TOK! TOK!
Sonny mengetuk daun pintu ruang baca papanya yang terbuka. Ia melangkah masuk saat papanya menganggukkan kepala.Tuan Prima langsung menutup buku yang sedang dibacanya ketika Sonny kian mendekati sofa. Ia pun bangkit meninggalkan sofa bed tempatnya berselonjor santai, lalu mendatangi Sonny.Ia tahu pasti anak semata wayangnya tidak akan menemuinya di ruangan itu kalau saja tidak ada hal penting yang ingin dibahasnya secara pribadi.“Tampaknya kau tegang sekali?” tegur Tuan Prima tatkala mata senjanya menangkap gerakan kecil dari kedua tangan Sonny yang saling bertaut, berusaha mengatasi rasa grogi.“Enggak kok, Pa,” elak Sonny, mencoba mengurai senyum pada bibirnya.“Papa juga pernah muda, Nak. Papa tahu kau sedang gugup. Apa ini berkaitan dengan perempuan?” tembak Tuan Prima, menerka langsung penyebab kegelisahan putranya.“Dari dulu Papa selalu saja tahu semua isi hati dan pikiranku,” aku Sonny malu-malu.Berbaring di atas tikar santai, kedua mata Amisha kini telah ditutupi sepasang kacamata hitam untuk melindungi netra uniknya dari pancaran sinar matahari.Amisha pun tak lagi mengenakan jilbab. Ia dan Zain benar-benar tampil layaknya sepasang turis asing yang tengah berjemur di pantai.“Mau coba mandi di kolam air terjun itu?” tawar Zain, antusias.“Memangnya bisa?” tanya Amisha bodoh.“Bisa dong, Sweetie. Ayo!” Zain segera melompat bangkit, mengulurkan tangan kepada Amisha.Amisha menyambut uluran tangan Zain, lalu berdiri di samping suaminya sembari melayangkan pandangan pada debit air yang berada di dalam kolam.“Jalan sendiri atau kugendong?” goda Zain dengan kerlingan nakal.Tanpa menjawab pertanyaan Zain, Amisha mengayun langkah menuju air terjun buatan itu. Namun, gerakannya terhenti begitu tiba di tepi kolam.Warna dasar air yang sedikit gelap membuat hati Amisha ragu untuk langsung menceburkan kaki ke d
Amisha dan Zain baru saja menjejakkan kaki pada anak tangga pertama untuk naik ke lantai atas ketika bel pintu kembali berbunyi.“Kamu mengundang seseorang?” tanya Amisha.“Enggak,” sahut Zain.Sesaat Amisha dan Zain bersitatap heran. Otak mereka menebak-nebak siapa gerangan yang berkunjung di akhir pekan begini.Ketika mereka balik badan hendak turun, Siti telah berlari keluar dari ruang makan.“Biar Bibi saja, Non!” cegahnya cepat.Amisha dan Zain pun berjalan santai menuju ruang tamu.“Yoshi? Tumben Sabtu pagi sudah kelayapan,” cecar Zain, dengan kening berkerut.Biasanya Yoshi bangun kesiangan pada akhir pekan. Kalau sekarang adik sepupunya itu sudah bertamu ke rumahnya di saat matahari belum meninggi, pasti ada sesuatu yang menuntun langkahnya sehingga ia rela melepaskan belitan selimut hangatnya.Yoshi belum menggubris tatapan heran kakak sepupunya. Ia malah mengenyakkan pantat di atas sofa, bersa
“Masih mau muntah?” tanya Amisha pada Zain yang masih terlihat pucat.Zain tidak lagi berminat melanjutkan sarapan pagi yang disiapkan istrinya. Dua kali bongkar isi perut membuatnya lelah.“Maaf ya, Sweetie. Aku tidak bisa menghabiskan makanannya,” lirih Zain, menatap sendu pada Amisha dengan hati diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Sayang. Mungkin memang ada yang salah dengan masakanku. Biasanya kamu suka sekali seafood,” celoteh Amisha, menenangkan Zain.“Sekarang makan roti saja ya,” tawar Amisha.Ia sudah menyingkirkan piring berisi nasi goreng tom yam seafood buatannya dari hadapan Zain.“Thank you, Sweetie!” desis Zain, masih dengan nada lesu.Amisha menyerahkan roti tawar yang sudah diolesinya dengan selai blueberry kepada Zain. Mungkin dengan mengonsumsi sedikit asam dapat mengurangi rasa mual suaminya.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Amisha.“Tidak usah. Mualnya sudah berkurang,” tolak Za
DUK!Nyonya Prima terjengkang ke belakang tatkala sebelah lengan kekar Prima mendorong tubuhnya dengan keras agar menjauh dari Sonny.Muka Prima merah padam. Rahangnya mengeras menahan geram. Tatapan tajamnya seakan ingin menebas leher istrinya. Kalau saja Sonny tidak sedang terkapar di atas lantai, mungkin ia tidak akan segan memaki sang istri sepuas hati.“Semua ini akibat dari keangkuhanmu!” bentak Prima jengkel.Seorang lelaki yang biasa bertugas menjaga rumah Prima berlari tunggang langgang memenuhi panggilan Prima setelah mendengar teriakan panjang sang majikan dari dalam rumah.“Ya Allah, Tuan. Kenapa Den Sonny?” tanyanya, cemas menyaksikan cairan merah yang merambat memenuhi lantai.Mendugas ia mengangkat tubuh Sonny dari lantai, melangkah panjang menuju mobil yang sudah terparkir di halaman.Begitu Prima dan istrinya sudah duduk di dalam mobil, sang sopir tancap gas dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Sepulang dari mengantar Alaya ke hotel, Yoshi mengempaskan diri di atas ranjang. Ruang tamunya yang seperti kapal pecah masih dibiarkannya berantakan. Suasana hatinya masih kacau bak dihantam badai prahara.Bayang-bayang Sonny menyematkan cincin di jari manis Gianna terus saja mengganggu pikirannya.“Shit!” Yoshi bangkit dari pembaringan dengan gerakan kasar sambil meninju kasur empuk yang tak bersalah.Diraihnya ponsel yang ada di atas nakas. Seketika potret dirinya dan Gianna saat berada di Museum MACAN tampil menghias layar, begitu gawai itu menyala.“Apa hatimu tak pernah bergetar saat bersamaku?” tanyanya pada potret Gianna yang tersenyum manis. “Jantungku selalu ingin melompat keluar setiap kali aku berada di dekatmu sampai-sampai aku marah pada diri sendiri.”Yoshi terus mengoceh sendiri, seakan ia sedang berusaha mengungkapkan segala isi hatinya pada potret Gianna yang diam membisu.“Huh! Mungkin aku memang pengecut, tapi
TOK! TOK!Sonny mengetuk daun pintu ruang baca papanya yang terbuka. Ia melangkah masuk saat papanya menganggukkan kepala.Tuan Prima langsung menutup buku yang sedang dibacanya ketika Sonny kian mendekati sofa. Ia pun bangkit meninggalkan sofa bed tempatnya berselonjor santai, lalu mendatangi Sonny.Ia tahu pasti anak semata wayangnya tidak akan menemuinya di ruangan itu kalau saja tidak ada hal penting yang ingin dibahasnya secara pribadi.“Tampaknya kau tegang sekali?” tegur Tuan Prima tatkala mata senjanya menangkap gerakan kecil dari kedua tangan Sonny yang saling bertaut, berusaha mengatasi rasa grogi.“Enggak kok, Pa,” elak Sonny, mencoba mengurai senyum pada bibirnya.“Papa juga pernah muda, Nak. Papa tahu kau sedang gugup. Apa ini berkaitan dengan perempuan?” tembak Tuan Prima, menerka langsung penyebab kegelisahan putranya.“Dari dulu Papa selalu saja tahu semua isi hati dan pikiranku,” aku Sonny malu-malu.
“Oh My God! Ini rumah atau kapal pecah sih?” omel Zain, begitu menginjakkan kaki di ruang tamu apartemen Yoshi.Sebelah kakinya tanpa sengaja menendang sepatu yang tergeletak di atas lantai. Beberapa majalah automotif dan olahraga berserakan saling tumpah tindih dengan bantal sofa, memenuhi setiap inci dari lantai itu.Beberapa setel pakaian kotor pun terhampar begitu saja di atas sofa, menguarkan bau tak sedap yang menyebabkan Zain spontan menutup hidung.“Ya ampun, Yosh! Apa yang terjadi?” pekik Zain, bertanya heran kala mendapati Yoshi terkapar di atas karpet, di sela meja dan kaki sofa. Rambutnya awut-awutan dengan baju yang tak lagi terkancing rapi.Yoshi membuka matanya yang terasa berat. Ia melirik Zain dengan tatapan sayu dan tak bergairah. Kemudian, ia duduk memeluk kedua lututnya.“Kau sakit atau ada masalah?” selidik Zain, duduk di atas armchair yang tidak dinodai oleh pakaian kotor Yoshi.“Aku kehilangan separuh napas
Memasuki Gedung Kemang lantai satu, Gianna berdiri sejenak, beberapa langkah dari pintu. Ia mengedarkan pandangan, menyapu wajah pengunjung yang belum terlalu ramai.Sonny yang baru saja menyimpan gawainya ke dalam saku celana segera melambaikan tangan, begitu sensor matanya mendeteksi keberadaan Gianna di dekat pintu masuk. Senyumannya mengembang lebar.Sekilas Gianna membalas senyuman Sonny, lalu perlahan mengayun langkah, mendatangi lelaki yang duduk tepat di sisi dinding kaca restoran itu.Dua minggu sudah mereka tidak saling bertemu dan bertegur sapa, semenjak kepulangan mereka dari Paris. Itu semua atas permintaan Gianna. Ia ingin fokus pada istikharahnya, tidak ingin hati dan pikirannya dipengaruhi oleh kebaikan-kebaikan Sonny bila mereka terus berkomunikasi. Ia ingin keputusan yang diambilnya sehubungan dengan lamaran Sonny murni berdasarkan petunjuk dari Allah.“Duduklah!” ujar Sonny, mempersilakan Gianna menduduki kursi yang sudah ditari
Warna jingga perlahan mulai menguasai birunya bentang cakrawala. Dedaunan tafakur dalam hening, bersama tenangnya semilir angin. Kolong langit mendadak terasa berubah laksana ruang hampa udara.Seorang wanita berkerudung hitam berlutut dengan kepala tertunduk di antara dua makam. Sesekali terlihat tangannya bergerak, menyeka air mata dan hidungnya.“Maafkan aku, Kak. Gara-gara keegoisanku, kalian harus menderita,” lirih wanita itu penuh sesal.“Kalau saja saat itu aku tidak kabur dari rumah, kalian pasti hidup bahagia.” Terdengar sesenggukan pilu mengiringi perkataan wanita itu.Ia memutar tubuh ke samping kiri. Kini ia menatap gundukan tanah merah yang masih segar itu dengan dada bergemuruh penuh penyesalan.Tak lagi terdengar ratapnya. Hanya tangannya bergetar, menggenggam erat segumpal tanah merah yang dipungutnya dari atas makam.Setelah cukup lama tertunduk dalam hening, ia membalikkan tubuh menghadap makam yang dipunggungi