelan, cahaya mereka berkedip tak wajar, seperti dicekik oleh kabut yang terlalu tebal.Di dalam rumah, Shin Tian berbaring tak sadar, tubuhnya berkeringat meski udara dingin menusuk tulang. Sejak pembacaan energi oleh Tabib Tao sore tadi, tubuhnya terus berkedut. Aura asing di dalam dirinya mulai menggeliat, seolah menyadari bahwa ia telah ditemukan.Tabib Tao duduk bersila di sudut ruangan, menggambar formasi pelindung dengan kuas darah phoenix. Matanya cekung dan wajahnya lebih pucat dari biasanya. "Kunci dalam tubuhnya … mulai bangkit sebelum waktunya," gumamnya.Shin Lin berdiri di samping pintu, pedangnya sudah terhunus, mata tak berkedip memandangi jendela yang mulai berembun. Angin tidak seharusnya masuk. Tapi ada sesuatu … atau seseorang …
Langkah mereka terhenti di depan gerbang luar Kota Quilin—gerbang batu raksasa dengan ukiran naga dan burung fenghuang yang saling melilit, seolah sedang bertarung abadi. Para penjaga bersenjata berdiri di kedua sisi, mata mereka tajam memeriksa setiap pendatang yang lewat. Di balik gerbang, Quilin berdetak dengan denyut kehidupan: suara lonceng pasar, bau roti panggang, dan seruan para pedagang berbaur dalam harmoni kekacauan yang hanya dimiliki kota besar.Shin Tian berdiri terpaku sejenak. Pakaian mereka yang penuh debu dan darah kering mencolok di tengah warga kota yang sibuk. Tapi Shin Lin, tanpa banyak bicara, menyerahkan sehelai gulungan surat ke penjaga.“Surat dari Master Wang, ditujukan pada Tabib Tao,” ucapnya tegas.Penjaga itu membaca cepat, alisnya naik sedikit saat melihat segel merah Dewa Alkemis. Ia memberi anggukan, lalu melambaikan tangan. “Kalian boleh masuk. Tapi Tabib Tao ... sudah lama tak menerima tamu. Dia aneh. Waspadalah.”Shin Tian menelan ludah. “Aneh?”“L