Home / Fantasi / Legenda Sang Genius Immortal / 02. Jenius Tidak Berguna

Share

02. Jenius Tidak Berguna

Author: Bebby
last update Huling Na-update: 2025-04-14 04:43:53

Langit pagi menyelimuti kediaman Keluarga Besar Shin dengan matahari yang perlahan muncul dari balik awan. Di balik pilar-pilar batu megah, seorang gadis berdiri, angin menggoyangkan helaian rambut hitamnya yang berkilau seperti untaian sutra. Ia adalah Shin Shiang, sosok muda dengan kecantikan yang menenangkan namun sorot matanya tajam—penuh pemikiran. Ia menatap halaman dalam dari kejauhan, menyaksikan seorang pemuda yang melesat lincah melewati koridor panjang. Terdengar riuh langkah kaki, berkejaran dengan suara napas yang terengah-engah.

"Shin Tian..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar, namun dengan nada getir.

"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" batinnya, suara dalam hatinya penuh kegelisahan yang nyaris menyesakkan dada.

Shin Tian, sepupunya, adalah satu-satunya pewaris sah dari Keluarga Besar Shin. Di usianya yang masih belia, dia seharusnya telah menguasai ranah kultivasi seperti para generasi unggulan lainnya. Tapi kenyataannya? Tidak satu pun jalur energi dalam tubuhnya dapat dibuka. Tubuhnya ibarat beku, tertutup dari segala bentuk aliran spiritual. Bahkan sekadar mengumpulkan tenaga dalam saja adalah kemustahilan.

Namun dunia tidak bisa menampik satu fakta—Shin Tian adalah seorang jenius. Ia bisa menyebutkan teori kultivasi dari gulungan kitab manapun, dari halaman paling dalam perpustakaan keluarga, seakan semuanya hanya catatan kecil di sudut ingatannya. Dalam bidang teknologi, dialah pelopor dari berbagai alat dan formasi modern yang digunakan para murid perguruan.

Sayangnya, kejeniusannya justru menjadi bahan cibiran. Tak sedikit murid senior yang memandangnya dengan tatapan muak. “Apa gunanya otak, jika tubuhmu lumpuh untuk berkultivasi?” begitu kata mereka.

Dan hari itu, seperti biasa, Shin Tian berlari riang di sepanjang koridor, tertawa kecil sambil memeluk semacam alat kecil berkilauan—mungkin proyek aneh yang sedang ia uji. Tetua Wang, pria tua dengan jubah kelabu dan napas yang mulai pendek, berlari mengejarnya dengan langkah berat.

“Shin Tian! Berhenti! Kau akan—”

Sebuah suara menggelegar seperti halilintar menyambar dari ujung lorong.

"BERHENTI!"

Langkah Shin Tian terhenti mendadak. Di hadapannya berdiri seorang pria gagah, tubuhnya tegap bagai gunung, sorot matanya tajam seperti elang yang baru saja disinggung sarangnya. Aura dominasi menyelimuti sekelilingnya, membuat udara seolah lebih berat.

“Ayah…” Shin Tian menunduk, berusaha menghormati sosok itu meskipun matanya tak bisa menyembunyikan sedikit getaran.

Shin Long, sang pemimpin Keluarga Besar Shin, tak menyembunyikan amarahnya. Tangan kanannya mengepal, rahangnya mengeras.

“Dasar anak tak berguna! Setiap hari hanya membuat keributan!” suaranya nyaring, menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya. “Kau ini memang jenius—jenius yang tidak berguna, Shin Tian!”

Nada dingin itu menusuk seperti belati. Bahkan ia tidak memanggil anaknya dengan panggilan ‘Tian’er’, sebutan penuh kasih yang biasanya digunakan oleh ayah kepada anaknya.

Tetua Wang akhirnya tiba, terhuyung namun segera berdiri tegak.

“Toako! Jaga bicaramu!” serunya dengan suara lantang, meski napasnya masih tersengal. “Tian’er tetaplah anakmu! Mungkin jalur kultivasinya belum terbuka, tapi tidak adakah sedikit harapan dalam hatimu untuknya?”

Namun Shin Long hanya mendengus, matanya menyipit penuh kekecewaan.

“Aku tidak butuh anak yang hanya bisa bicara soal teori dan alat aneh! Aku butuh penerus sejati, pemimpin yang bisa melindungi keluarga ini dengan kekuatan sejati, bukan dengan rancangan kertas!”

Shin Tian berdiri kaku, wajahnya perlahan memucat. Hatinya seperti diremas tangan tak terlihat. Kata-kata itu—kata-kata dari ayahnya sendiri—jatuh bagai palu ke dada.

"Jadi, semua usahaku... semua alat yang kudesain... semua pengetahuanku... tidak ada artinya?"

"Kalau dia terus seperti ini," lanjut Shin Long tanpa belas kasihan, "lebih baik dia pergi dari keluarga ini! Daripada jadi aib, lebih baik dia enyah dari hadapanku!"

Sunyi menggantung sesaat, sebelum deru angin sore menyapu dedaunan kering di halaman. Shin Tian tidak menjawab. Tangannya meremas alat kecil yang dibawanya tadi. Tak pecah, tapi ada getaran halus di ujung jari-jarinya. Matanya yang tadinya bersinar cemerlang kini redup. Tapi di balik kerapuhan itu, ada bara kecil yang mulai menyala—diam-diam.

Shin Shiang yang menyaksikan dari kejauhan mengepalkan tinjunya. Nafasnya tertahan, lalu perlahan dihembuskan. Ia tahu, di balik kelemahan fisik sepupunya, tersembunyi kekuatan yang belum disadari dunia.

"Shin Tian... dunia belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Tapi aku percaya, waktumu akan datang."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
makin menarik
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Legenda Sang Genius Immortal   03. Hinaan Sang Ayah

    "Toako, kamu sudah keterlaluan!" suara Tetua Wang meledak di dalam aula utama, menggema di antara pilar-pilar batu yang menjulang seperti penjaga bisu. Matanya yang biasanya tenang kini menyala penuh amarah, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana mungkin kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?! Tian’er masih muda! Masih ada harapan untuknya! Kau tahu sendiri, jika segel-segel dalam tubuhnya berhasil terbuka, siapa tahu nasibnya bisa berubah!"Udara seketika terasa berat. Aroma dupa yang menyala di sudut ruangan mendadak menusuk hidung, seolah turut merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Shin Long menyilangkan tangan di dadanya, sorot matanya dingin seperti es yang tak mencair meski di hadapan bara api. Ia melirik Shin Tian dengan tatapan kosong yang bahkan lebih menyakitkan daripada kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya.Tidak ada rasa peduli dan rasa hangat dari seorang ayah yang terpancar dari dalam tubuhnya. Bahkan menganggap Shin Tian sekedar murid perguruan Kelu

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   04. Segel Kultivasi

    Shin Tian berdiri di ambang ruangan yang remang, matanya menyala seperti bara yang siap meledak. Suara seraknya mengiris keheningan malam, “Paman, mengapa aku tak bisa berkultivasi? Mengapa ada segel menyiksa di tubuhku?” Teriakannya menggema, seakan setiap kata adalah seruan frustasi yang telah lama terkunci dalam relung jiwanya.Di ruang itu, bayangan kecewa menari bersama kenangan masa lalu yang penuh harapan. Ia teringat betapa ia mengabdikan seluruh hari untuk menciptakan teknologi demi kejayaan Keluarga Shin—sebuah karya-karya yang pernah ia kira akan membuat ayahnya bangga. Namun, kini di mata sang ayah, pencapaian itu hanya debu yang tercecer di jalan panjang penghinaan. Perasaan terpinggirkan melanda, bagai beban berat yang menekan setiap tarikan napasnya.Suasana semakin meresap saat pamannya mendekat dengan langkah penuh simpati. Dengan lembut, ia berbisik, “Jangan pedulikan kata-kata ayahmu, Tian’er. Hanya amarah sesaat yang membuatnya bicara kasar.” Suaranya lembut sepert

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   05. Mesin Waktu

    Ruang laboratoriumnya tak luas, tapi terasa seperti dunia lain. Lampu-lampu panel menyala lembut, memantulkan sinar ke meja kerja yang penuh dengan serpihan logam, kabel, dan skema digital yang melayang di udara. Suara mesin-mesin kecil mulai berdengung perlahan, menyatu menjadi simfoni pagi yang hanya bisa dinikmati oleh para pencipta.Ia mengenakan sarung tangan tipis, lalu menyentuh layar digital di depannya. Jari-jarinya mulai menari, menggambar sketsa-sketsa rumit yang muncul seolah mengalir dari pikirannya langsung ke layar. Pagi masih muda, dan dunia di luar masih setengah tertidur, tapi dalam dirinya, badai ide telah menggulung sejak semalam.“Kalau waktu menyimpan jawabannya, maka aku akan mencurinya dari masa lalu…”Ia mendesah pelan. Udara di ruang itu terasa lebih hangat dibanding luar, tapi juga lebih tegang. Bau logam berpadu dengan aroma kopi yang dingin di sudut meja—sisa malam yang ia lewati tanpa tidur. Keringat mulai membasahi pelipis, meski matahari belum tinggi.M

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   06. Menara Lonceng

    Udara malam terasa berat, lembap, dan penuh listrik. Di tengah bengkel tersembunyi yang penuh roda-roda gigi, kabel-kabel berserakan, dan bau logam yang tajam, berdiri Shin Tian. Ia berdiri terpaku, matanya menyapu siluet mesin waktu yang menjulang seperti raksasa logam dalam kabut tipis uap panas. Mesin itu tak hanya sekadar alat ciptaannya—itu adalah puncak dari semua malam tanpa tidur, goresan luka karena eksperimen gagal, dan mimpi-mimpi yang ia rawat dalam diam.Ia menarik napas dalam-dalam. Udara masuk ke paru-parunya, dingin dan penuh aroma besi.Akhirnya...Namun jauh di dalam relung hatinya yang paling dalam, kehampaan menggeliat. Bukan kehampaan karena kelelahan atau keraguan. Tapi karena sosok yang tak pernah memberinya tatapan bangga—ayahnya. Kepala Keluarga Shin. Seorang pria berwajah batu dan suara sekeras baja tempa."Jika kau tidak menjadi kultivator, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini." Kata-kata itu masih terngiang jelas, seperti cambuk yang tak kasat mata tapi me

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   07. Menunggu Sambaran Petir

    Langit di atas kediaman Keluarga Shin menghitam, menggantung berat seperti pertanda kutukan yang hendak turun. Awan bergulung-gulung seperti naga kelabu, dan rintik hujan mulai menari di udara, menciptakan irama lembut yang menghantam genting tua menara tua keluarga. Udara terasa lembap dan bergetar oleh energi yang belum meledak—seperti napas yang ditahan semesta.Di puncak menara itu, Shin Tian berdiri sendiri, tubuhnya kaku, jantungnya berdebar seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Nafasnya berat, mengembuskan uap tipis yang menyatu dengan hawa dingin. Di depannya, sebuah mesin aneh berbentuk silinder perunggu berdiri diam, kabel-kabel berserakan bagai akar tanaman yang mencari tanah. Ia mendongak, menatap langit dengan mata penuh harap."Hanya tinggal menunggu petir menyambar," gumamnya, nyaris seperti doa yang ditelan angin. Wajahnya basah—entah karena hujan atau keringat—namun matanya bersinar dengan tekad yang tak bisa dipadamkan.Jika petir itu datang, jika rencananya

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   08. Waktu Yang Salah

    Deras hujan menari-nari di atas atap Menara Lonceng, memercik di atas bebatuan yang dingin dan licin. Udara malam yang basah dan dingin terasa menyesakkan, seperti ikut menindih dada Shin Tian yang sudah penuh luka.Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk kulit, tapi juga karena kemarahan yang membuncah dalam dadanya. Ia berdiri dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibirnya, mencampur air hujan di pipi."Beraninya... kalian memukulku!" desisnya, mencoba menegakkan tubuh dan suaranya yang bergetar. Mata hitamnya menatap tajam meski mulai memerah. "Kalau Ayah tahu... ia akan menghukum kalian... dengan seberat-beratnya!"Ia merasa terhina dengan perlakuan mereka. Ia adalah pewaris pimpinan Keluarga Shin tapi ia tidak dihargai sama sekali oleh sekelompok pemuda yang masuk kasta rendah dalam Keluarga Shin.Suara tawa mengejek membelah udara, kasar dan penuh hinaan. Seorang pemuda berambut acak-acakan melangkah maju, sorot matanya dingin bagai binatang buas ya

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   09. Zaman Kultivasi Kuno

    Suara desir angin bergaung samar di telinganya. Perlahan, kesadaran Shin Tian mulai merangkak kembali dari kegelapan. Ia menggeliat pelan, tubuhnya terasa seperti dihantam batu besar—berat, nyeri, dan tak sepenuhnya berada di bawah kendalinya.“Ugh… aku… ada di mana?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar parau, seperti bisikan dari balik kabut tebal. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mencoba membukanya.Kelopak matanya terbuka perlahan, dan cahaya temaram yang hangat menembus pandangan yang masih buram. Pandangan itu menari-nari, bergetar, sebelum akhirnya mulai menetap. Aroma khas kayu tua, bercampur debu dan sedikit jejak dupa, langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya, menampar kesadarannya.Ia tersentak.Tempat ini jelas bukan halaman belakang kediaman Keluarga Shin yang ia kenal sejak kecil. Ruangan itu sempit, dikelilingi oleh dinding batu yang dihiasi relief-relief tua—ukiran yang tampak hidup dalam keremangan cahaya. Ukiran naga yang menggulung, simbol-simbol kuno yang asing

    Huling Na-update : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   10. Kuil Dewa Alkemis

    "Kuil Dewa Alkemis..." gumam Shin Tian dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.Udara pagi yang dingin menusuk hingga ke tulang. Di depannya, kuil kuno berdiri kokoh di tengah kabut tipis, dikelilingi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran pelan tertiup angin. Setiap helai daun yang jatuh seolah membawa bisikan masa lalu.Legenda tentang tempat ini telah lama menghantui kisah-kisah para kultivator—sebuah kuil yang menyimpan rahasia Kitab Dewa Alkemis. Konon, kitab itu menyimpan teknik pemurnian pil-pil langka, termasuk Pil Immortal—pil legendaris yang mampu membawa kultivator melesat langsung ke ranah Immortal, melewati semua tingkatan yang biasanya harus ditembus dengan bertahun-tahun latihan dan penderitaan.Jantung Shin Tian berdebar seperti genderang perang. Tangan kanannya mengepal erat, seolah ingin menggenggam takdir itu sendiri.“Jika ini benar-benar masa itu... berarti dia masih hidup,” bisiknya, suara tercekat antara kekaguman d

    Huling Na-update : 2025-04-14

Pinakabagong kabanata

  • Legenda Sang Genius Immortal   34. Ancaman

    Wanita itu memandang Shin Tian lama, matanya tak berkedip, seakan berusaha menghafal wajahnya untuk terakhir kali — atau mungkin, untuk memastikan bahwa keraguan di hatinya bukan sekadar bayang semu.Perlahan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengangkat tangan, jemarinya yang ramping meraih topeng retak yang sejak tadi tergeletak di lantai. Namun alih-alih mengenakannya kembali, ia hanya menatap topeng itu sejenak, mengelus permukaannya yang dingin dengan ibu jari. Ada kilasan rasa di matanya — sayang, benci, mungkin juga kelegaan. Dengan gerakan pelan, ia menyelipkan topeng itu ke dalam jubahnya, membenamkannya di antara lipatan kain gelap yang berkibar pelan diterpa angin malam.Tanpa menoleh lagi, wanita itu melangkah pergi. Suara langkah kakinya terdengar sayup-sayup di antara derak lantai kayu tua, hingga akhirnya menghilang, melebur bersama bisikan angin dan suara malam yang mendesir di antara pepohonan.Beberapa saat, tak ada yang bergerak di dalam ruangan. Api perapian y

  • Legenda Sang Genius Immortal   33. Membebaskan Red Shadow

    Udara di ruangan itu mendadak berubah. Rasanya seperti hembusan angin musim dingin yang menerobos celah jendela, menggigit kulit, menusuk hingga ke tulang. Shin Tian perlahan memutar tubuhnya, membelakangi Lian Hua. Di dadanya, jantungnya berdetak lebih keras, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi.Sementara itu, Master Wang mengatupkan kedua telapak tangannya, seolah berdoa pada dewa-dewa lama yang telah melupakan mereka. “Luo Jin …” gumamnya, nyaris seperti mantra yang dilarang diucapkan. Nama itu menggantung di udara, menggetarkan dinding dan lantai yang dingin, menyalakan kembali bara dari konflik kuno yang telah menumpahkan darah begitu lama, hingga orang-orang nyaris lupa mengapa mereka berperang.Cahaya lampu minyak bergetar pelan, bayang-bayang mereka menari di dinding, menambah kesan seolah waktu itu sendiri menahan napas. Di luar, angin menggoyangkan dedaunan, membawa bisikan yang terdengar seperti ratapan masa lalu.“Lian Hua,” bisik Shin Tian dalam hatinya, matanya terpejam

  • Legenda Sang Genius Immortal   32. Klan Bunga Hitam

    Red Shadow memejamkan mata. Perlahan. Begitu perlahan hingga nyaris tak terdengar napasnya. Jemari rampingnya, sedikit gemetar, terangkat pelan, menyentuh tepian topeng retak yang melekat erat di wajahnya. Seketika terdengar suara lirih — krek … krek … — saat kait logam di sisi kiri terlepas. Sebuah bunyi nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Shin Lin menggenggam erat ujung lengan bajunya.Di seberang ruangan, Master Wang menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala. Apakah itu isyarat penghormatan … atau justru tanda ketakutan? Bahkan aroma asap dari lampu minyak yang berkedip-kedip tampak ikut menegang di udara, menggantung, tak berani bergerak.Sisi kanan topeng perlahan menyusul.Krek …Dan tiba-tiba … dunia berhenti. Atau setidaknya begitulah rasanya bagi mereka yang menyaksikan.Shin Tian merasa jantungnya memukul dinding dadanya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka tanpa suara. Di hadapannya, wajah Red Shadow — atau lebih tepatnya, perempuan di balik gelar itu — ak

  • Legenda Sang Genius Immortal   31. Topeng Red Shadow

    “Kamu tidak bisa melepaskannya begitu saja, Shin Tian!” seru Shin Lin, suaranya meninggi, penuh kekhawatiran. “Dia akan kembali! Kau tahu siapa dia — dia akan datang lagi, kali ini untuk membunuhmu!”Dari lantai, Red Shadow terbatuk pelan. Nafasnya terengah, tubuhnya masih lemas, tapi di balik topeng merahnya yang retak, suara tawanya terdengar getir. “Aku… aku janji akan pergi begitu kau melepaskanku, Zhao Tian …” katanya pelan, suara perempuan itu terdengar serak, melemah, namun tetap mengandung bekas keangkuhan. “Aku tak sekejam yang kalian kira…”Shin Tian menatapnya, mata hitamnya menyipit, seolah menimbang sesuatu. “Kalau begitu,” ucapnya perlahan, suaranya tenang namun menembus udara seperti pisau tipis, “… lepaskan topengmu.” Kalimat itu langsung membuat Red Shadow membeku, sementara Shin Lin dan Master Wang nyaris berseru serempak.“Apa?!” Shin Lin menggenggam gagang pedangnya, tak percaya dengan ucapan itu. “Shin Tian, apa yang kau lakukan?!”“Aku akan izinkan kau perg

  • Legenda Sang Genius Immortal   30. Nasib Red Shadow

    “Baiklah, kita masuk dulu ke dalam kuil …” suara Master Wang terdengar pelan namun tegas, nada suaranya seperti gong kecil yang berdentang di ruangan yang tegang. Matanya memandang lurus ke depan, kerutan di dahinya semakin dalam. “Tetua Mo sepertinya mengincar Cakram Waktu milik Luo Jin … termasuk mesin waktumu, Tian’er!”"Apa Master bisa mengembalikan mesin waktuku juga? Aku ingin memperbaikinya," ucap Shin Tian.Di sisi lain, Shin Lin menoleh cepat, kilatan di matanya tajam, bibirnya melengkung sedikit membentuk senyuman tipis yang berbahaya.“Tapi, Master …” ujarnya sambil memiringkan kepala, suara lembutnya terdengar kontras dengan ucapannya yang dingin, “… bagaimana dengan wanita setan ini? Mau kubereskan saja? Mungkin kupotong-potong tubuhnya, lalu kubuang ke jalan supaya anjing-anjing liar bisa berpesta?”Ia memutar-mutar belati kecil di jarinya, pantulan cahaya perak di permukaannya seperti cermin dingin yang memantulkan wajah puas.Master Wang mendengus pelan, sebuah senyuma

  • Legenda Sang Genius Immortal   29. Interogasi

    Red Shadow gemetar, punggungnya basah oleh keringat dingin.Tatapan Shin Tian menusuk lurus ke arahnya, dingin, tajam, seperti bilah pisau yang menempel di tenggorokan. Aura pembunuh yang menguar darinya bukan hanya seperti intimidasi biasa—ini adalah hawa dingin yang seakan menekan dadanya, membuat napasnya pendek-pendek.Suara Shin Tian terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Namun, tiap katanya mengandung beban yang seakan mampu meremukkan tulang.“Berbohong sekali lagi padaku ...”Nada suaranya datar, dingin seperti ujung pisau yang baru saja ditarik dari balok es.“... maka aku tidak hanya membuatmu lemah tak berdaya, tapi aku akan menghancurkan seluruh tulang dan organmu tanpa menyisakan serpihan pun.”Kata-kata itu melayang di udara, menggantung berat seperti kabut beracun yang menyelimuti ruangan. Tak ada gemuruh, tak ada ledakan. Tapi tekanan yang muncul—terasa nyata. Seolah-olah udara itu sendiri menahan napasnya.Red Shadow mencelos. Tenggorokannya kering. Ia menelan ludah

  • Legenda Sang Genius Immortal   28. Pria Bertopeng

    Bayangan hitam melesat bagaikan tombak-tombak asap, mengiris udara dengan suara mendesis tajam.Shin Lin bergerak duluan — tubuh mungilnya melompat ringan, belati pendek di tangannya memantulkan cahaya biru. Dengan sekali tebas, ia memecah satu bayangan yang menyerang dari samping.“Jaga punggungku, Master Wang!” serunya cepat.Master Wang mengangguk. “Tentu saja, gadis kecil!”Dengan tongkat panjangnya, pria tua itu menghantam lantai. Gelombang cahaya keemasan menyebar seperti riak di air, memukul mundur tiga bayangan sekaligus. Dinding di sekeliling bergetar pelan, debu beterbangan, dan serpihan batu runtuh satu per satu dari langit-langit.Shin Tian berdiri di belakang, kedua tangan mengepal. Setiap otot tubuhnya menegang saat dia menyaksikan pertarungan itu.“Cepatlah, kalian berdua… Aku hanya bisa berdiri di sini sekarang,” bisiknya pelan, rahangnya mengeras.Pria bertopeng itu mengangkat tangannya, membentuk segel cepat.“Bawa mereka … hancurkan …” bisiknya dingin.Sekejap, baya

  • Legenda Sang Genius Immortal   27. Sekte Bayangan Darah

    Langkah kaki makin mendekat.Shin Tian berdiri kaku, tubuhnya setengah gemetar bukan karena takut, tapi karena rasa frustrasi. Napasnya tercekat ... tanpa energi spiritual, dia nyaris tak lebih dari manusia biasa. Tangannya mengepal rapat, kuku-kukunya menggali ke telapak.Qian’er tersenyum getir dari lantai, meski tubuhnya lemas oleh racun. “Kau pikir … bisa menghadapi mereka … dalam keadaan begini, Shin Tian?”Nada suaranya bercampur antara sinis dan sedih.“Ternyata kau telah tahu nama asliku?” tanya Shin Tian.“Tentu saja, bodoh!” jawab Red Shadow dengan wajah penuh kemenangan.Shin Tian mengerutkan rahang. “Aku tidak akan jatuh hanya karena tak punya kekuatan …” ucapnya pelan. “Aku masih punya sesuatu yang kalian tidak mengerti …”BRAAK!Pintu kayu terhempas, suara kayu retak memekakkan telinga.Bayangan hitam menyerbu masuk, dipimpin pria bertopeng perak dengan jubah hitam berhiaskan simbol tetesan darah. Dari balik lorong, muncul siluet-siluet lain — anggota Sekte Bayangan Dara

  • Legenda Sang Genius Immortal   26. Ketahuan

    Shin Tian melangkah mendekat, langkahnya tenang, nyaris tak terdengar. Bajunya berkibar sedikit, dan tiap langkah seolah menekan udara di sekitar, menciptakan beban tak kasatmata yang menggantung di antara mereka. Ia berlutut perlahan di hadapan Qian’er, membiarkan matanya sejajar dengan wanita yang kini tersungkur itu. “Kau menyamar menjadi Qian’er,” ucapnya lembut, seperti seorang guru yang menegur muridnya. “Lalu mencoba menghancurkanku.” Ia mengulurkan tangan, jemarinya menggenggam tangan Qian’er yang gemetar. “Aku sudah tahu sejak langkah pertamamu memasuki Kuil Dewa Alkemis. Langkahmu … terlalu ringan untuk gadis biasa. Dan aroma tubuhmu …” ia menundukkan kepala, mengendus pelan, “… terlalu bersih untuk seorang pengelana.”Qian’er memejamkan mata sesaat, napasnya makin berantakan. Suara desisan pelan lolos dari bibirnya, bercampur amarah dan putus asa. Shin Tian menatapnya tajam, cahaya matanya menusuk, penuh makna. “Tapi aku tidak ingin membunuhmu. Belum saatnya.”Dengan s

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status