"Jak, bangun! Buruan mandi!! Hampir telat oey!!" Teriak Rinto.
Semalam aku baru pulang lewat tengah malam sehabis berkencan dengan Harumi.
Teriakan Rinto membuatku meloncat dari futon, kasur lantai yang biasa kupakai di Jepang.
Semalam Harumi mengatakan perasaan cintanya padaku. Ini gila, aku ditembak seorang perempuan.
Di Jepang, seorang perempuan menyatakan cinta pada lelaki idamannya bukanlah hal tabu.
Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima cinta Harumi. Meski masih bingung dengan perasaanku padanya.
Tanpa mandi, hanya menggosok gigi lalu berganti seragam kerja pabrik, menyisir rambut asal, memakai sepatu, mengambil tas kerja, lalu berlari mengejar teman-teman menuju halte.
"Keasikan jadi DJ lupa sama kerjaan pabrik."
"Bukan, aku semalam habis kencan sama cewekku." Jawabku dengan nafas terengah-engah.
Kepalaku di tonyor teman-teman karena mereka iri dengan kecantikan dan keseksian Harumi, kekasihku. Sedang mereka sampai hari ini belum mendapat kekasih padahal jauh lebih lama menjadi TKI di Miyazaki.
Setelah turun dari Shinkansen, kami menaiki bus menuju pabrik. Syukurlah tidak telat atau akan mendapat teguran keras.
π»π»π»π»π»
Hari ini, DJ Redy mengabariku jika sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Alhasil, aku yang akan menggantikan performanya di Yokoha Club sampai ia sembuh.
Atau bila perlu setelah sembuh ia tidak perlu kembali menjadi DJ disana. Biar aku saja yang menjadi DJ utama di Yokoha Club.
Apakah aku egois? Hidup di Jepang penuh keegoisan atau akan tergeser.
Negara ini penuh dengan persaingan ketat. Juga dengan biaya hidup yang tidak murah.
"Hai semua! Sorry for tonight, DJ Redy sedang sakit. Jadi, izinkan aku, DJ Jayka, yang memandu jalannya kebahagiaan kalian malam ini."
"I hope you all enjoy my perform."
Antusias para pengunjung begitu luar biasa seperti tidak memiliki lelah mengikuti alunan musikku.
"Jayka! Jayka! Jayka! Jayka!"
Sorak sorai mereka menginginkan aku memutar lagu energik itu kembali.
Matsushima, manager club, memberiku komando untuk meneruskan permintaan para pengunjung. Ini sedang weekend, wajar pengunjung membludak hingga aku kelelahan di atas panggung.
"Jayka, ada yang mencarimu!!" Teriak Matsushima.
"Siapa?!!" Balas teriakku tidak kalah keras.
Maklum, dentuman keras musik RnB dan hip hop sedang menggema di Yokoha Club.
"Entahlah!! Cepat turun!!"
Aku mengangguk. Lalu menaruh headphone di atas mixer. Sebuah alat yang dipakai seorang DJ sepertiku meracik lagu lagu hip hop berenergi.
Aku turun dengan style andalan seorang DJ laki-laki pada umumnya. Rambut mowhak, kemeja flanel kotak-kotak yang membungkus kaos hitam tipisku. Juga celana jeans belel sobek serta sepatu boot rendah berwarna coklat mentah.
Aku berjalan dengan penuh percaya diri.
Matsushima membawaku ke meja dimana seorang pria dan perempuan paruh baya duduk.
"Silahkan duduk." Mereka berdua mempersilahkanku.
Aku pun menurut saja.
"Silahkan dinikmati." Matsushima, manajer club ini sekaligus temanku mempersilahkan lalu melenggang pergi.
Aku menatap keduanya dengan raut bertanya. "Maaf, ada apa?"
"Kamu DJ Jayka?"
"Iya."
"Kamu ada pekerjaan selain disini?"
Aku menggeleng ragu.
"Kenalkan, aku Tatsuo Siraga. Dan ini istriku."
Kami berjabat tangan.
"Kami datang untuk menawarimu pekerjaan tambahan. Dan kami harap kamu tidak menolaknya Jayka."
Aku terheran-heran. "Pekerjaan tambahan? Apa maksudnya?"
Dengan raut gelisah, mereka tengah merangkai kalimat yang tepat.
"Bisakah kamu bekerja untuk kami setiap minggunya?"
Aku tergelak. "Maksudnya?"
"Putri kami, dia menyukaimu."
Aku melongo tidak percaya. Pasalnya aku tidak kenal siapa putri mereka. Lalu bagaimana bisa ia menyukaiku?
"Maksudnya, bekerjalah untuk kami yang memiliki seorang putri cacat. Dengan menjadi 'pelayan pribadi mingguannya'. Dia fans beratmu."
"Kami akan membayar jasamu dengan harga yang sangat pantas Jayka." Imbuh istrinya dengan nada memohon.
"Maaf, saya tidak mengerti maksud kalian. Maksud saya, saya tidak pernah bertemu putri kalian."
"Dia memiliki banyak video tentang penampilan panggungmu dari temannya yang merekammu."
Astaga! Apa apaan ini?
"Tolong beri dia kepuasan batin setiap minggunya. Dia adalah putri kami yang malang, terlahir cacat dan tidak ada yang mencintainya Jayka." Isak istrinya.
Dan, bagaimana bisa mereka menyuruhku melakukan pekerjaan aneh ini. Melayani perempuan cacat?
Hello, aku bukan seorang perawat atau girl sitter.
Bahkan aku bukan seorang gigolo.
"Tolong Jayka. Tolong!" Mohon ibunya dengan derai air mata.
"8500 Yen tiap jam dalam seminggu." Tawarnya kemudian.
Aku yang sedang membutuhkan uang teramat sangat pun bingung dengan penawaran pekerjaan aneh ini. Tanah Bik Sun harus segera kubayar dalam minggu ini atau akan dibeli oleh Pak Bimo.
Hatiku bimbang namun mendengar penjelasan mereka selanjutnya aku merasa tidak ada salahnya mencoba hal baru yang sudah umum di negara Jepang.
Menjadi seorang 'surrogate partner'.
Menjadi pasangan pura-pura bagi mereka yang terlahir cacat atau memiliki gangguan intim. Mereka yang berpeluang kecil memiliki kekasih sesungguhnya.
Kedengarannya gila, tapi begitulah kenyataannya. Di Jepang, apa yang tidak ada.
Berbekal kenekatan dan keterpaksaan, tidak ada salahnya aku mencoba pekerjaan aneh itu.
"Baiklah. Saya akan datang memuaskannya setiap minggu."
Surrogate sexual partner, atau istilahnya pasangan pengganti adalah jasa pelayanan 'teman kencan' yang sedang tren di Jepang. Disana, ada lembaga yang menyediakan seorang traineer atau pelatih profesional yang bertugas menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasien yang merasa 'lack in relationship'. Sudah bukan rahasia umum jika orang yang mengalami trauma susah mencari pasangan hidup lalu menarik diri. Juga, lembaga itu menyediakan ruang bagi mereka yang terlahir dengan keterbatasan fisik tapi memiliki organ reproduksi yang normal namun tidak tahu bagaimana menyalurkan gairah itu. Dan sudah menjadi tugas para traineer untuk membantu mereka mendapat kepuasan batin yang tidak mungkin bisa dipenuhi seorang diri. Herannya, mengapa Tuan dan Nyonya Tatsuo tidak menghubungi lembaga itu? Mereka malah memilihku yang tidak berpengalaman dalam hal seperti itu, apalagi membangun kedekatan intim dengan putri mereka. Aku tidak memiliki ilmu seperti itu sama sekali. Aku hanya pernah membaca art
"Boleh. Sarapan dimana?" "Di kamarku." Deg... Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'? Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'. Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. "Jayka?" Panggilnya lembut. Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk. "Kenapa?" Aku menggeleng. "Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya. "Minaki?" "Ya?" "Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. "Kamu sangat mengagumkan Jayka." Aku mengernyit heran. "Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan d
"Dengan siapa?" Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku? Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani. "Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya." Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu. "Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran. Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang. "Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka." Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta. "Satu pun? Ka
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya." "A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini. Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata. "Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?" Minaki mengangguk. "Janji." "Janji akan benar-benar membantuku?" Ia mengangguk lagi. Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya. "Kamu siap mendengar ceritaku?" "Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya." Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar. Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya. Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang. Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang
"Aku dilamar. Menjadi...surrogate sexual partner." "Apa?!!" Matshushima membuang sampahnya asal lalu duduk di sebelah dan menatapku lekat. "Apa kamu sangat kekurangan uang sekali sampai melakukan hal ini? Katakan Jayka?" Aku mengangguk. "Astaga Jay! Ada apa denganmu? Itu....itu menjijikkan sekali. Memberi kepuasan orang-orang bertubuh tidak sempurna. Apa gaji menjadi TKI dan DJ jika digabungkan tidak cukup banyak?" "Aku butuh lebih banyak." Matshushima menggeleng. "Kalau kamu tahu realita di lapangan, kamu tidak akan menerimanya. Bersama perempuan aneh.... lalu bercinta. Dimana otak warasmu Jay?" Dia menunjuk pelipisku. "Kami tidak bercinta, hanya memuaskan dia saja. Dan kedatanganku kemari untuk mendengar pendapatmu Shima, bukan mendapat penghakiman." Matshushima menyandarkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas kasar. "Apa yang ingin kamu dengar selain penghakiman?" "Aku membutuhkan uang banyak untuk membeli tanah di Indonesia. Aku ingin membanggakan keluargaku disana.
Kehadiran Harumi di club berada di luar perkiraan. Dia hanya berkata akan keluar bersenang-senang dengan para sahabatnya tapi tidak menyangka mereka akan menghabiskan waktu itu disini, di Yokoha Club. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari dalam club. Apalagi Harumi sangat mengenal postur tubuhku meski kututupi menggunakan hoodie. Lalu aku kembali ke ruangan Matsushima dengan terburu-buru. "Kamu harus menolongku!" "Ada apa?" Tanyanya polos sambil merapikan sofanya. "Harumi di dalam club. Aku tidak bisa melewatinya begitu saja Shima!" Matsushima tertawa sambil memegangi perutnya. "Kamu mau aku melakukan apa? Kamu takut ketahuan ya?" "Diamlah!! Aku harus lewat mana?!" Tanyaku geram. "Minaki sudah menunggu." Dia masih tertawa. "Tenang kawan. Tenang. Selirmu sudah tidak tahan ya?" Aku gusar memikirkan cara keluar. "Tenang katamu!?" "Jangan lupa komisi untukku yang sudah berbaik hati membantumu Jay." Matsushima berjalan keluar ruangan lalu tiba tiba.... Hlap! Suasana clu