Setelah memenangkan hati Harumi dengan menebar kebohongan sana-sini, hatiku pun lega. Sebagai pemain cinta, aku harus tega dengan segala tipu daya yang kurangkai demi mencapai tujuan. Harumi mengantarku kembali ke Stasiun Himeji pukul 20.15, sedang Tokaido Shinkansen Sakura akan berangkat pukul 20.31. Rasa rindu yang membuncah bertemu dengan belahan jiwa adalah hal lumrah, dan aku menginginkannya. Setelah memastikan stasiun sedikit sepi, dengan tiba-tiba aku membawa Harumi menuju toilet laki-laki. "Ada apa Jayka?" "Sayang, beri aku ciuman sebelum kembali. Atau aku akan gila karena merindukanmu. Aku mohon." Tubuhnya telah kurengkuh selekat mungkin. Bahkan aku yakin Harumi bisa merasakan keperkasaanku sedang menegang mengenai perutnya. "Tapi ini di toilet Jay." "Maka dari itu cepatlah sayang." Harumi yang masih setengah berpikir pun langsung terpaku ketika aku memburu bibirnya serakah. Bahkan suara eranganku tidak bisa ditahan lebih lama. Tanganku ikut bergerak nakal denga
Aku berjalan mendekatinya, meski terasa enggan karena penampilannya jauh dari kesan manis. Namun apa boleh buat, Minaki sedang bersedih. "Mau cerita di atas kasur?" Tawarku dengan jongkok satu kaki sambil menggenggam satu tangannya. Sambil menangis ia mengangguk. "Ada syaratnya." "Apa?" "Mandi dulu. Aku hanya mengenal Minaki yang manis, wangi, dan humoris. Bukan Minaki yang seperti ini, aku tidak mengenalnya." Dia menerima tawaranku. Saat ia mandi, aku membantu kedua ART untuk membersihkan kamar dengan cekatan. Juga meminta mereka menyiapkan sarapan. Meski kakinya tidak normal, Minaki bisa mandi dan berganti pakaian sendiri. Dia memiliki kesadaran untuk mandiri hanya saja suasana keluarga yang tidak banyak mendukung, terutama kedua kakaknya, membuat perkembangan kedewasaannya terhambat. Aku mengajaknya sarapan setelah selesai membersihkan diri. Meski tidak secantik menggunakan make up namun ini lebih baik dari pada tadi. Setelah tandas aku membawa nampan itu ke dapur dan k
Perdebatan pagi itu tidak menghasilkan apapun selain kepergian Tuan Tatsuo ke kantor. Sedang aku kembali ke kamar Minaki untuk menenangkannya sesuai permintaan Nyonya Tatsuo. Keluarga ini makin terpecah dengan keberadaanku yang tidak didukung seratus persen seperti di awal pertemuan. Jika meninggalkan Minaki maka aku menyalahi kontrak dan uang yang telah ia berikan lebih dulu padaku. Seakan aku telah terikat dengannya sejak awal. Sedang jasa yang kutawarkan masih memiliki jalan akhir yang panjang. Mendengar ucapan Tuan Tatsuo yang menyebutku akan menodai Minaki, itu seperti peringatan sekaligus tamparan bagiku. Aku sering terbuai dengan ciuman bahkan sentuhannya yang membuat gelora gairahku mencuat. Kini, aku harus bisa menahannya lebih dalam lagi dan semoga aku bisa. Melihatnya yang makin drop membuatku tidak tega. Ia banyak membantuku dan sikap baiknya pada Dina, adik angkatku, membuatku makin terenyuh. Mereka tidak saling mengenal tapi Minaki mencoba baik pada siapapun dengan
Kring.... Sebuah nomer baru menghubungiku. "Halo." "Halo Jayka." Dari logatnya sangat kentara jika ia pria Jepang asli. "Maaf, ini siapa?" "Papanya Minaki." Seketika badanku menegang mengetahui siapa yang menelfon. "I...iya Tuan Tatsuo. Ada yang bisa saya bantu?" "Aku mau meminta maaf atas ucapanku tadi pagi. Aku terlalu kalut dengan permasalahan di rumah sampai tidak bisa memilah ucapan." "Iya tuan, saya juga minta maaf telah bermalam di kamar Minaki." "Aku sadar jika permintaan putriku bukanlah hal yang naif. Dia sudah dewasa dengan kondisi yang demikian. Aku saja yang bodoh karena tidak bisa memahami keinginannya." Aku mengangguk sambil menatap lantai Kahoko Baking Class. "Aku yang membawamu kepadanya, lalu aku sendiri yang menghinamu. Tolong maafkan aku dan tetap beri semangat pada Minaki agar bisa lebih baik menata masa depannya." "Iya tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin sesuai keinginan anda dan nyonya." "Jayka, apa kamu sudah memiliki kekasih?" Ada perasaan
"Kekasih? Kamu sedang berbicara apa?" "Tadi saat kamu menerima telfon?" Lidahku tiba-tiba kelu. Mataku jelalatan mencari pembenaran. Juga detak jantungku berdegub tak karuan. Minaki bukanlah kekasihku tetapi pengaruhnya lumayan besar dalam hidupku. Ia seperti ATM berjalan, jadi tidak seharusnya aku mematahkan hatinya dengan membuka terang-terangan kisah asmaraku. "Tidak, aku tidak memiliki kekasih." "Oh... Aku salah dengar?" "Tentu saja." Aku menggendongnya ke dalam mobil dengan sopir kembali memasukkan kursi roda Minaki. Seperti biasa, dia akan merangkul leherku erat dengan memainkan hidungnya di leherku. "Aku takut kamu akan memprioritaskan kekasihmu dari pada aku Jayka." Aku gelagapan. "Sudah kukatakan aku tidak memiliki kekasih." Minaki mengangguk lalu kami diam seribu bahasa. Sadar jika Minaki kembali bersedih sedang kedua orang tuanya menyuruhku membahagiakannya, aku pun meminta pada sopir agar membawa kami menuju Goutor Coffe Shop yang ada di kawasan Tachibanadorinish
Seperti dugaan, Minaki mengantarku menuju asrama terlebih dahulu lalu menuju Yokoha Club. Beruntung anak-anak asrama tidak pulang lebih dulu atau mereka akan memergokiku sedang berjalan dengan perempuan cacat kaya yang haus kasih sayang dan perlindungan. Memakai setelan terbaik untuk manggung adalah hal yang wajib dipenuhi seorang DJ. Rambut tegak dengan gel merah maskulin, wajah dipoles make up tipis khas lelaki, sepatu boot dan mantel bulu hitam yang elegan. Begitu aku keluar asrama, Minaki menatapku tanpa berkedip di dalam mobil. Aku tahu ia terpanah dengan penampilan panggungku. Gaya berjalanku bak model papan atas. Pun dengan angin sore itu yang menerbangkan bulu-bulu halus mantelku. "Jayka?" "Hem?" "Kamu sangat tampan." Aku terkekeh lalu menatapnya sekilas. "Kamu benar-benar seorang penghibur sejati. Bahkan hanya melihat gayamu yang seperti ini saja aku sangat terpukau." Sepanjang perjalanan, kami berbicara tentang profesiku sebagai DJ, bagaimana aku mempelajari alat D
"Jayka! Kemarilah." Panggil Takeshi, bartencer Yokoha CLub, setelah aku mematikan DJ Player. "Ada apa?" "Di belakang sangat gaduh, menjijikkan." Aku terkekeh. "Aku sudah tahu dari tadi." "Untung kamu tidak ikut bergabung dengan para lelaki gila itu. Tapi, bukankah Kamura baru saja menikah?" Takeshi mengangsurkan satu slot Jack Daniel untukku. Aku menggeleng seraya menyesapnya sedikit. "Aku tidak peduli." "Kasihan istrinya jika tahu Kamura begitu bajingan." "Apa karena kamu pernah ditinggalkan sehingga begitu menghargai perasaan seorang perempuan?" Godaku pada Takeshi yang sudah dua kali gagal menuju pelaminan karena calon istri tidak menyukai pekerjaannya sebagi bartender. "Tentu saja Jayka. Perempuan adalah makhluk yang lemah, mereka suka sekali bersembunyi dibawah kegagahan para lelaki. Hanya saja tidak semua perempuan itu baik, karena ada beberapa yang brengsek." "Seperti apa?" "Wanita yang suka menjajakan diri tapi tidak pandai menjaga rahim. Ketika ia hamil dan gagal a
"Cacat? Di kursi roda?" Tanyaku tidak percaya. Yamada mengangguk. "Karena dia semua tidak berjalan lancar. Dan.... ah sudahlah." "Maksudnya bagaimana Yamada?" Aku tertarik mendengar ceritanya. "Tolong jangan bertanya lagi, intinya dia sangat mengesalkan dan licik. Dia meraih semua perhatian dan harta keluarga. Kedua orang tuaku memberinya banyak warisan yang tidak sepadan denganku yang seorang anak laki-laki. Dan itu.... arrggh!" Yamada melempar kaleng bir ke lantai hingga menimbulkan suara berdenging. "Karena dia juga pernikahanku tidak memiliki kejelasan. Dia menghasut calon istriku dengan menelfonnya, mengatakan hal yang tidak-tidak tentangku dan menunjukkan kecacatan dirinya pada keluarga besar calon istriku." "Apa kamu bisa memberiku solusi Jay? Aku sangat mencintai dia. Bahkan aku sama sekali tidak merasa panas ketika didekati perempuan lain. Dia adalah segalanya bagiku Jay, dia perempuan baik yang sangat memahamiku." Ucapnya penuh penekanan. Tidak di club tidak pula saat