“I hate Monday!” Amisha mendesis kesal.
Slogan itu rasanya tidak pernah pudar seiring berjalannya waktu. Tetap saja masih relevan, bahkan semakin relevan dengan perkembangan zaman.
Amisha sangat benci terjebak macet di pagi hari, terlebih lagi di hari Senin. Hari ketika pekerjaannya lebih menggunung dari hari-hari lainnya.
Entah sudah berapa kali ia melirik jam digital di mobilnya. Waktu jam masuk kerja semakin mepet. Sementara ia masih terkukung di perempatan jalan. Menahan gerah karena amarah, padahal di luar sana langit tak begitu cerah. Awan kelabu menggantung di mana-mana, seakan siap mengguyur Jakarta dalam hitungan detik atau bahkan menenggelamkannya.
“Ah! Kalau saja aku tidak b
Gee masih menanti jawaban Gianna dengan dada berdebar, harap-harap cemas. “Bagaimana, Nona Gianna? Anda tertarik?” "Oh, tidak! Terima kasih atas tawarannya. Aku demam panggung," tolak Gianna, terang-terangan. "Aku suka kejujuran Anda, walaupun harus kuakui bahwa aku juga kecewa ditolak mentah-mentah. Anda orang pertama yang menolak tawaran langsung dariku, Nona Gianna," sahut Gee disertai nada gurauan. "Fitting-nya sudah selesai, ‘kan?" tanya Gianna, mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, tentu saja. Calon suami Anda memilih mode terakhir," beritahu Gee. "Aiiyya, Anda mengabarinya?" kaget Gianna. "Jelas! Dia yang ingin menentukan sendiri seperti apa penampilan calon pengantinnya di hari istimewa itu," tukas Gee. "Terserah. Bagiku itu tidak penting," putus Gianna, tak ingin berlarut-larut membicarakan calon suaminya yang sok misterius itu. "Ini, Mr. Gee!
“Kak, boleh pinjam mobil?” tanya Glen pada Zain. Sementara sendok berisi makanan menggantung tepat di depan mulutnya.Zain menghentikan suapannya, melirik Glen dengan tatapan penuh tanya.“Mau ke mana?”“Tidak terlalu jauh sih. Cuma mau ke rumah Uncle Harist,” jawabnya, sedikit tak acuh. Tangannya sibuk mengumpulkan makanan yang berserakan di atas piring agar lebih mudah disendok.“Kamu masih di bawah umur, ‘kan?” tebak Zain.“Cuma kurang setahun,” sahut Glen santai.“Tetap masih kurang. Ini Jakarta, Bro!” tegas Zain.“Kesimpulannya nggak boleh nih?”“Aku akan mengantarmu ke sana,” putus Zain.“Okay. I have no choice, right?” sahut Glen, pasrah.Walaupun hati kecilnya sedikit kecewa, Glen terpaksa harus menerima keputusan Zain. Lagi pula, ia tidak ingin mendatangkan masalah bagi kakak sepupunya seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan dia berurusan dengan pihak berwajib.Ti
"Masuk!" teriak Amisha dari meja kerjanya begitu mendengar suara ketukan pintu.Sebelah alisnya terangkat ketika melihat Gianna melangkah masuk dengan tangan kosong. Gadis itu tidak membawa tumpukan dokumen di tangannya. Sungguh sebuah kebiasaan yang bertolak belakang dengan kesehariannya di tempat kerja selama ini."Maaf, petugas resepsionis menelepon. Katanya ada seorang remaja menunggu di lobi," beritahu Gianna."Apa dia menyebutkan nama?" tanya Amisha."Petugas itu sudah menanyakan namanya, tapi anak itu bersikeras untuk merahasiakannya. Katanya sih biar jadi kejutan.”Kening Amisha otomatis berlipat laksana kertas diremas. Hatinya tergelitik untuk mengetahui siapa anak ingusan itu. Harus diakuinya bahwa mental anak itu cukup kuat hingga mendatanginya di kantor tanpa mau memperkenalkan diri."Berani sekali dia pagi-pagi mengacau di kantorku," sungut Amisha."Hidupmu memang selalu penuh kejutan," kelakar Gianna, menco
Obrolan serius tentang keputusan lamaran Gianna telah beralih rupa menjadi bincang-bincang santai seputar kehamilan Amisha.Gianna merasa bersyukur pertanyaan Harist tentang cucunya yang masih dikandung Amisha dapat menghentikan aksi usil Amisha dan Zain. Mereka berdua sedari tadi terus saja menggoda, membuatnya merasa jengah."Jadi, aku akan punya dua cucu sekaligus?" tanya Harist, berseru girang.Kebahagiaannya terasa makin sempurna. Sesaat lagi ia akan melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua bagi Gianna dan menyerahkan tanggung jawab itu sepenuhnya pada suami Gianna nantinya.Menerima kehadiran dua cucu tentu akan membuat hari-harinya akan lebih berwarna. Gelak tawa dan tingkah lucu mereka akan menjadi pengobat sepi yang paling mujarab. Harist makin bersemangat untuk menjalani hari-hari yang akan datang."Iya, Pa. Dua cucu perempuan," bangga Zain."Alhamdulillah. Rasanya papa sudah tidak sabar ingin menimang bidadari kecil
"Wah, lucunya!" seru Zain, riang.Gerakan lincah yang terlihat dari layar monitor alat USG itu sungguh membuat hatinya diselimuti rasa bahagia yang tak terkira.Amisha yang masih terbaring menjalani pemeriksaan hanya bisa tersenyum, menyaksikan kegembiraan Zain. Suaminya tampak persis seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan sirkus.Dokter yang memeriksa Amisha pun ikut tersenyum geli, melihat kehebohan Zain. Jarang-jarang ia menemukan seorang suami bersikap begitu terbuka, menunjukkan kebahagiaannya saat menemani sang istri memeriksakan diri."Mau tahu jenis kelaminnya?" tawar sang dokter.Ia sengaja tidak langsung memberitahu jenis kelamin anak yang dikandung pasiennya, karena terkadang sebagian dari mereka justru lebih memilih untuk menjadikan hal itu sebagai sebuah kejutan."Tentu, Dok!" sahut Zain, bersemangat.Dokter itu pun menggeser posisi ujung transduser USG yang dipegangnya untuk menemukan bagian tu
"Papa yakin lelaki ini yang melamar Gianna?" tanya Zain. Matanya terus menatap lembaran foto yang terselip di jarinya. Beberapa kali ia melirik Amisha, membuat Amisha penasaran, lalu merampas foto yang dipegang Zain. Amisha mengernyit, melihat foto lelaki yang berniat mempersunting saudara angkatnya. "Serius, Pa?" Amisha ikut bertanya. Ia melirik Gianna. Gadis itu sepertinya juga tertarik untuk mengetahui siapa calon suami yang ditawarkan papa angkatnya. Sayangnya, Harist lebih memilih merahasiakan jati diri lelaki itu dari Gianna. Harist bangkit dari duduknya, mengeluarkan sesuatu dari sebuah stoples yang tersimpan di dalam sebuah lemari kaca. "Ini. Lelaki itu meninggalkan benda ini. Ia meminta papa untuk menyerahkannya kepadamu." Harist menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Gianna. Namun, Gianna tak langsung menyambut benda yang diulurk