"Sudahlah, tidak usah dibahas. Yang penting kamu ada disini sekarang." Ucapnya bahagia dengan memandangi wajahku. Aku terkekeh malu sendiri dengan tatapan Minaki. Pasalnya, Harumi saja tidak memancarkan kebahagiaan sebesar ini ketika menemuiku. "Mau minum teh seperti yang kamu inginkan?" Tawarnya. "Kamu masih ingat?" Minaki mengangguk. "Masih sangat mengingatnya Jayka." Aku mengangguk paham. "Ingatanmu sangat kuat." "Dan teliti." Aku berdiri dari jongkok satu kaki hendak menuju dapur. Namun Minaki menahan tanganku. "Biar aku saja Jayka, kamu adalah tamu." "Jangan, kamu disini saja." Minaki menggeleng. "Apa kamu berpikir perempuan cacat sepertiku tidak bisa membawa baki berisi teh?" Ohh.... baiklah. Ini pembicaraan yang sangat rawan sekali, jika Minaki sampai tersinggung maka habislah pekerjaanku. "Baiklah nona kecil. Aku sangat percaya padamu." Kemudian kuacak sekilas rambut rapinya. "Jayka!!! Ini hasil pergi ke salon." Ucapnya cemberut. Aku menutup mulut dengan tang
"Terima kasih." Kubelai pipi halusnya yang tertutup make up minimalis. Ini salah satu cara membuat Minaki semakin terlena dan mengikuti arah permainanku. Minaki tersenyum malu karena perbuatanku. Karena perempuan berkebutuhan khusus seperti Minaki mudah sekali diluluhkan hatinya hanya dengan sedikit sentuhan dan perhatian. Mereka adalah kaum lemah yang haus akan kasih sayang. Ini lah saat yang tepat untuk membuatnya makin melayang dan menuruti keinginan Nyonya Tatsuo yang menyuruhku untuk mengembalikan sifat Minaki seperti sedia kala. Agar tidak banyak berdiam diri di kamar. "Kita minum tehnya." Ajakku. Lalu aku mendorong kursi rodanya menuju jendela kaca kamar yang perlahan mulai menghembuskan angin musim dingin. "Jayka?" "Hem?" Aku masih menuangkan teh ke dalam cangkir. "Kenapa kamu tiba-tiba kemari?" Aku menatapnya sekilas lalu meletakkan teko berisi teh. "Ingin saja. Aku bosan di asrama." Lalu berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir teh hangat. "Terima kas
Orang stres selalu berpikiran pendek, salah satunya memilih mengakhiri hidup sebagai jalan pintas. Bayangannya, setelah mati mereka tidak akan merasakan sakit jiwa raga dan yang memusuhi pun hilang dengan sendirinya. Namun, keputusan bunuh diri bukanlah jawaban terbaik dari segala masalah yang melanda. Bahwa ada kehidupan setelah kematian yang jauh lebih adil timbangannya dan abadi. Aku beranjak dengan segera untuk meraih gunting itu lalu membuangnya asal. "Apa yang kamu lakukan hah?!!!" Pekikku tak kalah keras. Emosi ini tidak bisa kutahan lagi dengan Minaki berderai air mata. Segera kunetralkan emosi yang masih mendominasi otakku untuk menenangkan Minaki. Meski penuh drama, ini adalah bagian dari pekerjaan. Meski rumit, aku harus membuat Minaki tenang dan menerima kekurangannya. Lali bangkit meninggalkan rasa tidak percaya diri. Aku memegang kedua pundaknya sembari berjongkok. "Kamu berkata akan menemaniku minum teh bersama bukan?! Kenapa kamu jadi begini?" Ucapku lembut
Minaki krisis dan kering akan perhatian juga saran. Padahal ia membutuhkan itu untuk bekalnya terjuna ke masyarakat luas. Karena tidak selamanya Minaki akan bergantung pada orang tua. Dia harus belajar mandiri. "Jangan mengatakan kamu cacat. Cita rasa terbak dari sebuah kue berasal dari resep dan pemanggangannya. Ayo bangkit, aku akan membantumu berdiri hingga mandiri." Minaki memelukku dengan entengnya di atas ranjang. Kata orang bed talk bisa menjadi pilihan untuk membicarakan hal penting. Saat berpelukan begini, aku melihat Nyonya Tatsuo tengah mengintip aktivitas berpelukan kami. Tanganku reflek hampir menyingkirkan tubuh Minaki namun beliau malah memberi aba-aba menggunakan tangan agar aku tidak melepaskan pelukan. Beliau menunjukkan gesture terima kasih lalu menutup pintu kamar Minaki. "Minaki, aku harus pulang karena besok harus bekerja." Minaki melepaskan pelukan kami. Lalu aku bergegas turun dari ranjangnya sembari membetulkan baju yang sedikit berantakan. Terpergok be
Siulanku di dalam kamar mandi begitu nyaring saat mencukur rambut halus di sekitaran dagu. Penampilan seorang DJ tidak boleh mengecewakan dan harus bisa membuat penonton terbius dengan pesonaku sebagai lelaki berkulit coklat. Warna kulit yang tidak lazim ada di Jepang. Karena rata-rata laki-laki dan perempuan di negara ini berkulit putih. Sedang Harumi malah menyukai kulit coklat-ku yang menurutnya sangat macho dan eksotis. Aaah.... siang ini aku akan membawanya menuju tempat resepsi, ia pasti sangat senang begitu juga denganku. Selesai membersihkan diri, aku bergegas memakai setelan terbaik. Dan itu tidak luput dari pantauan Rinto. "Kemarin pulang duluan. Sekarang pergi duluan." Aku menoleh ke arahnya saat tengah mengatur rambut. "Kencan Rin." "Kencan terooosss." Cibirnya lalu duduk di tengah. "Kamu kenapa sih? Galau gara-gara dijodohin sama emak bapak di kampung?" "Ck.... Iyalah Jak. Siapa yang nggak seneng punya cewek kayak Harumi. Cantik, seksi, setia, pinter pula." Aku
Acara menjadi DJ di resepsi pernikahan telah usai. Para tamu telah pulang, menyisakan tempat acara yang berantakan dan tugas para office boy dan girl untuk membersihkannya. Sedang aku masih memasukkan laptop di tas lalu membereskan DJ Player. "Jayka, ini honormu." Matshusima datang sambil menyerahkan amplop coklat padaku. Aku menerimanya dengan binar bahagia. "Terima kasih." "Mungkin aku bisa menjadi manajermu kelak jika sudah terkenal." Ucapnya terkekeh. Aku menghitung jumlahnya dengan uang masih berada di dalam amplop. "Senang bekerja sama denganmu kawan." 15.000 Yen untuk tiga jam manggung perdana. Bukan nominal yang buruk dan harus kusyukuri agar rezekiku dimudahkan esok hari. Setelah beres, aku menggandeng tangan Harumi menuju halte menunggu bus tujuan mall. Sengaja, aku ingin mengajaknya bersenang-senang dulu sebelum kembali ke asrama. "Suka baju itu?" Tunjukku di sebuah etalase stand baju di Miyako City Shopping Mall. Harumi mengangguk senang. "Belilah, aku yang baya
Hari ini, gudang begitu kewalahan mengepak barang-barang produksi yang telah jadi. Ini semua karena permintaan pasar yang membludak menjelang musim dingin. Pabrik tempatku bekerja memproduksi makanan setengah jadi. Seperti Ippudo, Kyoto Udon Noodle, Oyakodon, Roasted Crab Rice, dan Salmon Chazuke. Warga Jepang lebih suka menyeduh mi atau nasi hangat ditengah dinginnya cuaca. Ditemani sake atau minuman penghangat lainnya. Setelah berlelah ria demi mendulang Yen di gudang pabrik makanan instan itu, kami para TKI segera menuju halte lalu beristirahat di asrama. Jangan bertanya lagi bagaimana penampilanku saat bekerja di pabrik, amat sangat jauh berbeda saat manggung di Yokoha Club. Baru saja aku mendudukkan diri di bangku bis bersama teman-teman yang lain, ponselku berbunyi. Aku lupa belum membukanya sejak istirahat tadi siang. Minaki mengirim pesan jika telah berbelanja kebutuhan membuat kue. Juga dengan foto-foto bahan membuat kue yang tidak banyak kumengerti. Astaga.... Belum
"Kamu sudah bangun Jayka?" Minaki mendekatiku dengan kursi rodanya. Sedang aku berusaha duduk sambil mengumpulkan nyawa terakhir di atas ranjangnya. Ternyata beristirahat di ranjang Minaki yang nyaman ini menghilangkan lelah yang mendera ragaku karena pekerjaan di pabrik. Kusingkap selimutnya lalu menurunkan kakiku ke lantai namun tetap duduk di tepi ranjang Minaki. "Kuenya sudah matang. Mau coba sekarang?" Rainbow cake utuh itu sudah ada di meja lengkap dengan pisau dan piring kecilnya. Aku mengangguk karena begitu melihat tampilannya yang meyakinkan membuat perutku lapar seketika. Minaki menuju kue itu dan memotongnya perlahan. Menaruhnya di atas piring kaca dengan sendok kecil di tepi. Lalu menyodorkannya padaku. "Enak?" Tanyanya setelah aku menyuapkan sendok pertama. Aku mengangguk. "Agak terlalu manis. Aku kurang suka manis-manis." "Besok akan aku kurangi takaran gulanya." "Jangan!" Cegahku. Minaki menatapku heran. "Kenapa? Bukannya kamu tidak suka manis?" Aku menggel