Matahari musim semi bersinar hangat di pagi hari. Amisha dan Zain duduk berdampingan di atas sebuah gondola. Sebuah perahu dayung tradisional yang menjadi alat transportasi utama di Venice. Perahu itu berbentuk panjang dan runcing di bagian ujungnya dan datar pada bagian bawah. Membuatnya meliuk mudah dan lincah di atas permukaan air melewati kanal-kanal yang memenuhi kota terapung itu.
Venice terletak di wilayah Veneto, di bagian Timur Laut negara Italia. Memiliki luas 412 km persegi yang terdiri dari 118 pulau kecil, dipisahkan oleh kanal-kanal dan dihubungkan oleh jembatan-jembatan yang tersebar di seluruh Kota Venice. Tak mengherankan jika kota ini dikenal dengan sebutan kota air.
Pandangan mata Amisha dan Zain tak henti-hentinya mengagumi arsitektur bangunan-bangunan tua yang berdiri di sepanjang kanal. Sangat memukau! Ya, tidak salah jika banyak orang yan
Cahaya yang menerangi ruang makan terlihat remang-remang. Zain sengaja tak menghidupkan lampu dan menggantinya dengan menyalakan beberapa lilin aroma terapi yang meliuk indah di dalam gelas beraneka warna.Keremangan cahaya berpadu dengan aroma wangi yang menguar dari lilin yang berada di atas meja, di tambah dengan beberapa lilin lainnya yang ditata Zain di atas lantai, menghadirkan suasana romantis yang menggetarkan hati.Zain berdiri di sudut meja makan. Memperhatikan sekeliling ruang makan untuk memastikan semua telah sesuai dengan keinginannya. Kelopak mawar merah segar pun berhamburan di atas lantai, mengelilingi meja makan. Menambah keharuman yang menenangkan.Saat menyaksikan kejutan yang disuguhkan Amisha tadi, Zain segera menghubungi penjaga gerbang rumahnya, meminta lelaki itu untuk pergi membeli lilin dan bunga.“Untung saja si penjaga gerbang bisa diandalkan,” gumam Zain, tersenyum puas.Zain lekas berpaling ke arah tangga sa
“Maaf, Nyonya Nida! Aku sudah tidak tertarik untuk melanjutkan kerja sama ini,” sergah Cecilia dengan nada tegas.Si pemilik butik dan Nyonya Prima serta merta melongo, merasa kaget atas keputusan Cecilia yang membatalkan kerja sama secara mendadak.“Mengapa begitu, Nona? Bukankah tadi kita sudah sepakat?” protes Nida, dengan tatapan tak mengerti.Ia menengadah, menatap Cecilia yang berdiri dengan ekspresi kemarahan yang terpendam.“Aku tidak akan pernah bekerja sama dengan orang yang memusuhi keluargaku,” jawab Cecilia. Lagi-lagi dengan nada tegas.“Memusuhi keluarga Anda? Siapa yang memusuhi? Dan siapa yang dimusuhi?” selidik Nida, dengan tatapan bingung. Ia sudah ikut berdiri.“Tanya saja pada rekan bisnis Anda, Nyonya! Permisi!” Cecilia bergegas turun, meninggalkan sang pemilik butik yang menatap tajam kepada Nyonya Prima.“Bisa Anda jelaskan, Nyonya?” tanya Nida pada Nyonya Prima.Nyonya Prima masih bengong
“Biiiii!” teriak Amisha, memanggil Siti sembari menumpukan sebelah tangannya pada kepala tiang tangga.Ia masih mengenakan gaun tidur berwarna biru muda. Rambut pirang keemasannya dibiarkan tergerai begitu saja. Entah kenapa pagi itu ia malas sekali mandi, apalagi hari itu Zain tak memperbolehkan dirinya untuk berangkat kerja. Jadilah ia hanya bermalas-malasan sambil membaca majalah.“Ya, Non!” Siti datang setengah berlari dengan tergopoh-gopoh memenuhi panggilan Amisha.“Bibi temani aku belanja nanti ya. Aku mandi dulu,” pinta Amisha.“Siap, Non!” Siti langsung menyetujui permintaan majikannya.Amisha memang selalu mengabari Siti sebelum ia mengajaknya pergi. Jadi, mereka bisa sama-sama bersiap. Biasanya Siti juga akan tampil sedikit berbeda saat mendampingi Amisha. Tak lagi tampak seperti upik abu.Amisha dan Zain memfasilitasi asisten rumah tangganya itu dengan berbagai pakaian bermerek untuk dipakai saat mereka mengajaknya be
“Pak, Tunggu!” teriak seseorang, menghentikan langkah Zain yang hendak memasuki lobi kantornya.Ia memang selalu melewati lobi untuk menuju ruang kerjanya jika tidak sedang dalam kondisi terburu-buru atau sedang ingin menghindari sesuatu.Ia sengaja membudayakan kebiasaan itu agar bisa menyapa para karyawan yang ditemuinya, sebagai bentuk apresiasi atas kedisiplinan mereka untuk selalu hadir tepat waktu.Kebiasaan sepele itu cukup ampuh untuk meningkatkan hubungan baik antara atasan dan bawahan. Mengendurkan kekakuan hubungan yang sudah sangat lazim di kalangan pekerja dan bosnya. Selain itu, keramahan seorang atasan juga mampu menyuntikkan semangat kerja pada karyawannya. Ya, hal positif juga akan memberikan dampak positif. Kebaikan itu menyebar lebih cepat dari yang dapat diperkirakan.Zain menoleh ke belakang. Sepasang netra gelapnya langsung mengenali sosok lelaki yang berjalan terburu-buru menyusulnya. Wajah lelaki itu tampak pucat dengan ker
“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis
Amisha masih mengulurkan tangannya untuk meraih kain putih di hadapannya. Getaran jari-jarinya makin kentara. Sejenak ia memejamkan mata, sekuat hati memberanikan diri untuk menyibak kain penutup sosok yang sedang terbujur kaku.Perlahan helai demi helai rambut hitam menyembul dari ujung kain yang mulai tersibak. Menambah berat beban emosi yang mengimpit dada Amisha. Rasa sedih, rasa kehilangan dan ketakutan menyatu dalam kalbu. Namun, semua rasa itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang menggelayuti hatinya.Detak jantung Amisha makin berpacu kala puncak kening yang berlumuran darah mulai mengintip dari ujung Kain. Gianna dan Yoshi bahkan ikut menarik napas dalam saking deg-degannya mereka menanti apa yang akan terpampang di depan mata mereka.“Amisha!” teriak seseorang, berseru lantang menghentikan gerakan tangan Amisha.“Suara itu ….” Sesaat Amisha tercekat mendengar suara yang menyerukan namanya. Ia merasa sangat mengenal suara itu.Ta
“Amisha ada di ruangannya sekarang?” tanya Yoshi, tanpa tedeng aling-aling dari seberang telepon begitu Gianna mengangkat panggilannya.Pandangan mata Gianna segera bergerak menembus dinding kaca yang memisahkan ruangannya dan ruang kerja Amisha. Tampak Amisha sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.“Ada. Kenapa?” Gianna balik bertanya dengan dada yang tiba-tiba berdebar tidak enak.“Baguslah. Jauhkan dia dari semua akses berita,” perintah Yoshi, tanpa menjawab pertanyaan Gianna.“Beritahu aku alasannya!” Nada bicara Gianna sedikit meninggi, merasa agak kesal lantaran Yoshi mengabaikan pertanyaannya.“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Lakukan saja perintahku! Aku harus segera pergi,” sergah Yoshi, dengan nada tegas. Terdengar jelas bahwa ia sedang terburu-buru. Terlebih lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon tanpa menanti respons dari Gianna.Gianna mengernyit memandangi ponsel di tangannya.“Ada
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli