“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.
Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
Duduk bersandar lesu pada kursi penumpang di belakang sang sopir, Amisha menatap hampa ke luar jendela. Siluet lampu-lampu jalan tampak seperti jaring laba-laba dalam pandangan matanya, begitu suram dan menakutkan.‘Aku sangat berharap saat ini ada portal waktu yang mampu menarikku ke dunia lain,’ gumam hati Amisha disertai desahan napas berat.Gadis cantik yang sedang fokus menyetir mendengar desahan gundah Amisha. Ia mengintip dari kaca spion. Sorot matanya tak terbaca.“Apa Nona ingin aku membatalkan pertemuannya?” tanya si sopir berwajah oval itu. Ia kembali melirik dari kaca spion.“Tidak usah, Gianna. Aku tidak ingin menimbulkan masalah. Lagi pula, aku yakin dia akan mundur dengan sendirinya,” tolak Amisha, menyeringai licik. Si sopir cantik yang dipanggil Gianna itu ikut tersenyum.“Kita sudah sampai, Nona.” Gianna mengingatkan Amisha.Amisha membuka matanya yang sempat terpejam. Sejenak ia memeriksa penampilannya dan berkaca. Setelah yakin, ia tersenyum puas, lalu turun dari m
“Akhirnya satu nyamuk lagi berhasil ditepuk mati!” Amisha mendesah lega. Ia berdiri di depan cermin toilet, merapikan pakaiannya. “Kacamata ini, sungguh sangat berjasa!”Amisha tersenyum menatap kacamata yang baru saja dilepasnya. Kacamata itu telah dilengkapi lukisan optik khusus yang memperlihatkan mata kanan Amisha seakan-akan juling. Sebuah cacat yang tentu saja tak ingin dimiliki oleh siapa pun, terutama kaum hawa.“Oke. Saatnya merayakan kemenangan!” Amisha melangkah riang keluar dari toilet setelah memasang kembali kacamata samarannya. Di tangan kirinya tergenggam sebuah kantong plastik, berisi pakaian yang tadi dipakainya untuk menyamar.Dari tempat persembunyiannya, lelaki yang mengikuti Amisha melirik sekilas jam tangannya. Pandangannya tak lepas dari pintu toilet.“Kenapa gadis aneh itu lama sekali? Apa terjadi sesuatu?”Sesaat kemudian, pertanyaannya terjawab dengan kemunculan Amisha. Ia nyaris tak mengenali gadis yang diikutinya jika saja ia tidak melihat kacamata yang di
“Menjadi cantik dan kaya tidak selamanya membawa kebahagiaan,” keluh Amisha dalam hening.Gadis itu meminta Gianna untuk pulang lebih dulu. Ia berjalan seorang diri, menyusuri jalanan dengan perasaan tak menentu. Ia berada di ambang putus asa, menyikapi keinginan mamanya. Wanita yang sangat dicintainya itu terus saja memaksanya untuk menikah.Amisha bukannya tidak ingin menikah. Siapa sih yang mau jadi perawan tua? Ia hanya tidak ingin bersikap gegabah. Ia menolak keras menikahi lelaki yang hanya menuruti nafsu dan mengincar harta orang tuanya, tetapi tidak mencintainya.Di usia yang hampir mendekati tiga puluh tahun, Amisha mendambakan seorang pria yang mencintai dirinya, bukan embel-embel di belakangnya. Tanpa sadar, Amisha meneteskan air mata.Zain melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah, membelah jalanan tanpa tujuan yang jelas. Mendadak ia menginjak rem dan menoleh kaget, saat netra kelamnya menangkap siluet Amisha berjalan seorang diri di tengah keramaian.Wajah sendu Amisha
“Aarrgh!” Kenzo meninju angin dengan kesal lantaran gagal menyusul Amisha.“Sayang, biarkan saja dia pergi. Bukankah itu lebih baik?” Wanita itu berusaha menghibur Kenzo.“Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi kehilangan tambang emas dan masa depanku!” Kenzo menatap tajam kepada kekasihnya.“Kita masih bisa mencari perempuan bodoh lainnya,” bujuk wanita itu, tersenyum manis seraya menggelayut manja di lengan Kenzo.“Ah! Benar juga! Kamu memang kekasih pintarku!” Kenzo mencolek dagu wanita itu. Emosinya mereda.Mereka kembali masuk ke toko pakaian, melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda.Bersembunyi di balik sebuah mobil, Amisha melihat semua adegan mesra sepasang kekasih itu dengan air mata mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur bagai butiran debu.“Aku memang bodoh dan telah dibutakan oleh cinta!” gumam Amisha, pelan. Tanpa terasa air matanya kembali luruh, mengenang kisah kelam itu.Amisha melangkah gontai di sepanjang jalan. Tak ia pedulikan tubuhnya yang basah kuyup. Ai
“Aku tidak percaya aku bisa melakukan hal sebodoh itu hanya karena sebuah kenangan buruk yang menjijikkan!” Amisha memaki dirinya sendiri kala teringat bagaimana ia membiarkan dirinya berjalan tak tentu arah di bawah derasnya guyuran hujan. Ia mengutuk kelemahan hatinya yang masih saja menangis hanya karena terkenang bagaimana Kenzo mengkhianati kesetiaannya beberapa tahun lalu.“Aku rasa tidak ada yang lebih bodoh dari diriku! Pantas saja Kenzo mencampakkan aku.” Amisha mengejek diri sendiri dengan lenguhan jengkel.CEKLEK!Suara pintu terbuka membuat Amisha, yang berbaring di atas tempat tidur, berpaling ke arah pintu. Tampak Inah datang membawa baki berisi semangkuk bubur dan segelas jus jambu merah segar bercampur madu.“Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona Muda?” tanya Inah lembut seraya meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.“Memangnya apa yang terjadi padaku, Bi?” Amisha balik bertanya.“Ya, Tuhan! Nona lupa? Kemarin malam Nona jatuh pingsan di depan pintu lho. Dema
Kurang dari tiga puluh menit, Amisha sudah tiba di kantor. Ia berjalan menuju lift. Langkahnya nan elegan selalu saja menarik perhatian karyawan pria yang berselisih jalan dengannya. “Selamat pagi, Nona!” sapa Seno yang bertemu Amisha di depan lift. Amisha mengangguk ringan tanpa membalas sapaan Seno. Seno sangat maklum. Ia mengiring Amisha memasuki lift dan berdiri kaku di samping bosnya itu. Sesekali ia melirik Amisha dengan sudut matanya.Sudah hampir lima tahun Seno bekerja untuk Amisha. Belum sekali pun ia dapat melihat dengan jelas seperti apa wajah asli junjungannya itu. Rumor yang didengarnya simpang siur. Selentingan kabar angin mengatakan bahwa Amisha adalah wanita yang memiliki kecantikan luar biasa tanpa cela. Sementara kabar lainnya mengatakan Amisha tak lain merupakan wanita berwajah jelek.Ia memiliki cacat pada matanya. Itu sangat memalukan bagi orang kelas atas sehingga ia selalu menutupinya dengan kacamata hitam yang lebar.Bahkan, sebagian rumor juga mengatakan ba
Zain meletakkan peralatan kebersihan yang dibawanya di luar ruangan Amisha. Ia baru ingat pesan Seno untuk tidak membersihkan ruangan bosnya itu saat Amisha sedang berada di dalam ruangan. Amisha sangat membenci itu. Jadi, Zain memutuskan untuk memastikan keberadaan Amisha terlebih dulu.Zain mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan. Ia mendorong daun pintu pelan dan melangkah masuk dengan hati-hati. Kekosongan dan kesunyian menyambut kehadiran Zain di ruangan itu. Ia melirik jam dinding. Pukul 8.17.“Bukankah rumornya Amisha Harist adalah wanita yang sangat disiplin waktu? Kenapa dia belum muncul?” Zain bertanya heran.Tatapan jeli Zain menyapu seisi ruang kerja Amisha. Alisnya terangkat saat melihat tas Amisha sudah teronggok manis di atas meja.“Ah! Ternyata dia sudah datang, tapi … di mana dia?” Zain masih mempertanyakan keberadaan bosnya itu. Entah kenapa kecemasan menyergap hatinya. Membayangkan kemungkinan hal buruk telah menimpa Amisha. Bukankah kemarin malam hujan sangat
“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis
Amisha masih mengulurkan tangannya untuk meraih kain putih di hadapannya. Getaran jari-jarinya makin kentara. Sejenak ia memejamkan mata, sekuat hati memberanikan diri untuk menyibak kain penutup sosok yang sedang terbujur kaku.Perlahan helai demi helai rambut hitam menyembul dari ujung kain yang mulai tersibak. Menambah berat beban emosi yang mengimpit dada Amisha. Rasa sedih, rasa kehilangan dan ketakutan menyatu dalam kalbu. Namun, semua rasa itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang menggelayuti hatinya.Detak jantung Amisha makin berpacu kala puncak kening yang berlumuran darah mulai mengintip dari ujung Kain. Gianna dan Yoshi bahkan ikut menarik napas dalam saking deg-degannya mereka menanti apa yang akan terpampang di depan mata mereka.“Amisha!” teriak seseorang, berseru lantang menghentikan gerakan tangan Amisha.“Suara itu ….” Sesaat Amisha tercekat mendengar suara yang menyerukan namanya. Ia merasa sangat mengenal suara itu.Ta
“Amisha ada di ruangannya sekarang?” tanya Yoshi, tanpa tedeng aling-aling dari seberang telepon begitu Gianna mengangkat panggilannya.Pandangan mata Gianna segera bergerak menembus dinding kaca yang memisahkan ruangannya dan ruang kerja Amisha. Tampak Amisha sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.“Ada. Kenapa?” Gianna balik bertanya dengan dada yang tiba-tiba berdebar tidak enak.“Baguslah. Jauhkan dia dari semua akses berita,” perintah Yoshi, tanpa menjawab pertanyaan Gianna.“Beritahu aku alasannya!” Nada bicara Gianna sedikit meninggi, merasa agak kesal lantaran Yoshi mengabaikan pertanyaannya.“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Lakukan saja perintahku! Aku harus segera pergi,” sergah Yoshi, dengan nada tegas. Terdengar jelas bahwa ia sedang terburu-buru. Terlebih lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon tanpa menanti respons dari Gianna.Gianna mengernyit memandangi ponsel di tangannya.“Ada
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli
Gianna melangkah gontai memasuki lift apartemennya. Menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung seharian penuh di kantor benar-benar menguras tenaga. Ia merasa sangat lelah. Satu-satunya keinginannya saat ini hanyalah menikmati berendam diri dalam air hangat sembari menghirup wanginya aroma terapi.“Tunggu!” Pintu lift yang akan segera menutup tiba-tiba ditahan oleh sepasang tangan.HAH!Gianna terperangah ketika mengenali wajah sang penahan pintu lift.“Sonny? Kok kamu ke sini?” tanya Gianna, tanpa membalas senyuman manis Sonny.Ia menggeser posisi berdirinya sedikit ke kanan agar tercipta cukup jarak antara dirinya dan Sonny yang berdiri di sebelah kirinya.Sonny tak merespons pertanyaan heran Gianna. Ia hanya tersenyum misterius sembari membungkuk hendak memencet tombol lift. Di saat bersamaan, Gianna juga bergerak ingin menekan tombol dengan angka yang sama. Tanpa sengaja jari mereka menyatu.Baik Sonny maupun Giann
Belakangan ini cuaca Jakarta sangat tak menentu. Terkadang panas, lalu mendadak hujan dalam sekejap. Tak ingin terjebak pergantian cuaca yang sulit diprediksi, Amisha dan Gianna memutuskan untuk menikmati makan siang di kantin kantor daripada pergi ke kafe terdekat.Mereka memilih duduk di meja pojok agar tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian karyawan lainnya yang juga bersantap siang di kantin itu.“Kamu kencan sama Yosh, Gi?” tanya Amisha, menyesap jus naga merah dengan pipet yang terselip di antara jari-jari lentiknya.UHUK!Gianna yang tengah menyeruput jus jeruknya terbatuk kecil mendengar pertanyaan Amisha yang tak terduga. Ia menatap Amisha dengan mata membulat sempurna lantaran kaget.“Aiyyaaa … siapa bilang? Jangan suka asal menyimpulkan deh!” rungut Gianna, sedikit kesal.Ia tak habis pikir mengapa Amisha sampai menafsirkan hubungannya dengan Yoshi sejauh itu. Mukanya mengeras ketika kemungkinan Yoshi yang mengak
Waktu bergulir bagai mata air yang terus mengalir. Dua minggu paska Gianna dirawat di rumah sakit, hubungan Sonny dan Gianna tampak semakin akrab. Melihat itu, Yoshi seperti kebakaran jenggot karena merasa kalah start. Ia pun makin mempergencar serangan pendekatannya pada Gianna.“Hai!” sapa Yoshi begitu tiba di hadapan meja kerja Gianna. Ia masuk tanpa mengetuk pintu.Gianna mendongak dengan sorot mata dingin, menunjukkan ketidaksenangannya akan kebiasaan Yoshi yang masuk tanpa permisi.“Kebiasaan jelek dipelihara. Ketuk pintu dulu kenapa!” ketus Gianna, bersungut-sungut.“Sengaja. Surprise!” kilah Yoshi, dengan nada berkelakar.“Maksud kamu, kamu sengaja ingin membuatku terkena serangan jantung?” semprot Gianna, dengan nada sewot. Baginya kelakar Yoshi tidak lucu sama sekali. Malah ia sangat membenci itu.“Ya ampun, Gianna! Mana mungkin aku berniat begitu. Tuduhanmu terasa sangat menyakitkan di hatiku,” bantah Yoshi, sedikit le
Begitu menginjakkan kaki menaiki teras ruangan IGD, aroma obat-obatan yang menyengat menerjang indra penciuman Amisha dengan sangat dahsyat, memaksanya untuk melintangkan jari telunjuk pada sepasang gua kecil di atas bibirnya.“Pakai ini!” Zain mengulurkan sehelai sapu tangan.“Terima kasih!” Amisha menerima uluran sapu tangan itu dengan senang hati.Serta merta pesingnya bau obat-obatan segera tergantikan oleh wanginya parfum yang menguar dari serat-serat halus sapu tangan Zain.Saat Amisha dan Zain menemukan brankar Gianna, gadis itu baru saja menjalani pemeriksaan oleh seorang dokter wanita.“Bagaimana keadaan saudariku, Dok?” tanya Amisha, dengan air muka khawatir.Sekilas dokter itu melayangkan senyuman ramah pada Amisha tanpa melepaskan earpieces stestoskop dari telinganya.“Kita tunggu hasil laboratorium untuk lebih jelasnya ya, Bu. Ada kemungkinan pasien terkena tipus,” sahut sang dokter, dengan nada tenang.