Hutang uang dibayar uang. Namun ada pula hutang uang dibayar jasa. Semalam setelah Tuan dan Nyonya Tatsuo berkata bahwa mereka tahu mengenai uang 120.000 Yen yang kuminta di awal pada Minaki, aku seperti lelaki yang tidak memiliki harga diri. Malu karena ketahuan memanfaatkannya di tengah kondisi fisiknya yang 'menyedihkan'. Aarggghh... aku bodoh sekali. Mengapa aku cuek dengan konsekuensi ini? Mengapa aku hanya fokus pada uangnya saja? Ini pelajaran berharga untukku. Lain kali, aku harus lebih halus dan bermain cantik ketika meminta uang pada Minaki. Jika sudah begini, aku tidak bisa mengelak sedikit pun jika Tuan dan Nyonya Tatsuo memintaku memprioritaskan Minaki. Bahkan di saat aku sedang berkencan dengan Harumi. Oh... bagaimana ini? Aku tidak siap jika harus kehilangan Harumi, dia adalah masa depanku yang sempurna. "Jangan sampai terpeleset kalau tidak mau jatuh Jay." Ucap Matsushima. Dia tahu segalanya tentang profesi sampinganku sebagai surrogate sexual partner Minaki. "
"Mau di kamar?" Tanyanya malu-malu. Apakah Minaki sedang memberi kode atau aku yang besar rasa, entahlah. Namun hasrat menuntunku untuk berkata.... "Di kamar saja." Minaki tersenyum malu lalu menutup tudung saji indah berwarna peach dengan ornamen bunga bunga. "Handuknya kenapa tidak kamu taruh di keranjang kotor?" Tanyaku ketika bersiap mendorong kursi rodanya. Minaki menggeleng lalu mendekapnya di sekitar perut. Aku tersenyum melihat tingkah anehnya ini. Rumah tingkat dua sebesar ini hanya dihuni Minaki dan kedua orang tuanya. Kedua kakaknya telah memiliki kehidupan sendiri. Demi menjaga suasana hatinya tetap baik, aku tidak mau membahasnya jika bukan dia yang mendahului. "Kamarmu selalu rapi." Ucapku ketika duduk di sofa panjang kamarnya. Sofa yang menjadi saksi bisu aku mengambil ciuman pertama Minaki. Sekaligus saksi bisu pengkhianatanku pada Harumi, kekasihku. Minaki meletakkan handuk yang terlipat rapi itu di nakas samping ranjang. "Aku selalu membersihkan kama
"Tolong.... cium aku Jayka." Minaki menatapku dengan sorot mendamba dan ingin. Dia pernah merasakan dahsyatnya ciuman pertama dariku, hingga terasa melayang. Dan sekarang ia ingin mengulanginya kembali. "Kenapa aku harus menciummu?" Tatapku tak kalah romantis dengan tangan masih memegang tangannya. Minaki menggeleng dan menunduk malu. "Aku... menginginkannya." "Short time atau long time?" Mataku menatap mata dan bibirnya bergantian. "Apapun Jayka." "Asal kamu puas?" Minaki mengangguk. Tangannya kembali kukalungkan di leherku lalu kudekatkan wajahku perlahan. "Nikmatilah Minaki." Minaki menutup mata bertepatan dengan kecupan kecil yang kualamatkan di bibirnya. Lalu kulumat perlahan dengan tangannya telah melingkar sempurna di leherku. Tangan Minaki sedikit mencengkeram dan meremas kerah bajuku, tanda ciuman itu telah merasuki batinnya. Dia sangat pasrah mengikuti permainanku hingga lenguhan terbuai itu keluar dari bibir ranumnya yang terasa manis. Seperti inikah rasa
Aku membeku saat Dina bertanya tentang kondisi jendela dan korden yang berbeda dengan asrama. "Mas Jaka!" Panggilnya lagi lalu membuat alarm awas dalam otakku bekerja. "Oh, mas lagi di tempat teman yang sakit. Lagi njenguk." Kilahku. Kulirik Minaki sudah duduk di sofa tapi tetap diam sambil memperhatikanku. Beruntung, dia tidak mengerti bahasa Indonesia sama sama sekali sehingga aku bisa leluasa berbicara dengan Dina. "Teman cewek apa cowok? Hayo loh?" Aku mengerutkan dahi karena Dina selalu usil padaku. "Cowok lah." "Coba tunjukin ke aku gimana wajah temannya Mas Jaka." Baru saja aku berusaha menghindar, Dina kembali mengejarku dengan pertanyaan yang menjebak. "Malu lah Din, kayak apaan." "Yeeee, pasti cewek nih yang disamperin. Aku bilangin bapak loh biar Mas Jaka cepet dikawinin." "Eh! Sembarangan. Masih bocah main ancam ancaman sama abang sendiri." "Habisnya Mas Jaka udah berani main main ke kamar teman perempuan ih. Orang ketiganya nanti setan loh" Aku tergelak den
"Jak, Harumi kemana?" Tanya Rinto. Kami sedang istirahat siang di pabrik dengan melahap makan siang yang sudah disediakan. Kebetulan aku dan Rinto sedang duduk di pojok kantin sambil menatap salju yang berguguran dari balik jendela kaca. "Pulang ke rumah orang tuanya di Hyogo." Jawabku sembari kembali malahap okonomiyaki. "Pantes nggak pernah nyamperin kamu ke asrama." Aku mengangguk. "Tapi kenapa kamu mesti keluar lagi setelah dari pabrik kalau Harumi nggak ada di Miyazaki?" Aku tersedak mendengar pertanyaan Rinto lalu buru buru meneguk air mineral. Jika kemarin aku diinterogasi Dina, sekarang giliran Rinto. "Kenapa Jak? Aku salah tanya ya? Atau kamu emang punya gebetan baru di belakang Harumi?" Tanyanya curiga. Aku melemparnya dengan bungkus kertas sumpit. "Ngawur! Siapa juga yang punya selingkuhan." "Lha ya gimana lagi. Kamu pulang dari pabrik langsung cabut lagi. Terus pulangnya malem banget." Aku tetap mengunyah makanan sambil memikirkan alasan yang tepat. Astaga apa
Baru saja aku mengambil ponsel di loker saat jam istirahat pabrik, lalu panggilan dari seseorang yang sangat berjasa dalam kehidupanku belakangan ini menginterupsi siangku yang dingin. "Halo selamat siang nyonya." "Siang juga Jayka. Apa hari ini kamu pulang cepat?" Hari ini hari sabtu, kebetulan tidak ada jadwal lembur sehingga aku bisa pulang cepat. "Iya nyonya, mungkin jam 2 saya baru keluar pabrik." "Minaki sudah membuat janji dengan pemilik kelas roti Kahoko. Mereka akan bertemu pukul 5 sore. Kamu bisa menemaninya kesana kan?!" Sebelumnya aku berkata pada Minaki jika tidak bisa menemaninya karena aku sedang galau memikirkan Harumi yang mulai curiga dengan aktivitasku. Bagaimana bisa aku bertukar pesan dengannya selama bersama Minaki. Oleh karena itu aku meninggalkan ponsel yang kugunakan untuk berkomunikasi dengan Harumi di lemari asrama. Aku menghela nafas panjang. "Saya...kurang enak badan nyonya. Jadi saya tidak bisa menemani Minaki." Bohongku. "Biar sopir yang menjem
"Ehm..." Lenguhan ciuman kami keluar bersamaan dengan laju mobil Minaki yang membelah lebatnya salju. "Ehem, nona maaf." Sopir Minaki menginterupsi kegiatan kami. Kami melepas ciuman satu sama lain dengan tangannya masih di kedua pundakku dan tanganku berada di pinggang rampingnya. "Ada apa?" Tanyanya malu-malu. "Kita langsung pulang atau kemana?" Minaki menatap wajah dan bibirku sayu seakan terlena dengan ciumanku. Tanpa disangka jemarinya mengusap sudut bibirku yang basah karena saliva lalu menjilatinya. Betapa kagetnya aku melihat ulah Minaki yang mulai berani melakukan kontak fisik lebih intim tanpa rasa canggung. "Sudah, jangan begini Minaki, sopirmu menunggu jawaban." Aku menahan wajahnya yang hendak menciumku lagi. Minaki tersenyum malu lalu mengalungkan tangannya di leherku. "Jayka, tidur rumahku saja ya? Saljunya lebat." Bisiknya di telingaku. Astaga, wahai singa kecil tidurlah dulu, aku tidak bisa konsentrasi jika kamu menggeliat nakal begini. Tanpa Minaki sadari,
Mobil kuning buatan Eropa milik keluarga Minaki telah terparkir di garasi. Namun hatiku masih dag dig dug tidak karuan membayangkan tatapan dan ucapan kedua orang tuanya. Ini sangat gila! Padahal aku sudah menolak ajakannya. "Jayka." Bisiknya lembut dengan tangan halusnya membelai leherku. Aku mengambil kedua tangan nakalnya yang sejak tadi mengusap bagian sensitif tubuhku. "Jangan menggoda." Minaki menatapku heran. "Nanti aku jelaskan. Sekarang kita turun." Ucapku tegas. Sangat tidak nyaman berdiri dengan posisi singa kecil masih mengeras seperti ini. Kalau tidak tahu tempat ingin rasanya kugantung Minaki di kaca spion. Setelah mendudukkannya dengan benar aku mendorong kursi rodanya ke dalam rumah. Rencananya, aku tetap pulang ke asrama meski bis terjebak salju sekalipun. Harga diriku tidak akan kugadaikan seutuhnya. "Ayo masuk." Sambut Nyonya Tatsuo dengan senyum mengembang. Aku kikuk sekali, pasalnya Nyonya Tatsuo seperti tidak masalah dengan kehadiranku yang akan berma