Langit pagi menyelimuti kediaman Keluarga Besar Shin dengan matahari yang perlahan muncul dari balik awan. Di balik pilar-pilar batu megah, seorang gadis berdiri, angin menggoyangkan helaian rambut hitamnya yang berkilau seperti untaian sutra. Ia adalah Shin Shiang, sosok muda dengan kecantikan yang menenangkan namun sorot matanya tajam—penuh pemikiran. Ia menatap halaman dalam dari kejauhan, menyaksikan seorang pemuda yang melesat lincah melewati koridor panjang. Terdengar riuh langkah kaki, berkejaran dengan suara napas yang terengah-engah.
"Shin Tian..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar, namun dengan nada getir.
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" batinnya, suara dalam hatinya penuh kegelisahan yang nyaris menyesakkan dada.Shin Tian, sepupunya, adalah satu-satunya pewaris sah dari Keluarga Besar Shin. Di usianya yang masih belia, dia seharusnya telah menguasai ranah kultivasi seperti para generasi unggulan lainnya. Tapi kenyataannya? Tidak satu pun jalur energi dalam tubuhnya dapat dibuka. Tubuhnya ibarat beku, tertutup dari segala bentuk aliran spiritual. Bahkan sekadar mengumpulkan tenaga dalam saja adalah kemustahilan.
Namun dunia tidak bisa menampik satu fakta—Shin Tian adalah seorang jenius. Ia bisa menyebutkan teori kultivasi dari gulungan kitab manapun, dari halaman paling dalam perpustakaan keluarga, seakan semuanya hanya catatan kecil di sudut ingatannya. Dalam bidang teknologi, dialah pelopor dari berbagai alat dan formasi modern yang digunakan para murid perguruan.
Sayangnya, kejeniusannya justru menjadi bahan cibiran. Tak sedikit murid senior yang memandangnya dengan tatapan muak. “Apa gunanya otak, jika tubuhmu lumpuh untuk berkultivasi?” begitu kata mereka.
Dan hari itu, seperti biasa, Shin Tian berlari riang di sepanjang koridor, tertawa kecil sambil memeluk semacam alat kecil berkilauan—mungkin proyek aneh yang sedang ia uji. Tetua Wang, pria tua dengan jubah kelabu dan napas yang mulai pendek, berlari mengejarnya dengan langkah berat.
“Shin Tian! Berhenti! Kau akan—”
Sebuah suara menggelegar seperti halilintar menyambar dari ujung lorong.
"BERHENTI!"
Langkah Shin Tian terhenti mendadak. Di hadapannya berdiri seorang pria gagah, tubuhnya tegap bagai gunung, sorot matanya tajam seperti elang yang baru saja disinggung sarangnya. Aura dominasi menyelimuti sekelilingnya, membuat udara seolah lebih berat.
“Ayah…” Shin Tian menunduk, berusaha menghormati sosok itu meskipun matanya tak bisa menyembunyikan sedikit getaran.
Shin Long, sang pemimpin Keluarga Besar Shin, tak menyembunyikan amarahnya. Tangan kanannya mengepal, rahangnya mengeras.
“Dasar anak tak berguna! Setiap hari hanya membuat keributan!” suaranya nyaring, menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya. “Kau ini memang jenius—jenius yang tidak berguna, Shin Tian!”
Nada dingin itu menusuk seperti belati. Bahkan ia tidak memanggil anaknya dengan panggilan ‘Tian’er’, sebutan penuh kasih yang biasanya digunakan oleh ayah kepada anaknya.
Tetua Wang akhirnya tiba, terhuyung namun segera berdiri tegak.
“Toako! Jaga bicaramu!” serunya dengan suara lantang, meski napasnya masih tersengal. “Tian’er tetaplah anakmu! Mungkin jalur kultivasinya belum terbuka, tapi tidak adakah sedikit harapan dalam hatimu untuknya?”
Namun Shin Long hanya mendengus, matanya menyipit penuh kekecewaan.
“Aku tidak butuh anak yang hanya bisa bicara soal teori dan alat aneh! Aku butuh penerus sejati, pemimpin yang bisa melindungi keluarga ini dengan kekuatan sejati, bukan dengan rancangan kertas!”
Shin Tian berdiri kaku, wajahnya perlahan memucat. Hatinya seperti diremas tangan tak terlihat. Kata-kata itu—kata-kata dari ayahnya sendiri—jatuh bagai palu ke dada.
"Jadi, semua usahaku... semua alat yang kudesain... semua pengetahuanku... tidak ada artinya?"
"Kalau dia terus seperti ini," lanjut Shin Long tanpa belas kasihan, "lebih baik dia pergi dari keluarga ini! Daripada jadi aib, lebih baik dia enyah dari hadapanku!"
Sunyi menggantung sesaat, sebelum deru angin sore menyapu dedaunan kering di halaman. Shin Tian tidak menjawab. Tangannya meremas alat kecil yang dibawanya tadi. Tak pecah, tapi ada getaran halus di ujung jari-jarinya. Matanya yang tadinya bersinar cemerlang kini redup. Tapi di balik kerapuhan itu, ada bara kecil yang mulai menyala—diam-diam.
Shin Shiang yang menyaksikan dari kejauhan mengepalkan tinjunya. Nafasnya tertahan, lalu perlahan dihembuskan. Ia tahu, di balik kelemahan fisik sepupunya, tersembunyi kekuatan yang belum disadari dunia.
"Shin Tian... dunia belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Tapi aku percaya, waktumu akan datang."
Langit Quilin malam itu tampak sangat kelam. Awan kelabu menggantung rendah di atas menara-menara kuno, dan rembulan, yang seharusnya bersinar penuh, tampak pecah seperti cermin retak di langit. Suasana kota begitu sunyi, seakan waktu sendiri enggan bergerak.Shin Tian berdiri di atap Biara Senja Laut, mengenakan jubah baru berwarna kelam dengan lambang Dewa Alkemis tersulam samar di dada. Jubah itu terasa berat, tidak hanya oleh kainnya, tapi oleh beban perjalanan yang akan ia tempuh.Kael Chronis muncul dari balik bayangan, membawa gulungan kulit tua yang memancarkan hawa dingin yang bukan berasal dari dunia ini. Ia membentangkannya di atas lantai batu, memperlihatkan peta rahasia yang menunjukkan jalur tersembunyi menuju Reruntuhan Menara Jam, tempat Gerbang Retakan tersembunyi.“Ini hanya bisa terbuka saat jarum waktu melewati titik mati,” ujar Kael. “Dan malam ini… hanya tersisa satu putaran detik sebelum celah itu muncul kembali.”Shin Lin berdiri di sisi mereka, matanya tajam m
Angin laut berdesir pelan, menyusup di antara tiang-tiang batu Biara Senja Laut. Tapi di aula utama, keheningan terasa seperti pusaran—menarik semua suara, semua keraguan, dan semua pilihan ke tengah ruang.Kael Chronis berdiri tenang. Sorot matanya menusuk Shin Tian seperti cahaya yang mampu mengurai waktu itu sendiri.“Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku tidak datang membawa teka-teki, Shin Tian. Aku datang membawa pilihan.”Shin Tian melangkah pelan ke depan, jubahnya menggesek lantai batu. Pandangannya tidak lepas dari Kael. “Apa maksudmu dengan ‘Retakan Waktu’? Apa itu tempat … atau sesuatu yang terjadi?”Kael menatapnya dalam-dalam. “Retakan Waktu adalah luka di arus waktu … sebuah celah tempat takdir masa depan dan masa lalu saling tarik menarik. Kau berasal dari masa depan yang—percayalah—telah pecah berantakan. Tapi retakan itu tidak hanya menarikmu kemari. Ia mulai mempengaruhi banyak garis waktu lain.”Tabib Tao berjalan perlahan ke sisi mereka, menggenggam tongkat kayu hi
Shin Tian masih terduduk di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. Jantungnya berdegup keras, seperti genderang perang yang belum berhenti ditabuh. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menusuk kulit seperti tetesan es. Tangannya yang sempat bergetar perlahan terangkat, menyeka pelipisnya dengan punggung tangan—gerakan kecil, tapi penuh tekad untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris lenyap.Nafasnya belum stabil. Tapi ia memaksa dirinya berdiri.Lantai batu di bawahnya terasa kasar, dan debu dupa serta lingkaran garam masih memancarkan aroma hangus dan pahit yang menggantung di udara, seolah mencoba menahan siapa pun yang hendak melangkah keluar dari ruangan setengah lingkaran itu.***Langkah mereka bertiga menggema di lorong batu yang sunyi, hanya ditemani oleh bunyi lembut kain jubah yang bergesekan dan napas mereka yang mulai berat. Dinding-dinding tua Biara terasa dingin, seolah menyerap ketegangan yang mulai menggumpal di udara. Saat mereka tiba di aula depan B
Seketika udara di dalam Biara terasa berubah. Tenang yang sebelumnya mendominasi berubah menjadi tegang dan penuh antisipasi. Angin tipis masuk dari lorong, membawa serta aroma asing—seperti asap logam dan debu kuno.Tabib Tao menurunkan botol ramuan dengan hati-hati. Cairan di dalamnya tiba-tiba berhenti mendidih, seolah ikut membeku oleh ketegangan situasi.“Kau yakin?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun terasa berat.Shin Lin tak menjawab. Ia melangkah maju, pelan tapi pasti, pedangnya terangkat setengah. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Di matanya, ada kilau bahaya. Ia tahu ... siapa pun yang bisa membuka gerbang Biara bukanlah orang biasa.Dan kunci dari masa yang sama—itu bukan sekadar benda. Itu adalah pengetahuan. Warisan. Sebuah bagian dari rahasia besar yang telah lama terkubur.Sebuah langkah terdengar dari kegelapan lorong. Satu. Dua. Pelan. Penuh keyakinan.Shin Lin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jari menggenggam gagang pedang lebi
Kabut laut turun lebih tebal dari biasanya malam itu.Seperti selimut hantu yang menjulur dari langit ke laut, kabut itu menggulung perlahan, membungkus Biara Senja Laut dengan keheningan yang menggigit hingga ke tulang. Bau asin laut tercampur samar dengan aroma garam basah dan sesuatu yang lebih tua—bau waktu yang meluruh, seperti lembaran naskah tua yang terbakar perlahan.Biasanya, lentera biru yang tergantung di sepanjang dinding batu Biara akan berkelip riang, seolah menari mengikuti angin malam. Namun malam ini, cahaya mereka bergetar, surut dan redup seperti napas terakhir lilin yang kehabisan udara.Di kejauhan, suara kayuhan kayu pelan tapi mantap menyentuh permukaan air. Cekkk... cekkk... Suara itu datang dari arah laut terbuka, terdengar jelas di antara dengung ombak yang murung. Gelombang kecil menggulung perlahan, membawa bayangan hitam pekat—sebuah perahu kecil, ramping, dan tak bercahaya.Seolah ia tidak menantang malam, tetapi adalah bagian darinya.Seseorang berdiri
Langit Kota Quilin dipenuhi awan berat ketika Shin Tian, Shin Lin, dan Tabib Tao meninggalkan rumah yang telah hancur malam sebelumnya. Tidak ada waktu untuk pemulihan penuh. Jejak mereka sudah terendus. Sekte Ular Berkepala Dua takkan menyerah setelah gagal dua kali.“Biara Senja Laut,” ucap Tabib Tao sambil memberikan peta dari gulungan kulit rusa. “Tersembunyi di balik tebing kabut di selatan. Hanya bisa dicapai melalui jalur rahasia. Mereka bukan sekte, tapi mereka menampung para pelarian berbakat—selama kau tidak membawa masalah ke dalam dinding mereka.”Shin Lin menerima peta itu dengan sorot mata serius. “Kalau mereka bisa menyembunyikan aura Shin Tian, kita harus ke sana.”Mereka bergerak cepat. Tanpa kereta, tanpa tanda. Hanya langkah kaki di jalur belakang pasar Quilin, melalui gang-gang tua yang bau besi, jelaga, dan masa lalu.Sepanjang perjalanan, Shin Tian lebih banyak diam. Tatapannya kosong ke depan, kadang memandangi telapak tangannya sendiri seolah ingin mengingat se