Seorang gadis cantik mencondongkan tubuhnya ke kiri. Berusaha melihat lebih jelas sosok seorang lelaki yang sedang asyik cuci mata pada kios souvenir di sekitar Menara Eiffel. Lelaki itu agak membungkuk dan menoleh ke kanan sehingga mempersulit pandangannya untuk mengenali wajah lelaki itu dengan lebih jelas.
Gadis cantik itu mengukir senyuman lebar ketika lelaki itu berdiri tegap. Cepat-cepat ia mengayun langkah mendekati lelaki itu. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai lepas berkibar-kibar ditiup angin. Raut mukanya tampak semringah seperti baru saja menemukan barang berharganya yang telah lama hilang.“Zain Adelino? It’s you, right?” sapanya ramah pada sosok lelaki yang masih asyik mengamati cendera mata di kios itu.Merasa nama lengkapnya dipanggil, Zain menoleh. Sesaat ia menyipitkan mata, memandang sekilas pada gadis cantik yang berdiri di depannya. Keningnya yang berkerut menunjukkan bahwa ia sedang berusaha memanggil sepenggal memori, yang mun“Kok malah berdiri bengong di sini sih, Kak?” tanya seorang gadis cantik dalam Bahasa Urdu.Gadis itu menatap heran pada Alaya yang masih tegak bergeming tanpa merespons pertanyaannya.“Aneh! Tidak biasanya Kak Alaya seperti ini. Jangan-jangan dia sakit.” Gadis itu membatin cemas. Dirabanya kening Alaya, lalu dibandingkannya dengan suhu tubuhnya sendiri.“Biasa saja,” gumamnya, semakin bertambah heran.Melihat sepasang mata kelam Alaya terpaku pada satu titik, gadis itu pun mengikuti arah pandangan Alaya. Tampak seorang lelaki melangkah terburu-buru dari satu toko ke toko lainnya, seperti sedang mencari sesuatu.Gadis itu menoleh kepada Alaya, kemudian beralih lagi kepada sosok lelaki yang tak terlihat dengan jelas itu.“Kakak mengenal lelaki itu?” tanya gadis itu sambil menyikut lengan Alaya.Alaya terperanjat dan mengerjapkan kedua matanya. Ia masih dikuasai kebingungan ketika melirik gadis cantik yang berdiri di sisi
Seorang gadis cantik mencondongkan tubuhnya ke kiri. Berusaha melihat lebih jelas sosok seorang lelaki yang sedang asyik cuci mata pada kios souvenir di sekitar Menara Eiffel. Lelaki itu agak membungkuk dan menoleh ke kanan sehingga mempersulit pandangannya untuk mengenali wajah lelaki itu dengan lebih jelas.Gadis cantik itu mengukir senyuman lebar ketika lelaki itu berdiri tegap. Cepat-cepat ia mengayun langkah mendekati lelaki itu. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai lepas berkibar-kibar ditiup angin. Raut mukanya tampak semringah seperti baru saja menemukan barang berharganya yang telah lama hilang.“Zain Adelino? It’s you, right?” sapanya ramah pada sosok lelaki yang masih asyik mengamati cendera mata di kios itu.Merasa nama lengkapnya dipanggil, Zain menoleh. Sesaat ia menyipitkan mata, memandang sekilas pada gadis cantik yang berdiri di depannya. Keningnya yang berkerut menunjukkan bahwa ia sedang berusaha memanggil sepenggal memori, yang mun
Terik mentari di musim panas mengurai kelembapan dalam tubuh dan memecahnya menjadi butiran keringat. Gianna menyeka peluh yang membanjiri dahi serta pelipisnya dengan selembar tisu. Adakalanya ia mengibas telapak tangannya untuk berkipas.Semilir angin dan kesejukan naungan pepohonan di sekitar Basilika Sacre-Coeur tak mampu menghentikan rasa gerah menguasai raga Gianna.Sonny mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku kemeja yang dikenakannya. Tubuhnya pun bermandi peluh. Namun, melihat tisu di tangan Gianna nyaris berubah menjadi bubur kertas, ia pun mengurungkan niatnya untuk menggunakan sapu tangan itu.“Pakai ini saja!” kata Sonny, menyodorkan lipatan sapu tangan di genggamannya kepada Gianna.Gianna melirik tisu di tangannya yang sudah hancur. Lalu, tatapannya beralih pada sapu tangan yang dipegang Sonny. Sejenak ia ragu untuk menerima sapu tangan itu.Sonny mengangguk pelan sembari mengerjapkan kedua matanya. Bibir tipisnya pun me
“Sebentar! Itu bukannya Gianna ya?” tanya Amisha, menghentikan langkahnya sembari membetot lengan Zain cukup keras.Sontak Zain ikut mengerem langkahnya, menoleh kepada Amisha dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Mana?” tanya Zain, mencoba mengikuti arah pandangan Amisha. Namun, ia tak melihat seorang perempuan berjilbab pun di kejauhan sana.“Itu … yang baru mau naik dari bawah sana,” tunjuk Amisha dengan bibirnya pada seorang perempuan yang baru saja menampakkan batang hidungnya yang tadi terhalang pengunjung lain.“Iya. Sepertinya kamu benar. Itu Gianna, tapi ... siapa lelaki yang bersamanya itu?” tanya Zain, penasaran.Jarak mereka cukup jauh dan lelaki itu tengah berpaling muka. Hal tersebut menyulitkan Zain untuk mengenali wajah lelaki yang berjalan di samping Gianna. Namun, ia sangat yakin bahwa lelaki itu bukan Yoshi. Postur tubuh mereka sangat berbeda.Anisha tak menyahuti pertanyaan Zain. Rasa senang bisa bertemu Gian
Zain menepuk keningnya cukup keras. Hatinya sempat kebat-kebit dalam ritme resah ketika Amisha menghentikan perkataannya sementara waktu. Namun, setelah ia mendengar penuturan Amisha selanjutnya, senandung gelisah itu beralih rupa menjadi sorak bahagia di relung hatinya. Refleks ia merangkul Amisha ke dalam pelukannya.“Oh My God, Sweetie! Kau nyaris membuat jantungku berhenti berdetak.”Merasa sesak karena dekapan Zain, Amisha terpaksa melepaskan lipatan kedua tangannya, mendorong tubuh Zain agar menjauh darinya.Zain berdiri selangkah dari hadapan Amisha. Ia menatap gemas pada istrinya itu dengan kerlingan nakalnya.“Kurasa aku layak mendapat hadiah spesial,” kelakarnya.“Huh? Kau hampir saja menghentikan aliran napasku dengan pelukan eratmu itu. Sekarang malah minta hadiah. Dasar aneh!” gerutu Amisha, mengernyit tak mengerti dengan jalan pikiran Zain.“Apanya yang aneh? Wajar dong aku minta apresiasi karena sihirku telah menca
“Gia, mau hang out bareng, tidak?” tanya Amisha melalui telepon setelah ia menghabiskan sarapannya. Ia masih duduk di hadapan Zain.Zain melirik Amisha sambil terus menyuap makanannya yang masih tersisa beberapa suapan lagi. Mereka lebih memilih memakai jasa room service untuk mengantar sarapan pagi.“Enggak usah deh. Aku sudah ada janji,” tolak Gianna halus, tak ingin menjadi gulma pengganggu bagi keharmonisan bulan madu Amisha dan Zain.“Kamu yakin?” tanya Amisha, mengonfirmasi.Kemarin mereka telah menikmati romantisme Kota Paris secara terpisah. Hari ini Amisha sebenarnya ingin menghabiskan hari dengan melibatkan Gianna di antara mereka. Rasanya tidak enak juga berlibur bareng, tetapi kenyataannya malah jalan sendiri-sendiri.“Iya. Jangan pedulikan aku! Nikmati saja bulan madumu!” saran Gianna, dengan nada dibuat seceria mungkin.Ia tidak ingin Amisha merasa tidak enak hati karena terkesan seolah telah menelantarkan keberadaa
Gianna duduk di tepi ranjang sambil sesekali matanya menatap sendu pada keanggunan Menara Eiffel yang bersinar indah di kejauhan. Tangan kirinya menggenggam kotak perhiasan yang tadi siang diserahkan Sonny kepadanya.Ketika cahaya lampu di menara itu padam, ia pun kembali beralih menatap kotak kecil berwarna merah yang masih bertengger anggun di atas telapak tangannya.Huuuh! Haaah!Gianna menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan dan terasa berat seakan-akan dadanya diimpit sebongkah batu besar.Meskipun hatinya dihinggapi keraguan, akhirnya Gianna mengangkat juga tangan kanannya yang sedari tadi bertumpu lemah pada tepi kasur. Ia tergoda untuk membuka kotak merah itu.Setelah mengembuskan napas kencang sekali lagi, Gianna pun mengangkat bagian atas kotak. Dalam hitungan detik, kotak itu pun memamerkan pesona indah sebuah cincin berlian yang berkilau terang, tertimpa cahaya lampu kamar.“Apa yang harus kulakukan
Pukul delapan malam. Zain tergeletak tak bergerak di atas ranjang dalam pose pasrah tak berdaya. Kedua kakinya menjuntai di tepi ranjang. Kedua tangannya setengah terentang. Kelopak matanya tertutup rapat. Napasnya menderu pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Sepintas, Zain tampak seperti orang pingsan.“Zain! Zain!” Beberapa kali Amisha memanggil Zain dari meja rias, tetapi ia tak mendengar sama sekali.Amisha mengamati bayangan Zain yang terekam dalam pantulan cermin. Ia mengernyit, menyaksikan suaminya masih diam membisu tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tidak biasanya Zain tak menyahuti panggilannya.Selama ini tidur Zain cenderung sangat tipis. Senyenyak apa pun ia tertidur, ia akan segera bangun hanya dengan mendengar desahan Amisha ataupun merasakan sentuhan geliat istrinya. Namun, kali ini ia tetap diam membisu walaupun Amisha telah setengah berteriak menyerukan namanya.Wajah Amisha seketika memucat. Detak jantungnya men
“Mumpung belum terlalu sore, kita ke Taman Trocadero yuk!” ajak Sonny setelah ia dan Gianna turun dari puncak Menara Eiffel.Matanya menatap Gianna penuh harap agar wanita yang telah menggeser posisi Amisha di hatinya itu mau menuruti ajakannya.Gianna balas menatap Sonny dengan dada berdebar saat mendapati lelaki itu memandangnya dengan tatapan yang sangat berbeda. Tatapan yang begitu hangat.“Boleh juga. Cuaca panas begini cocok banget kalau kita ke sana,” sahut Gianna sembari membuang muka, mengarahkan pandangan ke lokasi Taman Trocadera.Wajah Sonny berbinar cerah mendengar jawaban Gianna. Dentuman musik rock and roll seakan bergema di hatinya. Memacu adrenalinnya melewati ambang batas normal.Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit bagi mereka berdua untuk berjalan kaki menyeberangi Sungai Seine menuju Taman Trocadero.Seperti saat mengunjungi Taman Champs de Mars, setibanya di Taman Trocadero pun mereka disambut oleh ru