Share

04. Segel Kultivasi

Author: Bebby
last update Last Updated: 2025-04-14 04:44:15

Shin Tian berdiri di ambang ruangan yang remang, matanya menyala seperti bara yang siap meledak. Suara seraknya mengiris keheningan malam, “Paman, mengapa aku tak bisa berkultivasi? Mengapa ada segel menyiksa di tubuhku?” Teriakannya menggema, seakan setiap kata adalah seruan frustasi yang telah lama terkunci dalam relung jiwanya.

Di ruang itu, bayangan kecewa menari bersama kenangan masa lalu yang penuh harapan. Ia teringat betapa ia mengabdikan seluruh hari untuk menciptakan teknologi demi kejayaan Keluarga Shin—sebuah karya-karya yang pernah ia kira akan membuat ayahnya bangga. Namun, kini di mata sang ayah, pencapaian itu hanya debu yang tercecer di jalan panjang penghinaan. Perasaan terpinggirkan melanda, bagai beban berat yang menekan setiap tarikan napasnya.

Suasana semakin meresap saat pamannya mendekat dengan langkah penuh simpati. Dengan lembut, ia berbisik, “Jangan pedulikan kata-kata ayahmu, Tian’er. Hanya amarah sesaat yang membuatnya bicara kasar.” Suaranya lembut seperti bisikan angin yang mencoba menenangkan badai emosi yang berkecamuk di dada Shin Tian.

Namun, kata-kata penghiburan itu tak mampu meredam kemarahan yang sudah merebak. Dengan dingin namun tegas, Shin Tian membalas, “Sudahlah, Paman… aku ingin sendiri.” Tangannya terkatup erat, seolah setiap jari mencoba menahan banjir air mata dan rasa hancur yang tak terhingga. Nada suaranya tersembunyi di balik suara gemuruh perasaannya yang mendalam.

Di balik segala kemarahan dan keputusasaan itu, tersembunyi sebuah kutukan yang membuatnya terasing. Segel yang membelenggu tubuhnya itu ibarat rantai tak terlihat, mengunci setiap aliran energi yang ingin ia gali. Setiap kali ia mencoba merasakan kehangatan energi spiritual, seakan dinding tak kasat mata menghalangi arus kehidupan itu, menutup segala potensi yang seharusnya menjadi miliknya.

Tak lama kemudian, Shin Tian menjauh dari kerumunan kata dan tatapan yang penuh kesedihan. Ia melangkah ke taman keluarga yang lengang, di mana angin malam berbisik pelan melalui dedaunan basah yang berkilau embun. Aroma tanah yang segar dan lembab mengisi hidungnya, membaur dengan dinginnya udara malam. Di atas langit, bintang-bintang terserak, namun cahayanya tak mampu mengusir kegelapan yang merayap dalam hatinya.

Di bawah naungan pohon raksasa yang telah menyaksikan ratusan tahun perjalanan waktu, Shin Tian berhenti dan menatap jauh ke depan. Hatinya tetap terpaku pada segel terkutuk itu—simbol kekangan yang membuatnya merasa terbuang di antara mereka yang bisa berkultivasi. Saat malam semakin larut, setiap detak jantungnya terasa seperti penentu nasib, setiap tarikan nafasnya mengungkapkan keresahan yang mendalam.

Dengan tampilan wajah yang tegas namun tersembunyi di balik bayangan luka batin, ia mengeraskan tangannya sejenak. Kuku-kukunya mencabik-cabik telapak tangan, seolah berharap rasa sakit fisik dapat mengalihkan sejenak kekosongan dan kehampaan yang merayapi pikirannya. Dalam keheningan yang mencekam itu, suara angin seakan bersuara—menceritakan sebuah kisah tentang impian yang terkunci dan takdir yang kejam, tentang jiwa yang terbelenggu dalam dunia di mana kekuatan adalah segalanya.

Setiap detik berlalu bagai pelajaran pahit, mengajarkan Shin Tian bahwa meskipun ia dilingkupi oleh kegelapan dan keterasingan, di lubuk hati masih ada sisa-sisa keinginan untuk mencari arti dan harapan. Di bawah langit malam yang penuh misteri, ia terjebak dalam pergulatan antara amarah, keputusasaan, dan harapan yang samar—sebuah perjalanan hidup yang terus bergulir, menantang takdir yang seolah telah dituliskan sejak lama.

*****

Cahaya matahari pagi menyusup malu-malu melalui celah jendela laboratorium, mengguratkan pola-pola emas di lantai logam. Udara masih dingin, dengan embun yang belum sepenuhnya menguap dari permukaan kaca. Di luar, burung-burung mulai berceloteh, menyambut hari yang baru. Tapi bagi Shin Tian, pagi ini tak ada bedanya dengan malam sebelumnya—sunyi, dingin, dan penuh bayangan luka.

“Tak ada gunanya teknologi yang kau ciptakan, Tian! Kau tidak bisa berkultivasi, dan di keluarga ini, hanya kekuatan kultivasi yang dihormati.”

Suara sang ayah terus bergema di kepalanya, tak peduli seberapa keras ia mencoba menenggelamkannya dengan kesibukan. Setiap kata terasa seperti paku yang dihantamkan ke dadanya, menancap dalam dan tak mau lepas. Suara itu bukan sekadar teguran—itu vonis. Penghakiman.

Shin Tian berdiri diam di depan jendela, matanya menatap jauh ke arah langit timur yang perlahan berubah warna. Awan-awan tipis melayang tenang, seolah dunia ini damai, seolah tak ada luka yang tersembunyi di balik ketenangan pagi. Tapi hatinya tak seindah langit. Ia remuk. Terasa kecil, tak berarti.

"Kau tak mengerti... tak satu pun dari kalian mengerti..." bisiknya lirih.

Bahkan paman yang dulu sering menepuk bahunya sambil tersenyum hangat kini mulai menjauh, mungkin takut dicemari oleh kegagalan Tian. Semua orang bicara, tapi tak satu pun mendengarkan. Mereka menilai dari kulit, dari hasil, bukan dari luka yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun.

Ia mengepalkan tangan. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi yang lebih menusuk adalah kenyataan bahwa ia sendirian. Dan di dalam kesendirian itu, perlahan sesuatu bangkit—sebuah amarah yang dingin, membara seperti bara yang tertutup salju.

“Segel ini... bukan akhirku.”

Suaranya rendah, nyaris tertelan angin pagi, tapi ada getaran tekad yang kuat di dalamnya. Matanya menatap jauh, menembus batas-batas kota yang mulai hidup perlahan. Ia tahu, jawaban tidak akan datang dari langit, atau dari keluarga.

Kalau tak ada yang bisa menghancurkan segel ini… maka ia akan mencari caranya sendiri. Kalau tidak bisa berkultivasi, maka ia akan menciptakan jalannya sendiri. Bahkan jika jalan itu belum pernah dilalui siapa pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mulai menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Legenda Sang Genius Immortal   49. Menuju Menara Jam

    Langit Quilin malam itu tampak sangat kelam. Awan kelabu menggantung rendah di atas menara-menara kuno, dan rembulan, yang seharusnya bersinar penuh, tampak pecah seperti cermin retak di langit. Suasana kota begitu sunyi, seakan waktu sendiri enggan bergerak.Shin Tian berdiri di atap Biara Senja Laut, mengenakan jubah baru berwarna kelam dengan lambang Dewa Alkemis tersulam samar di dada. Jubah itu terasa berat, tidak hanya oleh kainnya, tapi oleh beban perjalanan yang akan ia tempuh.Kael Chronis muncul dari balik bayangan, membawa gulungan kulit tua yang memancarkan hawa dingin yang bukan berasal dari dunia ini. Ia membentangkannya di atas lantai batu, memperlihatkan peta rahasia yang menunjukkan jalur tersembunyi menuju Reruntuhan Menara Jam, tempat Gerbang Retakan tersembunyi.“Ini hanya bisa terbuka saat jarum waktu melewati titik mati,” ujar Kael. “Dan malam ini… hanya tersisa satu putaran detik sebelum celah itu muncul kembali.”Shin Lin berdiri di sisi mereka, matanya tajam m

  • Legenda Sang Genius Immortal   48. Dilema

    Angin laut berdesir pelan, menyusup di antara tiang-tiang batu Biara Senja Laut. Tapi di aula utama, keheningan terasa seperti pusaran—menarik semua suara, semua keraguan, dan semua pilihan ke tengah ruang.Kael Chronis berdiri tenang. Sorot matanya menusuk Shin Tian seperti cahaya yang mampu mengurai waktu itu sendiri.“Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku tidak datang membawa teka-teki, Shin Tian. Aku datang membawa pilihan.”Shin Tian melangkah pelan ke depan, jubahnya menggesek lantai batu. Pandangannya tidak lepas dari Kael. “Apa maksudmu dengan ‘Retakan Waktu’? Apa itu tempat … atau sesuatu yang terjadi?”Kael menatapnya dalam-dalam. “Retakan Waktu adalah luka di arus waktu … sebuah celah tempat takdir masa depan dan masa lalu saling tarik menarik. Kau berasal dari masa depan yang—percayalah—telah pecah berantakan. Tapi retakan itu tidak hanya menarikmu kemari. Ia mulai mempengaruhi banyak garis waktu lain.”Tabib Tao berjalan perlahan ke sisi mereka, menggenggam tongkat kayu hi

  • Legenda Sang Genius Immortal   47. Kael Chronis

    Shin Tian masih terduduk di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. Jantungnya berdegup keras, seperti genderang perang yang belum berhenti ditabuh. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menusuk kulit seperti tetesan es. Tangannya yang sempat bergetar perlahan terangkat, menyeka pelipisnya dengan punggung tangan—gerakan kecil, tapi penuh tekad untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris lenyap.Nafasnya belum stabil. Tapi ia memaksa dirinya berdiri.Lantai batu di bawahnya terasa kasar, dan debu dupa serta lingkaran garam masih memancarkan aroma hangus dan pahit yang menggantung di udara, seolah mencoba menahan siapa pun yang hendak melangkah keluar dari ruangan setengah lingkaran itu.***Langkah mereka bertiga menggema di lorong batu yang sunyi, hanya ditemani oleh bunyi lembut kain jubah yang bergesekan dan napas mereka yang mulai berat. Dinding-dinding tua Biara terasa dingin, seolah menyerap ketegangan yang mulai menggumpal di udara. Saat mereka tiba di aula depan B

  • Legenda Sang Genius Immortal   46. Penyusup

    Seketika udara di dalam Biara terasa berubah. Tenang yang sebelumnya mendominasi berubah menjadi tegang dan penuh antisipasi. Angin tipis masuk dari lorong, membawa serta aroma asing—seperti asap logam dan debu kuno.Tabib Tao menurunkan botol ramuan dengan hati-hati. Cairan di dalamnya tiba-tiba berhenti mendidih, seolah ikut membeku oleh ketegangan situasi.“Kau yakin?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun terasa berat.Shin Lin tak menjawab. Ia melangkah maju, pelan tapi pasti, pedangnya terangkat setengah. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Di matanya, ada kilau bahaya. Ia tahu ... siapa pun yang bisa membuka gerbang Biara bukanlah orang biasa.Dan kunci dari masa yang sama—itu bukan sekadar benda. Itu adalah pengetahuan. Warisan. Sebuah bagian dari rahasia besar yang telah lama terkubur.Sebuah langkah terdengar dari kegelapan lorong. Satu. Dua. Pelan. Penuh keyakinan.Shin Lin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jari menggenggam gagang pedang lebi

  • Legenda Sang Genius Immortal   45. Penjaga Lintas Waktu

    Kabut laut turun lebih tebal dari biasanya malam itu.Seperti selimut hantu yang menjulur dari langit ke laut, kabut itu menggulung perlahan, membungkus Biara Senja Laut dengan keheningan yang menggigit hingga ke tulang. Bau asin laut tercampur samar dengan aroma garam basah dan sesuatu yang lebih tua—bau waktu yang meluruh, seperti lembaran naskah tua yang terbakar perlahan.Biasanya, lentera biru yang tergantung di sepanjang dinding batu Biara akan berkelip riang, seolah menari mengikuti angin malam. Namun malam ini, cahaya mereka bergetar, surut dan redup seperti napas terakhir lilin yang kehabisan udara.Di kejauhan, suara kayuhan kayu pelan tapi mantap menyentuh permukaan air. Cekkk... cekkk... Suara itu datang dari arah laut terbuka, terdengar jelas di antara dengung ombak yang murung. Gelombang kecil menggulung perlahan, membawa bayangan hitam pekat—sebuah perahu kecil, ramping, dan tak bercahaya.Seolah ia tidak menantang malam, tetapi adalah bagian darinya.Seseorang berdiri

  • Legenda Sang Genius Immortal   44. Biara Senja Laut

    Langit Kota Quilin dipenuhi awan berat ketika Shin Tian, Shin Lin, dan Tabib Tao meninggalkan rumah yang telah hancur malam sebelumnya. Tidak ada waktu untuk pemulihan penuh. Jejak mereka sudah terendus. Sekte Ular Berkepala Dua takkan menyerah setelah gagal dua kali.“Biara Senja Laut,” ucap Tabib Tao sambil memberikan peta dari gulungan kulit rusa. “Tersembunyi di balik tebing kabut di selatan. Hanya bisa dicapai melalui jalur rahasia. Mereka bukan sekte, tapi mereka menampung para pelarian berbakat—selama kau tidak membawa masalah ke dalam dinding mereka.”Shin Lin menerima peta itu dengan sorot mata serius. “Kalau mereka bisa menyembunyikan aura Shin Tian, kita harus ke sana.”Mereka bergerak cepat. Tanpa kereta, tanpa tanda. Hanya langkah kaki di jalur belakang pasar Quilin, melalui gang-gang tua yang bau besi, jelaga, dan masa lalu.Sepanjang perjalanan, Shin Tian lebih banyak diam. Tatapannya kosong ke depan, kadang memandangi telapak tangannya sendiri seolah ingin mengingat se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status